Aku bukanlah wanita tangguh yang bisa bangkit dari keterpurukan dalam waktu singkat. Sejak hari itu, aku masih sering menangis sendirian di kamarku atau di depan sahabatku. Obrolanku di pesan teks dengan Patricia dibanjiri oleh kegalauanku tentang Jack. Tanpa lelah, Patricia terus mengingatkanku untuk melupakannya, karena aku hanya akan membuat diriku sendiri lelah.
Anehnya, Jack tidak pernah terlihat lagi bersama Ruth Adams setelah pertemuan mereka sore itu. Jack juga tetap datang setiap pagi seperti biasanya, dan aku selalu merasa seperti ia meninju perutku setiap kali aku melihat wajahnya.
Sedikit demi sedikit, frekuensiku mengamati aktivitas Jack di internet berkurang. Kini aku hanya menganggap apapun yang ia bagikan di internet hanyalah kebohongan. Aku belajar ia bukanlah orang yang membuka dirinya yang sebenarnya pada orang lain.
Kualihkan pikiranku dengan pai, pekerjaanku di penampungan, dan merencanakan pernikahan Patricia. Hari ini sepulang kerja, aku bertandang ke apartemen Patricia untuk mencari inspirasi dari majalah dan internet. Aku membawa buku inspirasi pernikahanku serta beberapa buku riset tentang pernikahan yang kupinjam dari perpustakaan kota.
Begitu laptop, 50 majalah, serta sebotol anggur siap di ruang keluarga, kami mulai bekerja. Ketika aku memperlihatkan buku inspirasiku, Patricia tercengang. Selain tebal, bukuku terlihat kuno dengan sampul berbahan kulit. Umurku masih 15 tahun saat aku menaruh lembar inspirasi pertamaku di buku ini, sebuah foto gaun pengantin yang dikenakan Lady Diana pada hari pernikahannya. Aku menemukannya dari majalah lama ibuku.
"Kau tidak akan repot-repot mencari inspirasi sepertiku saat kau merencanakan pernikahanmu nanti." Komentar Patricia.
"Yah, itu kalau aku bisa menemukan seseorang." Gumamku. "Jadi, kau ingin pesta pernikahan seperti pernikahan orang tuamu?"
Patricia mengangguk. "Kalau bisa, aku juga ingin diadakan di tempat yang sama di mana mereka menikah. Usia pernikahan mereka 30 tahun hingga ibuku meninggal. Aku menginginkan hal itu bersama Daniel, langgeng dan hanya dipisahkan oleh kematian."
"Semua orang juga menginginkan itu." kataku. "Oke, berarti tema yang kita cari adalah klasik dan antik."
Kubuka bukuku dan mencari inspirasi yang cocok. Aku menemukan foto buket bunga mawar pink, putih, dan keunguan. Kuperlihatkan pada Patricia yang hanya ia lirik sebentar, "Indah sekali. Aku tidak tahu banyak soal bunga. Jadi kuserahkan semuanya tentang hiasan bunga padamu, oke?"
Inilah tantangannya merencanakan pesta pernikahan jika sang pengantin adalah wanita cuek. "Kau yakin? Kau yang akan menikah, Pat. Tidakkah kau ingin menentukannya sendiri?"
"Bagaimana kalau kau berikan tiga rancangan yang menurutmu terbaik lalu akan akan menentukannya?" tawar Patricia. "Aku tidak tahu banyak soal pernikahan, aku tidak ingin memusingkan diriku sendiri dengan menentukan warna yang jelas-jelas sama namun wanita lain menganggapnya berbeda lalu mereka menjadi stress karena itu. Aku tidak mau terpaku pada satu pilihan bunga atau kartu undangan karena bagaimana jika ada halangan seperti bunganya tertukar atau ada salah cetak dalam salah satu undangan?"
Aku langsung menyadari keresahan dalam diri Patricia. "Kau tidak apa-apa, Pat?"
Patricia menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan. Setelah berhasil menenangkan diri, ia menjawab, "Aku selalu bisa membuat keputusan dalam waktu singkat. Saat sedang stres pun, aku tidak pernah membiarkan diriku runtuh. Namun, rasanya berbeda untuk pernikahanku sendiri. Aku ingin segalanya sempurna seperti pernikahan orang tuaku. Tidak masalah dengan ornamen, hiasan, atau katering yang berbeda, aku ingin merasakan suasana romantis yang kulihat dalam foto pernikahan mereka."
