Kau tahu betapa menyebalkannya menaiki bus pada pukul delapan pagi di Riverdawn? Riverdawn memang kota kecil, namun saat jam sibuk, seperti kawanan semut yang keluar dari sarang, penduduknya berdesakan di setiap transportasi umum untuk pergi bekerja sepertiku.
Baru saja aku turun di halte tepat di seberang kafe. Dari sini aku bisa melihat kafe sudah penuh oleh pelanggan. Aku menyeberang dengan tergesa-gesa dan berlari menuju pintu di samping kafe, pintu khusus karyawan. Pintu itu mengarah langsung ke dapur dimana para juru masak yang sedang sibuk menoleh ke arahku.
"Aku tahu aku terlambat." Aku menghindari pandangan mereka dan terus berjalan ke ruang loker di sudut dapur. Di dalam ruang loker, aku menemukan Lilly sedang bersiap-siap. Ia terkejut melihatku yang terengah-engah dan masih mengenakan jaket.
"Tidak biasanya kau terlambat." Katanya sambil menyisir rambut di depan cermin lokernya.
"Aku terlambat bangun karena episode terakhir Game of Thrones yang tidak bisa kulewatkan semalam." Aku melepas jaketku dan menaruhnya bersama tas di dalam lokerku. Aku merapikan diri dengan cepat karena waktu terus berjalan.
"Kau tidak perlu terburu-buru seperti ini. Sudah ada yang menangani konter." Lilly keheranan. Mendadak ia terkesiap. "Atau, jangan-jangan kau..."
"Ya. Dia selalu rutin datang di pagi hari dan aku tidak boleh kehilangan dia."
"Kalau begitu, biar kubantu kau menyiapkan ini di etalase." Lilly mengambil nampan berlapis kertas alumunium yang kuletakkan di atas bangku belakangku. Lilly mencium aroma hangat dari nampan tersebut. "Blueberry, rasa favoritnya."
"Kemarin dia kecewa karena aku tidak membuat pai blueberry."
"Baiklah, seloyang pai blueberry hangat untuk Jack Larsen segera disajikan!" seru Lilly sebelum ia meninggalkan ruang loker dengan paiku.
Kukenakan celemek baristaku yang bergambar logo kafe Ned Horton, cangkir kopi dan roti berdesain klasik di atas kaus polo putihku. Kurias sedikit wajahku dengan bedak, eyeliner, dan pelembab bibir. Tidak lupa kusemprotkan parfum ke sekujur tubuhku agar tidak ada yang mencium bau keringat karena berdesakan di bus.
Setelah keyakinan diriku terkumpul, aku meninggalkan ruang loker dan berjalan ke bagian depan kafe. Kafe sudah dipenuhi pelanggan yang ingin sarapan dan membeli kopi sebelum bekerja. Antrian di kasir sangat panjang sehingga teman-temanku terlihat sangat sibuk dengan mesin pembuat kopi untuk memenuhi pesanan para pelanggan.
"Ellie!" panggil Alex yang sedang bertugas di kasir. "Kau mau menggantikanku?"
"Tentu saja." Aku mengambil alih kasir dan melayani pesanan pembeli berikutnya, seorang wanita karir yang terlihat buru-buru dengan sigap.
"Satu vanilla latte!" aku menandai gelas karton untuk vanilla latte dan memberikannya pada Alex yang kini bertugas membuat kopi. Pembeli menyerahkan uang kopinya padaku dan aku menaruhnya di laci kasir. Pembeli bergeser ke sebelah kanan untuk menanti pesanannya selesai dibuat. Pembeli berikutnya adalah seorang mahasiswa.
"Dua kopi hitam dan satu cokelat panas!" aku mengulangi hal yang sama, menandai gelas karton lalu menerima uang untuk minuman yang ia pesan.
"Aku juga ingin pai blueberry dua iris untuk dibungkus." Si mahasiswa menunjuk paiku yang berada di sudut konter. Lilly menaruhnya di atas nampan kaca tanpa ditutupi apapun, membuat aromanya menggoda pembeli yang mengantri untuk mencicipinya.
Sesuai permintaannya, aku beranjak dari kasir untuk mengambil dua iris. Aku harap pai ini tidak habis sebelum ia datang. Hal itu pernah terjadi dua minggu lalu karena aku tidak sempat membuat pai baru pada malam sebelumnya dan sisa pai di kafe sudah terjual semua. Aku bisa melihat kekecewaannya saat meninggalkan kafe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pies of Love
RomanceA story about a girl named Ellie Andrews who works at Ned Horton cafe in fictional town Riverdawn and in love with one of her customers, Jack Larsen who visits every morning. She's in love for a year yet never dare to talk to him. Ellie bakes and se...