Penampungan menerimaku menjadi relawan. Tugas pertama yang mereka berikan padaku adalah menempelkan poster mini di papan pengumuman kafe. Baik pengunjung maupun karyawan boleh menempelkan informasi dan lowongan di sana setelah diizinkan oleh Patricia, manajer kafe.
Penampungan berharap bisa menarik minat masyarakat luas dengan menempelkan poster di kafe terbaik kota. Senang rasanya membayangkan orang lain mampu mengadopsi salah satu dari hewan-hewan malang itu. Tim bercerita mereka tidak hanya berasal dari jalanan. Mereka bisa dibuang oleh majikan sebelumnya karena berbagai alasan. Anak-anak yang sudah bosan dengan peliharaan mereka yang sudah tidak seimut saat masih kecil, pemilik sebelumnya meninggal dan tidak ada yang mengurus mereka, atau yang paling parah; pasangan yang putus atau bercerai dan mereka tidak mau memelihara lagi.
Aku mengecek seberapa besar biaya memelihara seekor anjing di internet. Paling sedikit biayanya mencapai 3000 pound per tahun. Benar-benar keputusan tepat memindahkan anjing yang kutemukan ke penampungan. Namun, aku tidak sampai hati jika seseorang akan mengadopsinya suatu hari nanti. Aku sudah memiliki ikatan dengannya sejak aku menolongnya dari tempat sampah. Ia anjing yang sangat menggemaskan.
Aku memutuskan untuk menamainya Sally. Sally adalah anjing jenis Samoyed. Umurnya masih 6 bulan namun tubuhnya sudah setinggi lututku. Bulunya tebal dan seputih salju, membuatnya terlihat seperti gulungan gula kapas dari kejauhan. Menurut dokter, kondisi Sally saat ini mulai membaik pasca pembedahan. Ia sedang menjalani proses pemulihan, beberapa hari lagi ia bisa keluar dari klinik. Senyumku mengembang memikirkan hal itu. Aku bisa merawat Sally di penampungan bersama anjing-anjing lain.
Namun aku khawatir jika ada yang ingin mengadopsinya suatu hari nanti. Bagaimana jika orang yang mengadopsinya juga memperlakukannya dengan semena-mena seperti majikannya dulu.
Setelah menempel poster, aku beranjak menuju ruang loker untuk bersiap pulang. Aku mendapat giliran kerja malam pada minggu ini bersama Diane dan Alex. Kafe sudah tutup beberapa saat lalu. Aku memutuskan untuk menanyai kedua temanku tersebut, jika salah satu dari mereka berdua bisa mengadopsi Sally.
Aku sangat yakin Diane bisa dipercaya merawat Sally. Diane seorang aktivis, ia pernah menulis artikel tentang kekerasan terhadap hewan beberapa bulan lalu di majalah. Aku berharap Diane bisa menerima Sally.
"Maaf, Ellie. Aku sudah punya seekor kucing di apartemenku. Kau masih ingat Sergio, bukan?" Diane menolak dengan tidak enak hati.
Bahuku merosot karena kecewa. Aku lupa tentang Sergio, kucing berbulu merah peliharaan Diane. Lalu aku berpaling pada Alex, "Bagaimana denganmu, Alex? Kalau tidak salah, kau sudah punya anjing di rumahmu. Apa kau sanggup menerima seekor lagi? Aku yakin Sally tidak akan merepotkanmu."
"Ya, tapi rumahku tidak cukup besar untuk menampung dua anjing. Aku sudah beruntung sekali ibuku yang benci hewan peliharaan mau menerima Bones." Ujar Alex penuh sesal. "Maaf, Ellie."
Aku menghela napas panjang, tidak mengira hal ini akan menjadi lebih sulit dari yang kukira.
"Apa kau yakin kau ingin menyerahkannya pada orang lain?" tanya Diane. "Sepertinya kau sudah terikat dengan anjing itu."
Aku tidak paham. "Terikat?"
"Kau sudah memberikan nama untuknya. Lagipula, dia akan berada di penampungan dan kau sudah bekerja di sana, bukan?"
"Ya, tapi aku hanya bekerja pada akhir minggu dan siapa yang akan mengawasinya pada hari lain?" sanggahku.
"Sally akan baik-baik saja, Ellie. Jika masih khawatir, kau bisa mengunjunginya setiap hari." Alex memberi saran.