Patricia membuka botol wine di dekatnya dan langsung ia minum dalam gelas sebelum meneruskan kata-katanya, "Aku tidak sesensitif ibuku. Ia selalu bisa memberikan sentuhan feminin dan romantis. Sedangkan aku? Aku bahkan iri denganmu, Ellie."
Aku terkejut. Selama 15 tahun persahabatan kami, aku tidak pernah mendengar Patricia mengatakan itu padaku. "Kau? Iri? Kenapa?"
"Kau paham hal-hal seperti ini. Aku masih ingat kau mendandaniku dan menata rambutku untuk kencan pertamaku dengan Daniel. Kau berhasil mengubah itik buruk rupa sepertiku menjadi cantik. Aku juga khawatir Daniel akan meninggalkanku karena aku kurang sensitif atau romantis." Patricia mendesah sedih.
"Itu karena kau memang cantik, Pat." Kataku. "Dan tidakkah kau sadar, kau mengajariku untuk selalu tepat waktu dan efisien. Kau mendorongku untuk memulai bisnis paiku. Itulah dirimu. Kau wanita karir yang hebat dan independen."
"Jadi, menurutmu, Daniel tidak akan meninggalkanku meski aku tidak romantis atau feminin?" aku menangkap kecemasan di balik ucapan Patricia.
"Daniel tidak akan meninggalkanmu. Percayalah, hanya kau yang bisa mengurusnya jika dia lupa waktu karena keasyikan bermain games."
Patricia mulai tertawa. "Dia bisa tidak makan dan tidak mandi seharian kalau aku tidak mengingatkannya."
"Kalian saling mengisi satu sama lain." Aku tersenyum. "Seperti kita. Kau si logis, dan aku si sensitif."
"Baiklah." Patricia langsung berubah menjadi serius. "Menurutku, mencari informasi tentang katering, undangan, dan semuanya tidak cukup dilakukan melalui internet. Kita harus datang langsung ke toko atau kantor mereka untuk berdiskusi."
"Oke." Aku melihat daftar tugas yang harus dilakukan di laptop. "Bagaimana dengan cincin? Kau dan Daniel sudah menentukan cincin pernikahan?"
"Ya, kami akan pergi ke toko perhiasan favorit keluarga Daniel untuk mencari cincin."
Kucatat semua itu di buku memo yang kubawa sebagai pengingat. "Kau sudah memasukkan janji temu dengan salon dan spa ke dalam daftar?"
Patricia mengerutkan dahi. "Untuk apa?"
"Kau akan menjadi wanita tercantik di pesta, dan aku akan memastikan itu terwujud. Kau harus datang ke salon dan spa untuk mendapatkan 'kilau pengantin'mu." Aku memasukkan salon dan spa ke dalam daftar.
"'kilau pengantin'?" Patricia tergelak, seolah itu hanya kata yang kubuat-buat.
"Menurut sajalah padaku, Pat. Jika perlu, aku akan menyeretmu ke salon, kau tidak boleh pulang sebelum kau mendapatkan kilau pengantinmu."
"Baiklah, Ellie. Lalu, bagaimana dengan pesta pertunangan? Menurutmu sebaiknya kita mengadakannya di mana?"
"Di mana saja sesuai keinginanmu. Sebaiknya kau hanya perlu mengundang keluarga dan teman terdekat." Saranku.
"Aku ingin kita mengadakannya di kafe. Selain tidak perlu mengeluarkan biaya lagi, kita juga bebas menentukan waktunya. Akan kututup kafe lebih awal agar kita lebih leluasa. Oh ya, para undangan bisa membawa satu orang ekstra."
Kucatat itu di memo. Senang rasanya bisa menjadi produktif seperti ini. Aku akan memiliki segudang jadwal dan hal yang harus dilakukan, jadi aku tidak perlu menangisi Jack lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pies of Love
RomanceA story about a girl named Ellie Andrews who works at Ned Horton cafe in fictional town Riverdawn and in love with one of her customers, Jack Larsen who visits every morning. She's in love for a year yet never dare to talk to him. Ellie bakes and se...