06. 𝖑𝖚𝖐𝖎𝖘𝖆𝖓

81 26 0
                                    

"𝔎𝔢𝔱𝔞𝔨𝔲𝔱𝔞𝔫 𝔞𝔨𝔞𝔫 𝔱𝔢𝔯𝔲𝔰 𝔪𝔢𝔫𝔤𝔦𝔨𝔲𝔱𝔦 𝔰𝔢𝔰𝔢𝔬𝔯𝔞𝔫𝔤 𝔶𝔞𝔫𝔤 𝔱𝔞𝔨 𝔭𝔢𝔯𝔫𝔞𝔥 𝔟𝔢𝔯𝔞𝔫𝔧𝔞𝔨 𝔡𝔞𝔯𝔦 𝔪𝔞𝔰𝔞𝔩𝔞𝔩𝔲."

-𝔄𝔱𝔩𝔞𝔫𝔱𝔦𝔰-

✿⁠ ✿⁠ ✿⁠



Viollet menatap kotak bekal yang Vinca berikan. Viollet tak mau menerima makanan ini, namun dia juga tak enak hati bila memaksa Vinca untuk menyerahkan makanan ini kembali kepada ibunya. Jujur saja, saat Vinca mengatakan bahwa ibunya sangat mengharapkan nya ada getaran aneh di dalam dadanya. Viollet tak mengerti.

Ia tak tahu harus bereaksi seperti apa.

Pada akhirnya, Viollet diam dengan pikiran yang terus bertengkar berisik. Setelah sekian lama bertengkar dengan pikirannya sendiri, Viollet memutuskan untuk membuka kotak bekal yang Vinca berikan.

Viollet mematung di tempat, lidahnya kembali kelu. Satu tetes cairan bening tumpah di sudut matanya. Setelah hampir 12 tahun, Viollet tak pernah mau makan bahkan melihat nasi goreng udang favoritnya dulu. Sekarang, orang asing memasakkan nya tanpa bisa Viollet cegah.

Viollet menarik nafas dalam-dalam. Dia memalingkan wajahnya, lagi-lagi dia bertengkar dengan pikirannya. Pikirannya ingin memakan makanan yang tak pernah ia makan setelah sekian lama, namun hatinya menolak keras.

Pada akhirnya, ia memilih untuk mencoba makanan tersebut dengan tangan bergetar. Satu suapan mengingatkan nya kepada memori yang tak pernah Viollet bisa tahan kapan datangnya. Rasa makanannya masih sama enaknya seperti 12 tahun lalu. Masih menjadi makanan paling pas di lidahnya.

Viollet menelan makanannya sambil menghapus air matanya. "Mavi....."

✿⁠ ✿⁠ ✿⁠

Viollet menatap lukisan-lukisan dengan ukuran besar di depannya. Dia tidak begitu tertarik dengan seni. "Gue heran kenapa ada peraturan kayak gini di sekolah..." lirihnya.

Mungkin sekolah baru nya adalah sekolah teraneh, mewajibkan seorang murid memberikan lukisannya sendiri untuk sekolah. Bahkan sekolah rela mengeluarkan banyak uang untuk menyewa guru agar muridnya bisa belajar melukis. Ini tidak masuk akal menurutnya.

Lalu matanya terfokus pada satu lukisan abstrak yang sempat ia temui saat pertama kali datang ke sekolah ini. Viollet tanpa ragu berjalan ke arah lukisa tersebut, kemudian menyentuhnya dengan perlahan. Ada aliran aneh dalam dadanya, Viollet tak mengerti. Seolah-olah ada sengatan listik menjalar ke seluruh tubuhnya.

Dia mencoba nya untuk sekali lagi, menyentuh lukisan abstrak itu lebih lama. Lagi-lagi hal yang sama terjadi, akhirnya Viollet memutuskan untuk tidak menyentuh lukisan tersebut.

Dia menatap tangannya. "Apa ada yang salah sama tangan gue?" Viollet bertanya pada dirinya sendiri. "Atau yang salah ada di lukisannya? Kenapa dari banyaknya lukisan, cuman ini satu-satunya lukisan yang nyetrum? Apa lukisan ini di buat sama Thor?"

Viollet terkekeh sendiri.

"Anak-Anak, ayok semuanya kumpul. Duduk di bangku yang sudah ada nama kalian." Suara seorang pria membuat Viollet menoleh, dia adalah guru lukis di sekolahnya. Pria tersebut bernama Narci, biasa di panggil Sir Narci.

Viollet duduk tepat di depan Narci. Dia sempat terpesona dengan paras pria itu, pria itu bagaikan lukisan, dia benar-benar indah dan menawan. Semua orang akan mengakui ketampanan Narci.

Atlantis Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang