13

1.1K 78 4
                                    

"silahkan kopi untuk paman"

Dew sedikit tersentak, sebab sejak tadi dia memperhatikan seisi rumah kecil tiba-tiba Sean menyuguhkan secangkir kopi di depannya. "Terima kasih"

"Paman Dew suka minum kopi?"

"Yah... Suka saja, semua lelaki dewasa suka kopi"

Sean mengangguk kecil, masih memandang lekat pada pria tegap yang juga sibuk memperhatikan sekeliling. Disini semuanya bersih, satu jendela yang mengarah ke sungai. Sebuah kotak kecil berisi tanah dengan bunga cantik nampak subur, Sean berdiri dari posisi duduk mendekati jendela tersebut.

"Apa Sean pernah berharap memiliki seorang ayah?" Ujar Dewi seraya menyesap kopi dari cangkir di salah satu tangannya,

"Pernah, tapi semenjak tau bahwa ayahku adalah ayah Zoo, aku berhenti mengharapkannya"

Lelaki tegap menunduk, menyamakan tubuhnya dengan bocah itu. "Jika ternyata Zoo bukan anaknya, apakah kau ingin dia kembali?"

"Aku tak pantas memutuskan itu" sedu sedan, lika-liku perjalanan pahit bukan dia yang menempuhnya. "Mommy lebih berhak, dan jika Mommy tidak mau, Sean juga tidak mau" lelaki kecil itu tersenyum, sekali lagi dia harus terima bahwa sosok lelaki yang menyakiti malaikatnya adalah duplikat dirinya sendiri. Warna kulit, struktur wajah, hingga caranya bersikap terkait erat dengan Joong.

"Ingin mencoba mencari ayah yang baru?" Tawa renyah dari Dew, nampak seperti candaan. "Jika kau mau, hubungi aku"

"Paman mau menjadi ayahku?"

"Yah, jika kau mau menerimaku. Aku mau"

"Ayolah paman, kau harus menikah dengan orang yang kau cintai"

Dew tersenyum masam. "Aku mencintai Dunk, apa kau tidak percaya?"

"Dulu, paman Joong dan Mommy-ku pasti saling mencintai. Tapi mereka berakhir, itu artinya cinta bisa menghilang kapan saja"

"Yah itu—

—apa paman bisa menjamin, cinta tak bisa hilang dari hatimu?"

Dew diam, wajahnya cukup serius mencari kata-kata yang pas guna mengembalikan kepercayaan perihal cinta pada lelaki kecil ini, namun serbuan pertanyaan sudah menyumbat tenggorokannya.

"Paman, bisa tinggalkan aku dan Mommy-ku berdua saja?, Kenapa harus menjadi ayahku?" Dia memulai pembicaraan lagi, begitu yakin. "Paman bisa menjadi sahabat Mommy-ku, sama seperti paman Louis dan paman Phuwin. Tak usah menjadi ayahku"

"Baiklah, paman Dew paham. Maaf yah, memaksamu berfikir hal yang seharusnya tak kau pusingkan"

Sean kecil mengangguk, dia memandang pria tegap itu dengan wajah penuh perhatian yang sopan. "Terima kasih paman, maaf jika perkataanku membuatmu tak nyaman"

"Anak pintar, Dunk beruntung memiliki bodyguard kecil sepertimu"

.
.
.
.
.

"Untuk apa dia datang ke sini?" Joong berdecak kesal sangat datar, perihal Dew yang kini nampak mengobrol ringan di depan rumah, dia mulai menerka-nerka apa maksud kedatangan lelaki itu di tempat Dunk.

Hatinya jadi panas tak karuan, masih bergelut dengan pertanyaan-pertanyaan dalam otaknya dia tak berani turun dari mobil. Hanya dapat mendengar samar suara obrolan dari kejauhan, tangannya memegang kaca pintu mobil setengah bergetar. Pilu sekali nasibnya, harus menyaksikan cintanya mulai nyaman dengan orang lain.

Cukup lama dia ada disana, hingga lelaki yang sejak tadi diawasinya beranjak pergi. Satu hal yang cukup menyakitkan, saat putranya melingkarkan tangan pada Dew sebelum lelaki itu pergi, dia jadi tak nyaman dengan hati menggebu kepanasan.

"Tidak apa-apa, Dunk jauh lebih sakit dibandingkan yang sekarang kurasakan"

Benar-benar mengerikan, tak terbayang lagi kesakitan yang pernah dia ciptakan. Perlahan tangannya membuka pintu mobil, rasa gugup menyerang. Alih-alih kembali ke mobil dia tetap jalan lurus sambil menahan nafas, kepalanya terasa berputar.

"Dunk..." Dia tak bisa menghilangkan kegugupannya, "apa aku bisa bicara sebentar?"

Nampak lelaki manis itu terhenyak, memperhatikan sekitar. "Apa yang kau lakukan disini?, Bagaimana kau bisa tau rumahku?"

"Maafkan aku, Dunk izinkan aku bicara sebentar" jujur respon Dunk membuatnya panik, dia mencondongkan tubuhnya berusaha menggenggam tangan itu. "Berikan waktu sebentar saja, aku mohon"

Dunk diam, aroma yang khas tak pernah bisa dia lupakan menyerbu indra penciumannya. "Baiklah, Sebentar saja"

Dengan samar-samar lelaki manis itu mengusap bahu putranya, seakan memberi kode agar Sean masuk kedalam rumah, menyisakan hanya dirinya dan Joong di depan pintu.

Dilihatnya wajah tegas itu mulai meredup, kini dia bertanya dalam hati bisakah Joong bertanggung jawab atas rasa sakitnya?. Peristiwa beberapa tahun lalu tentang penghianatan berujung penderitaan untuk dirinya sangat gila, hingga total menghancurkan fikirannya.

Dunk berjalan lebih dulu dengan sempoyongan, membiarkan Joong mengikuti dengan langkah pelan. Nafas lelaki manis terengah-engah menahan tangis, hingga langit mulai menurunkan hujan dia belum juga merasa jernih dengan pikirannya. Terus berjalan, dan berjalan.

Keduanya tak berhenti, tak menyesali baju mereka basah kuyup. Hingga langkahnya terhenti didepan vihara, Joong merasa jantungnya berdetak kencang. Wajahnya sudah basah dan berantakan tak karuan, "Dunk... Apakah ini yang kau rasakan?"

Lelaki manis berbalik sejenak, wajahnya semu. "Dulu, bagaimana kau bisa berpaling dariku?" Dia mendekati sosok tegap itu, mendaratkan kedua tangannya dibahu Joong. "Kenapa kau bisa menghilangkan cinta dari hatimu begitu mudah?"

"Dunk... Maafkan aku"

"Tuhan masih jahat padaku" tangannya memukul bahu kanan dan kiri Joong bergantian, wajahnya nanar. "Dia tak mengizinkanku mencintai orang lain, dan itu gila"

"Dunk... Aku mohon, maafkan aku" Joong menggeleng pelan. "Aku berjanji, aku tak akan melakukan kesalahan lagi. Aku janji, aku mohon aku janji"

"Joong, aku membencimu"

Dia paham, sangat paham hati yang dia sayat terluka parah. Hanya bisa menunduk memohon ampun, dia mengusap wajah si manis berusaha memberikan ketenangan dibawah terpaan hujan. "Dunk... Aku tak akan pernah bisa berhenti mencintaimu setelah hari ini, dan aku akan membuat janji di hadapan Tuhan"

Malam yang panjang di antara jalan masuk berderet lentera, bersinar indah menemani kedua lelaki di depan vihara. Masih dalam kondisi yang sama, tak ada yang bisa melepaskan diri dari belenggu takdir melukiskan derita. Mereka masih sama, sejak awal pertemuan hingga saling memisahkan diri tuhan masih mengabadikan nama keduanya terukir berdampingan.

Dunk menghentakkan kaki membuat pola tak beraturan diatas genangan air, berperilaku kekanakan dia menangis hebat hingga terduduk di lantai semen jalan masuk vihara. Bahkan saat Joong memeluk erat tubuhnya, dia hanya berusaha meringsak sembari memukul bahu lelaki itu. Tenaganya perlahan habis terkuras bersama tangisan,

Di trotoar jalan Sean berdiri kaku, tangannya memegang batang payung. Pemandangan mendebarkan, dia merasa matanya memanas. Kedua orang yang bahkan tak pernah muncul di pikirannya memiliki hubungan, kini saling memeluk dengan Malaikatnya yang meraung dalam tangisan, dia belum pernah melihat hal seperti ini seumur hidup.

Malaikat Nya menangis dalam pelukan dirinya yang lain, langkah kecil begitu pelan hampir tak terdengar menapaki lantai semen. Sean mengerahkan payung tepat di atas kedua lelaki yang masih tertaut dalam dekapan, dia memandang sendu.

"Jangan menangis disini, nanti kalian masuk angin"

Dunk mengadahkan kepala, payung hitam menjadi tameng dari air hujan. Dia menatap wajah tampan anaknya, dan Joong sontak ikut terperangah.

"Ayo pulang, hujannya semakin deras" ujar Sean lagi.

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan, makasih udh mampir 🙏🏻

Cruel Temptation 2 [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang