3
"Aku pulang." Ujarku saat memasuki apartemenku yang kosong. Tidak ada yang tinggal di sini selain aku. Terkadang aku merasa kesepian karena hanya ada kesunyian setiap kali aku pulang ke apartemenku. Aku sangat berharap suatu hari nanti aku tidak tinggal sendirian di sini. Kubuat apartemenku senyaman mungkin agar siapa saja yang berkunjung betah berlama-lama.
Aku sangat menyukai apartemenku. Harga sewanya tidak terlalu mahal karena cukup jauh dari pusat kota. Aku harus bangun lebih pagi untuk bekerja karena jarak tempuhnya 30 menit dari sini ke kafe. Namun perjuanganku sepadan dengan apa yang kudapatkan. Apartemen ini memiliki satu kamar dan satu kamar mandi. Pintu masuk langsung mengarah ke sebuah ruangan luas yang kugunakan sebagai ruang tamu dan televisi. Kutempatkan sebuah meja makan untuk empat orang di sudut ruangan. Sebelah kanan pintu masuk adalah dapur kecilku. Kutata dapurku sedemikian rupa agar aku bisa memasak apa saja di sana. Kompor oven listrik di dapurku adalah benda paling berharga di apartemenku karena aku harus menabung selama setahun untuk bisa membelinya.
Jam dinding menunjukkan pukul 11 malam. Setelah memastikan pintu apartemen telah terkunci aman, aku menaruh tas selempangku di sofa. Kunyalakan televisi untuk memecah keheningan. Aku berjalan ke dapur untuk memanaskan air. Aku selalu meminum teh kamomil sebelum tidur. Selagi menunggu air mendidih, aku mengganti pakaianku dengan piama dan mengambil laptop dari kamar tidurku.
Lima menit kemudian, aku sudah duduk dengan nyaman di sofa depan televisi dengan laptop di pangkuanku. Sambil menyeruput tehku, aku mengakses internet untuk mengamati Jack Larsen seperti biasanya. Belum ada tweet maupun tulisan baru dari blognya, hanya sebuah foto baru di Instagramnya. Ia memperlihatkan studio fotonya dan berkata, "hari ke-10 pengerjaan Larsen project.". Berbagai komentar penyemangat dari penggemarnya membanjiri foto itu. Kemudian, aku menyadari satu hal.
Aku belum pernah menulis komentar untuknya. Sama sekali belum, di semua akun sosial medianya.
Aku memiliki rasa takut yang tidak masuk akal, berpikir ia akan menyadari keberadaanku melalui komentarku. Padahal jika aku berkomentar, sebelum ia bisa membacanya, komentarku pasti akan tertelan lebih dulu oleh komentar para penggemarnya yang jauh lebih banyak dan intens.
Patricia pasti gila jika ia benar-benar mengira aku bisa datang ke pernikahannya bersama Jack.
Puas mengamati aktivitas sosial Jack, aku mengecek e-mailku. Ini hanya rutinitasku, sebenarnya aku tidak menerima banyak e-mail selain dari kerabatku di luar kota. Namun, malam ini ada yang berbeda. Aku menerima sebuah e-mail dari Google Alerts. Google Alerts mengirim e-mail berisi pemberitahuan tentang berita terbaru di internet mengenai topik yang kupilih. Hanya satu topik yang kumasukkan, yaitu tentang paiku dengan kata kunci "Ned Horton's Pies". Ini adalah pemberitahuan yang pertama kali kudapatkan.
Tegang sekaligus bersemangat, aku langsung melihat isinya. Seorang pelanggan Ned Horton menulis ulasan tentang paiku! Dari foto di blognya, penulisnya adalah mahasiswa yang membeli paiku tadi pagi. Ulasannya tidak terlalu panjang, namun ia berkomentar:
Dengan reputasi kafe Ned Horton sebagai kafe yang menyajikan kopi terbaik di Riverdawn, harus kukatakan aku kecewa dengan menu painya. Rasanya tidak selezat menu makanan lainnya di kafe. Penyajiannya biasa saja dan kurang artistik. Cocok untuk mengganjal perut jika kau tidak sempat sarapan di rumah, namun tidak lebih dari itu.
Jika kau ingin sesuatu yang artistik, kenapa kau tidak makan lukisan saja. Geram dan gelisah, mengingat Jack memakan pai yang sama pagi ini. Apakah ia berpikir rasanya juga tidak enak? Ia seorang seniman, ia pasti bisa menyadari paiku artistik atau tidak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pies of Love
RomanceA story about a girl named Ellie Andrews who works at Ned Horton cafe in fictional town Riverdawn and in love with one of her customers, Jack Larsen who visits every morning. She's in love for a year yet never dare to talk to him. Ellie bakes and se...