Ah, bodoh sekali aku karena tidak memikirkan ide brilian itu. Penampungan hanya berjarak 10 menit dari apartemenku, aku bisa mampir ke sana sesudah atau sebelum bekerja. Aku berterima kasih pada Alex atas sarannya, kemudian kami keluar dari ruang loker bertiga.
Diane pulang dengan vespanya yang diparkir di belakang kafe. Aku dan Alex kini sedang duduk menunggu bus di halte tidak jauh dari kafe. Walaupun sedang musim panas, Riverdawn pada malam hari tetap saja dingin. Aku mengancingkan jaket kulitku dan kulihat Alex memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya. Ia tidak banyak bicara saat ini. Hal itu aneh bagiku karena biasanya ia selalu mempunyai banyak topik untuk dibahas jika kami sedang bersama.
Sekilas aku menangkap raut kesedihan di wajahnya. "Kau tidak apa-apa, Alex?"
Alex menoleh kepadaku, terkesiap. "Eh, ya, aku tidak apa-apa."
"Sungguh? Kau bisa bercerita apapun padaku, kau tahu itu."
Ia sempat ragu sebelum menjawab, "Bukan masalah besar, kok. Saat kita membicarakan Sally tadi, aku teringat Bones. Dia anjing peliharaan almarhum Aiden, sahabatku. Aku mengadopsinya karena tidak ada lagi yang bisa merawatnya. Jadi, aku cukup paham perasaanmu ketika menemukan Sally."
"Aku turut prihatin, Alex." Kataku. Aku teringat Alex kehilangan Aiden, sahabatnya sejak kecil tiga tahun lalu karena ia dan seluruh keluarganya dibunuh di rumah mereka sendiri. Kudengar Bones sudah menjadi teman bermain mereka berdua sejak kecil.
"Terima kasih, Ellie. Mungkin kapan-kapan Bones bisa bertemu Sally. Pasti menyenangkan." Alex tersenyum.
"Ya, tentu saja. Sally pasti senang mendapat teman baru." Aku setuju.
"Aku senang kau melakukan ini karena panggilan hati. Maksudku, jangan tersinggung, kupikir kau melakukan ini semua karena Jack." Terdengar nada bersalah di ucapan Alex.
"Tentu saja tidak, Alex. Apa maksudmu?"
"Kota dibuat heboh dengan pemotretannya bersama anjing dan kucing untuk album fotografinya." Jawab Alex. "Kau tidak tahu?"
Aku sama sekali tidak tahu tentang hal itu. Aku bahkan baru sadar aku belum mengecek kabar Jack sejak menemukan Sally. Aku langsung mengambil ponselku dari saku dan mencari kabar tentang pemotretan itu. Alex terkejut dengan reaksiku yang tidak ia sangka.
"Jika dia pecinta hewan, mungkin kau bisa memintanya untuk merawat Sally?" goda Alex.
"Haha." Aku tertawa sarkastik. "Lucu sekali."
"Hei, jika kau menempel postermu di tempat yang tepat di kota ini, peluang untuknya melihat poster itu cukup besar. Kau bisa mengirim e-mail untuknya, mungkin ia tertarik melakukan pemotretan bersama hewan-hewan di penampungan."
Walaupun aku bisa melihat kemungkinannya, aku tidak suka memikirkan hal itu. Jika aku ingin mengiriminya e-mail, aku mungkin akan menghabiskan separuh sisa hidupku menulisnya karena aku tidak akan pernah menemukan kata-kata yang tepat.
"Kau harus berani, Ellie." Alex berdiri karena bus yang akan membawanya pulang sudah tiba. "Riverdawn kota kecil. Kemungkinannya besar Jack tiba-tiba datang ke tempat penampungan saat kau sedang bekerja di sana."
Alex pun pergi meninggalkanku sendiri dengan berjuta pertanyaan. Alex sering melakukan ini pada semua teman-teman kami di kafe dan menjengkelkan sekali ketika ia melakukannya padaku. Jack Larsen datang ke penampungan dan mengadopsi anjing dariku? Mustahil, namun aku tidak bisa berbohong aku agak mengharapkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pies of Love
RomanceA story about a girl named Ellie Andrews who works at Ned Horton cafe in fictional town Riverdawn and in love with one of her customers, Jack Larsen who visits every morning. She's in love for a year yet never dare to talk to him. Ellie bakes and se...