Henry mungkin meninggalkan apartemen saat aku masih tidur. Kulihat dari jendela kamarku, badai sudah reda pagi ini. Aku terbangun dengan tubuh menggigil. Kuambil mantel tidurku yang tergantung di belakang pintu kamarku. Kukira aku akan mendapati apartemenku lengang tanpa kehadiran Henry, namun aku malah mencium aroma lezat dari dapur.
Henry Ashford sedang memasak pancake di dapurku.
"Selamat pagi. Aku memakai bahan-bahanmu dari dapur untuk pancake ini. Ini buatmu." Tawarnya sambil menyodorkan sepiring pancake hangat padaku.
Aku terlalu bingung untuk menjawab. Pria ini mengenakan celemekku yang bermotif bunga-bunga. Lagipula, mengapa ia tiba-tiba berubah menjadi baik kepadaku.
"Ellie?" ia memanggilku.
"Aku ingin teh saja, terima kasih." Aku menaruh pancake yang ia berikan di atas konter lalu berjalan ke lemari dapur, mengambil kemasan teh dan sebuah gelas. Lalu kupanaskan air dengan cerek di atas kompor, sambil terus menatap Henry memanggang pancake.
"Maaf aku ketiduran semalam. Kurasa aku kelelahan karena bekerja seharian kemarin. Sebagai gantinya, aku memasak untukmu. Tadinya aku ingin membuat waffle, tapi aku tidak dapat menemukan pemanggang wafflemu." Henry menjelaskan alasan perbuatan baiknya.
Gara-gara ia terjebak oleh badai, aku terpaksa mengenal Henry lebih dalam. Hati kecilku lega ia bisa menjadi orang baik. "Tidak apa-apa. Bisakah kau memasak lebih cepat? Aku harus menyiapkan paiku untuk hari ini."
"Ya, aku sudah selesai." Henry mematikan kompor, menaruh tiga pancake dari wajan ke piring yang telah ia siapkan.
Caranya memasak yang lihai membuatku penasaran, "Kau selalu memasak di rumah?"
"Ya, begitulah." Jawabnya singkat. Ia mengambil botol sirup maple dan madu dari rak bumbuku. "Kau mau saus yang mana untuk pancakemu?"
"Aku hanya ingin menikmati tehku. Sebenarnya, kau tidak usah repot-repot memasak seperti ini. Tidak masalah bagiku jika kau pergi begitu saja tanpa membalas budi." Ucapanku memang terdengar kasar, mungkin karena aku belum terbiasa dengan kebaikan kecilnya ini.
Anehnya, Henry tidak tersinggung. Ia malah menjabarkan alasan kebaikannya dengan santai. "Aku terbangun pada pukul 6 dan aku harus sarapan pada pukul 6.30. Lalu aku berpikir kau juga butuh sarapan pagi, makanya aku membuat ini. Kalau kau tidak mau, tidak masalah. Akan kutinggal pancake bagianmu di dapur sementara aku menikmati bagianku di depan televisi sambil menonton berita pagi."
Henry melakukan apa yang persis dikatakannya barusan. Kini ia menikmati pancakenya di depan televisi tanpa merasa kesal atau terganggu oleh kata-kataku. Air panas sudah siap dan kutuang di gelas yang sudah kusiapkan. Tanpa sengaja, pandanganku tertuju pada pancake hangat untukku yang ditaruh di konter. Masih ada botol saus maple dan madu di samping pancakeku.
Mendadak perutku keroncongan melihatnya. Pancake Henry terlihat lezat dan menggoda. Pasti ia tahu aku tetap akan memakannya, dan ia benar. Kutuang saus maple secukupnya di atas pancakeku lalu bergabung dengannya di depan televisi, menonton berita tentang krisis ekonomi di Eropa.
Kami berdua diam menikmati pancake masing-masing. Henry serius sekali memerhatikan berita televisi. Aku makan dengan sedikit canggung, ini pertama kalinya aku sarapan berdua dengan seorang pria. Lucunya, pria itu bukanlah Jack yang selama ini selalu menjadi angan-anganku. Namun, kehadiran Henry memberikan kehangatan aneh di tempat ini, seakan kami melakukan ini sebagai kegiatan sehari-hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pies of Love
RomantizmA story about a girl named Ellie Andrews who works at Ned Horton cafe in fictional town Riverdawn and in love with one of her customers, Jack Larsen who visits every morning. She's in love for a year yet never dare to talk to him. Ellie bakes and se...