"Kalian bertiga sudah berdiskusi dan manajermu akan memberitahu keputusannya secepatnya? Kedengarannya tidak bagus." Alex menanggapi ceritaku dan Tim tentang kejadian tadi pagi. Sekarang kami mengobrol di kafe berempat dengan Diane di konter.
"Kau hebat, Ellie. Kalian jangan menyerah begitu saja pada orang seperti Henry Ashford." Kata Diane.
"Bukankah majalahnya pernah menolak artikelmu tentang pencemaran di rawa kota?" aku menimpali.
"Ya, argumentasiku dalam tulisan kurang valid baginya. Terlalu banyak opini, katanya." Jawab Diane. "Dia memang membuat Riverdawn Weekly menjadi majalah terbaik di kota, tapi dia memilih orang-orang yang salah untuk diliput. Asal kalian tahu saja, orang-orang itu justru ingin menghancurkan kota ini."
Tim mencari tahu tentang Henry di internet dengan ponselnya. "Selain kesuksesannya, dia dikenal sebagai orang tertutup. Dia tidak aktif di sosial media. Akun Facebook saja dia tidak punya, Twitter-nya hanya berisi berita-berita resmi tentang majalahnya."
"Apa menurut kalian dia pernah membeli kopi di sini?" Alex mengira-ngira.
Menurutku tidak. Ia pasti menyuruh asistennya melakukan itu. Ia seperti versi prianya Miranda Priestly di The Devil Wears Prada. Ia bukan orang yang mau melakukan sesuatu dengan tangannya sendiri.
"Jika dia mau menulis tentang penampungan di majalahnya, reputasi kita pasti akan meroket." Tim melihatku. "Itu kalau dia tidak tersinggung denganmu."
Kucurahkan semua rasa sesalku pada Tim dan tempat penampungan karena sikapku. Aku bersedia meminta maaf untuk itu, namun aku tetap tidak bisa membiarkan Sally diambil begitu saja oleh pria yang bisa saja adalah seorang tiran tidak berperasaan.
Ketika mengobrol, kami mendengar lonceng pintu masuk kafe berbunyi. Patricia datang tergesa-gesa dan menghampiri kami. Ia terlambat datang karena baru saja menghadiri undangan makan siang bersama Daniel dari teman mereka. "Maaf, Ellie, aku baru mendapat pesanmu. Bagaimana jadinya dengan Henry Ashford?"
Kuceritakan perkembangannya sedetil mungkin. Ia mengerutkan dahi dan tersenyum kecil,. "Henry Ashford, kalau tidak salah, dia salah satu kolega temannya Daniel. Kau bertemu dengan orang besar kota Riverdawn hari ini."
"Aku tahu." Gerutuku.
"Dia juga cukup tampan, lho. Pria berambut cokelat dan bermata biru selalu menjadi kelemahanku." Patricia mendesah, seolah ia membayangkan hal lain.
"Ya, ingatkan aku kenapa kau bertunangan dengan Daniel." Aku menggodanya.
Patricia memukul lenganku dengan malu. "Ayolah, kau pasti tidak bisa menyangkal ketampanannya. Apalagi kau sudah melihatnya dari dekat."
Sebenarnya, aku tidak terlalu memperhatikannya. Jika ia memang tampan, pandanganku pastilah tertutupi oleh kemarahanku.
"Saranku, jangan menyerah, Ellie. Apapun yang terjadi, jangan berikan Sally padanya. Aku ragu Sally akan dirawat baik-baik olehnya." Ujar Diane. Ia menoleh ke arah pintu masuk kafe karena lonceng kecilnya berbunyi. Masuklah si dekil dan keras kepala Doc, ia langsung menempati salah satu meja bersofa. Gaya duduknya seolah ingin mengatakan ialah penguasa tempat ini.
Diane menghela napas kesal. "Aku tidak punya masalah dengan orang-orang yang melakukan protes untuk mendapatkan sesuatu, namun cara Doc melakukannya benar-benar membuatku gila."
Diane undur diri untuk melayani Doc. Tim tersenyum pada kami lalu kembali ke mesin espresso untuk membuat kopi untuk Doc. Kulirik Alex yang langsung berkata, "Tidak ada salahnya mengenal Henry Ashford terlebih dulu sebelum kau menilainya. Menurutku, dia belum tentu sejahat itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pies of Love
RomansaA story about a girl named Ellie Andrews who works at Ned Horton cafe in fictional town Riverdawn and in love with one of her customers, Jack Larsen who visits every morning. She's in love for a year yet never dare to talk to him. Ellie bakes and se...