IX. | Menunggu Badai Berlalu

12 1 2
                                    

Pulau Melayang, Sektor 03, KALDERA.

22 Februari, Y. 1342

.

Selepas kekacauan di misi terakhir mereka, kurang lebih tidak ada kejanggalan tertentu di Kaldera. Berita-berita pagi selalu menyuarakan tentang stabilitas pasar saham, atau teknologi baru yang diciptakan perusahaan tertentu. Tidak ada gangguan berarti di sekitar Sektor 3 atau kejahatan yang menuai perhatian, dan baik Rosen maupun Natalia juga tidak merasakan tanda bahaya. Belum ada pembaharuan dari laboratorium perusahaan seputar servis bot yang mereka temukan. Tidak ada perkembangan berarti di Sektor 6. Semua tampak baik-baik saja, namun mereka tidak bisa lengah.

Lianna membuka matanya di pagi hari, seperti biasa hendak langsung menyiapkan sarapan dan membaca buku sebelum memeriksa pesan masuk ... ketika ia menyadari sosok yang terlelap di sampingnya menghilang.

Di markas hanya ada satu kasur dan setelah berdebat kusir tanpa akhir mengenai siapa yang sebaiknya tidur di kursi dan kasur, Lianna dan Mei memutuskan tidur di kasur yang sama. Toh Mei tidak makan tempat (oh, tentu Mei akan marah kalau Lianna bilang ini), jadi tidak masalah mereka berbagi kasur.

Lianna beringsut bangun. Tidak ada tanda-tanda Mei meninggalkan Markas, tetapi tingkat pertama kosong, kemungkinan ia ada di kamar mandi atau di tingkat kedua.

"Mei?"

Rambut putih muncul dari atas, melongok ke arah bawah. "Apa?" nadanya datar tidak bersahabat.

"Oh, kukira kamu ... pergi."

"Kamu sendiri yang bilang aku tidak boleh kemana-mana, demi keamanan L.A.S.T 0027," ucapnya. "Lagipula, membaca laporan kalian yang telah lalu dan buku-bukumu cukup mengobati bosan."

"Hah?" Lianna mengerjap. "Kamu baca buku?"

Mei turun dari tingkat dua bersama dengan sebuah buku bersampul biru pudar. Kalau tidak salah buku itu adalah panduan wisata Kaldera, tapi edisi lama ketika Pulau Melayang belum terbagi tegas menjadi enam sektor.

"Ada apa? Ada yang aneh dengan buku?" Mei yang kini mengenakan kemejanya yang masih kebesaran di tubuhnya menyingsingkan lengan.

"Bukan, yang aneh itu aku," Lianna mengibaskan tangannya. "Tidak ada orang di Kaldera yang mengenal 'buku'."

Mei menurunkan pandangannya, membelai sampul itu, "Ah. Mereka mengata-ngatai buku sebagai 'sampah pohon', ya?"

Lianna tertegun. "Kamu tahu dari mana?"

Ketika Mei mulai menjelaskan kalau ketika ia membuka lembaran buku-buku itu, ia dapat membaca informasi selain apa yang tercetak, hal itu sama juga dengan benda-benda di sekelilingnya. Lianna memerhatikan dengan saksama. Ini mungkin nantinya akan ia diskusikan dengan Bu Sekre dan kedua rekannya, tentang kemampuan 'Mei' yang bahkan lebih dari sekedar 'buatan' yang mungkin diprogram. Caranya berbicara, caranya berperilaku, ia tidak ada bedanya dengan manusia.

"Mungkin aku ini lebih ke robot, ya, ketimbang manusia?" pungkas Mei.

Lianna tersenyum, "Kurasa siapa pun yang mau membaca buku bukan seorang yang buruk, sih."

"Begitu? Baiklah." walau seperti biasa komentarnya terdengar datar (yang membuat Lianna skeptis tentang statusnya sebagai 'buatan'), Lianna merasa kata-kata itu tulus.

"Oke, kayaknya kita sarapan dulu sebelum aku bekerja. Kamu mau apa, Mei?"

"Sama seperti kemarin tidak apa-apa," ucapnya. "Asal jangan tawari aku 'apa saja'."

"Kamu tuh ya, kenapa ingatnya itu terus." dengus Lianna. Ia menuju dapur dan menarik celemek yang tergantung di dekat kulkas. Sepertinya ia sudah punya ide untuk masakan hari ini.

Risk TravelerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang