20

1.4K 100 10
                                    

Derap langkah kaki menyamai di atas altar, Dunk sempat mengadahkan kepala ke langit-langit gedung. Dalam kilatan lapis emas penderitaan terasa nyata, kesedihan tak memudar putra kecilnya tersenyum di sisi pelaminan. Kentara sekali wajah anaknya tak bersemangat, namun entah mengapa senyum dari wajah kecil itu tak sirna.

Kini dalam hatinya dia hanya menyematkan doa, berharap datang ribuan anugrah, sumber kebahagiaannya di masa lalu sudah dia tinggalkan adalah sebuah beban, melibatkan tangisan suram. Namun tekat sudah melepaskan segalanya, bersiap untuk waktu yang digadang-gadang akan indah.

"Apa kalian sudah siap mengucapkan janji pernikahan?"

Kedua lelaki dengan warna tuxedo berbeda mengangguk, tangan mereka digenggam.

Dari bawah sana, salah satu tamu undangan berlari cepat menyambar lelaki kecil yang langsung histeris. Suasana seketika kacau, berlarian dengan liar "MOMMY..."

"SEAN..."

Dunk memberontak, namun lebih dulu Dew menahan calon pengantinnya. Riuh... Para tamu undangan berteriak histeris kala sebilah pisau keluar, dan pria itu dengan tak manusiawi meletakkan lelaki kecil diatas karpet merah altar.

"CEPAT PANGGIL KEAMANAN" Dew berteriak, namun kaku semua bungkam seperti menunggu apa yang kiranya lelaki itu lakukan pada Sean.

Sebuah gelombang asap menyebar, seperti sampah berton-ton terbakar nyaris tak terlihat apapun. Di tengah suara kacau Dunk sudah pingsan, beberapa tamu undangan meringsak keluar dari gedung pernikahan.

Tergeletak tak berdaya, tubuh mungil menyatukan warna darah diatas altar. Matanya sayup berkunang-kunang, orang-orang berlarian dan sosok lelaki jahat yang menusuk perutnya berkali-kali sudah menghilang.

Dia mencoba tetap sadar, melalui tangan kecil terseok-seok berusaha menghindar dari kepulan asap. Situasi menjadi tidak terkendali, suara keras begitu gila memanggil namanya terdengar tak jelas lagi. Hingga saat terakhir tubuhnya terguncang dipeluk erat, air mata dan suara tangis menemani rasa kantuknya.

"Nak... Nak..." Sosok tampan mengedarkan padangan, dia menggendong tubuh anak itu keluar dari ruangan sambil berlari. "Sean..." Tangisannya berpadu dengan kecepatan berlari yang kuat, dia memasukkan tubuh anaknya di dalam mobil. "Daddy mohon, bertahanlah"

Saat itu Joong merasa kematian ada di pelupuk matanya, satu tangan memutar setir dan tangan lainnya menekan kuat luka di perut sang anak. Dia berteriak histeris sepanjang jalan, membunyikan klakson tak karuan dan memukul setir berkali-kali. Ketakutan membuatnya berubah berkali-kali lipat lebih keras kepala, tangisannya kala ini menjadi keputusasaan yang mematikan.

Lengkingan perseneling menghentikan kendaraan, wajah pucat nyaris kehabisan darah, anaknya terkulai lemas berangsur terguncang kuat saat dia mengangkat tubuh kecil itu. Memasuki UGD berteriak kesetanan, para perawat menghampiri mereka dan mengambil alih tubuh Sean sepenuhnya.

Joong memegang pinggiran tembok putih menempelkan darah dipermukaan, seorang perawat mendekatinya yang sudah berwajah pucat. "Tuan... Obati dulu luka anda"

Bersungguh-sungguh, wajahnya kalap saat melihat perutnya ikut berdarah bekas luka tusukan. Masih teringat saat masuk di gedung tadi, dia sempat di jegal oleh seorang lelaki dan berakhir menusukkan pisau di perutnya. Namun rasa sakit tak terasa kala, melihat tubuh jagoannya tergeletak di atas altar bersimbah darah.

"Tolong obati aku, dan aku mohon pastikan keadaan anakku aman"

.
.
.
.
.

"Phi..."

Dunk mengedipkan mata berkali-kali, nyeri hebat menyerang namun bayangan tentang kejadian di gedung tadi memudarkan kesakitannya. Dia menatap Louis yang harap-harap cemas, "dimana Sean?"

"Dia dirumah sakit"

"Lalu, kenapa kita masih disini?"

"Dunk tenanglah" Dew menarik lengan lelaki manis itu, dengan wajah penuh percaya diri "kita harus melanjutkan pernikahan kita"

"Kau gila? Anakku sedang gawat"

"Iya, nanti saat pernikahan kita selesai."

Ada kekesalan di mata lelaki manis itu, perkataan Dew yang terlalu remeh perihal anaknya. Sekarang dia jadi waspada, tak peduli lekingan jengkel dari pria tegap itu dia langsung menarik lengan Louis. "Aku tetap akan pergi menemui anakku, dia yang terpenting"

"Baiklah, silahkan pergi. Kemudian pernikahan kita tak akan pernah terjadi,"

Sejenak Dunk menghela nafas, menjejalkan cincin dari tangannya di depan wajah pria itu. "Ambil semua cinta dan omong kosong mu, kau berjanji akan menyayangi kami tapi buktinya kau lebih mementingkan pamor mu di banding nyawa anakku"

"Baiklah, silahkan pergi saja. Aku akan menghentikan pernikahan ini," nada bicaranya tajam, namun tak terbalas lagi.

Dunk lebih dulu berbalik untuk pergi, momen sangat sempurna dengan dorongan alasan yang tepat dia mendapatkan celah saat Dew menunjukkan ketidaksukaan pada putranya, Louis yang sejak tadi sendu melihatnya mulai menjalankan mobil meninggalkan lokasi gedung pernikahan menuju rumah sakit tempat Sean ditangani.

"Phi..."

"Humm..."

"Joong yang membawanya kesana"

Keduanya bertatapan dengan wajah Dunk cego luar biasa, lelaki manis memijat pelipis dengan ribuan kata sesal tertahan di mulutnya. Tak habis pikir, dalam situasi genting seperti ini yang jadi penyelamat justru Joong. Niat hati ingin merangkai kisah kehidupan baru dia menaruh harapan besar pada Dew agar lebih peduli pada buah hatinya, namun semuanya diluar kendali.

"Apa kau yang memberitahukan tempat pernikahanku?"

Louis diam sebentar, dia mencari-cari kata yang tepat. "Maaf phi, tapi aku tak tega saat dia memohon padaku"

Dunk mengangguk, kini dia merasa sendirian dalam lingkaran rasa takut dan bersalahnya. Dia tak ingin kehilangan putranya, bersamaan dengan itu dia tak ingin kehilangan orang yang belakangan berusaha membahagiakan putranya.

Berhamburan keluar dari mobil kala mereka tiba di rumah sakit, kanan-kiri berusaha menanyai para perawat berakhir dirinya di meja informasi. Cukup sabar Dunk berdiri tak tenang menggigit ujung kukunya, hingga salah satu perawat mengantarkannya ke sebuah ruangan.

Tak dapat bernafas lega, dia belum bisa menemui putranya. Pandangan sesal hanya bisa dia berikan dari luar kaca, operasi akan berlangsung sebentar lagi dan dia masih harus sabar menunggu. Tubuh kecil tak berdaya terbaring dengan kondisi selang menempel dimana-mana, serasa jiwa telah hilang dari raga, lututnya melemas terduduk di lantai koridor rumah sakit.

"Apa kau tak mendengarku, hah?" Keributan di sisi ruangan membuat Dunk berbalik, memberikan perhatian penuh pada sosok mantan suaminya yang sedang berunding dengan seorang dokter.

"Tuan, mohon tenangkan diri anda. Kami sedang berusaha mencari pasokan darah lebih banyak"

Joong menarik kerah baju pria itu, wajahnya mengeras. "Ambil darahku, ambil..."

"Tuan, kembali ke ruangan anda. Tolong itu luka di perut anda masih perlu pengobatan. Bagaimana mungkin kami mengambil darah dari orang yang juga kehilangan banyak darah?"

Joong memegang kuat tiang infus yang sedari tadi di seretnya, sejenak wajahnya melemas. Jelas sekali rasa sakit ini, kekuatan penderitaan keluar dari dirinya bergelombang-gelombang. "Dokter..." Dia mengusap bahu pria berjas putih "jangan bilang aku butuh darah karena aku tak butuh apapun kecuali anakku" air wajah tak tenang, pucat pasi dengan lengkungan hitam dibawah matanya. "Tangani anakku secepatnya, ambil darahku sebanyak yang kalian mau. Tinggalkan mayat ku di ruang operasi dan aku mohon selamatkan anakku"

Dunk memalingkan wajah menggigit bibir bawahnya saat menyimak pembicaraan dua orang itu, air mata membanjiri kelopak mata. Dia tak bergerak sama sekali, rasanya akan menjerit karena takut kehilangan dia tak bisa merelakan siapapun di antara dua orang kesayangannya. "Joong... Jangan lakukan itu"

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan, makasih udh mampir 🙏🏻

Cruel Temptation 2 [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang