07. 𝕻𝖊𝖓𝖏𝖆𝖗𝖆 𝖆𝖎𝖗

78 26 7
                                    


“𝖙𝖎𝖉𝖆𝖐 𝖆𝖉𝖆 𝖞𝖆𝖓𝖌 𝖇𝖎𝖘𝖆 𝖉𝖎 𝖕𝖊𝖗𝖈𝖆𝖞𝖆 𝖉𝖎 𝖉𝖚𝖓𝖎𝖆 𝖎𝖓𝖎, 𝖙𝖊𝖗𝖒𝖆𝖘𝖚𝖐 𝖉𝖎𝖗𝖎𝖒𝖚 𝖘𝖊𝖓𝖉𝖎𝖗𝖎.”

—𝕬𝖙𝖑𝖆𝖓𝖙𝖎𝖘—

✿⁠ ✿⁠ ✿⁠


Viollet menatap alat lukis yang sudah ia genggam di tangan, gadis itu cemberut kesal. Ia hanya mendapatkan warna biru dan abu-abu. Memang salahnya datang paling akhir, seharusnya ia datang paling awal agar mendapat banyak warna.

Mau tak mau, Viollet duduk depan kanvas yang sudah di sediakan oleh sekolah.

Dia memperhatikan Sir Narci yang sedang menjelaskan. Setelah hampir 15 menit menjelaskan, akhirnya Sir Narci memberikan mereka ruang dan waktu untuk melukis.

Viollet menatap kuas nya, kemudian mengetuk-ngetuk dagu menggunakan kuas. “Gue mau gambar apa kalau cuman dapet dua warna?”

Perhatian nya teralih, Nomi memberikannya tiga warna cat, putih, abu, dan ungu, warna favorit nya.

Viollet menyerit menatap gadis berambut coklat itu. "Apa?"

Nomi mengangkat bahu tak acuh, “Lain kali datang ke ruangan lebih cepat kalau mau dapet banyak warna.”

“Thanks.”

Tampa membalas ucapan terimakasih itu, Nomi lewat begitu saja.

Viollet mulai meregangkan tangannya, dia akan mulai melukis. Perlahan kuas lembut itu mengambil satu titik cat berwarna biru, goresan lembut tercipta. Ia memejamkan matanya, kata-kata Sir Narci terbang melayang di atas kepalanya.

“Seni Ekspresionisme adalah lukisan yang menggambarkan perasaan Sang Pelukis itu sendiri. Jadi, pejamkan mata kalian saat melukis, bayangkan momen senang atau sedih dan tuangkan dalam sebuah goresan halus.”

Viollet terus menggoreskan setiap warna kontras yang ia miliki, dia seolah menjadi ahli dalam bidang seni.

Padahal dia memejamkan matanya, tak tahu apa yang dia lukis. Namun semuanya mengalir begitu saja dalam benaknya, perlahan satu tetes cairan sebening kristal jatuh mengalir di pipinya yang kemerahan. Saking terlarut nya dia dalam sebuah lukisan pertama yang ia ciptakan.

Kurang lebih 50 menit Viollet melukis, matanya terpejam rapat. Ia seolah terbawa oleh setiap goresan yang dia ciptakan, kemudian goresan terakhir selesai.

Perlahan dia membuka mata, Viollet memiringkan kepalanya ke arah kanan bingung. Lukisan yang dia buat tampak tak asing, ia melihat ke arah cat warna.

Ternyata Viollet hanya menggunakan 3 warna, biru, ungu, dan abu-abu. Sedangkan warna putih dan hitam masih tersimpan rapih.

Viollet memegang lukisannya, “Gue ternyata punya bakat selain ngerusak.”

Dia terkekeh, memejamkan matanya sambil menggenggam lukisan tersebut.
Saat Viollet membuka matanya, dia mematung beberapa detik. Ini bukan ruangan tempat dia melukis, lukisannya hilang, murid-murid lain pun tak ada.

Dia menatap sekeliling gelap, tak ada cahaya. Ia merasakan ada air yang perlahan naik untuk menenggelamkan tubuhnya.

“Gue dimana....”

Air itu semakin lama semakin naik ke atas, Viollet berusaha mencari tempat keluar. Namun tak ada, tak terlihat apapun disini, semuanya gelap. Kemudian dia tertegun saat memegang sesuatu, sebuah besi tinggi yang berjejer rapih menutupi jalannya untuk pergi.

Atlantis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang