19

1K 77 5
                                    

Dengan samar-samar pintu terbuka, wajah Dunk meredup. Sosok lelaki tegap nampak menunduk dengan malaikat kecil dalam gendongannya, angin malam menyapu wajah mereka, dengkuran halus menelisik telinga. "Maaf aku terlambat, dia terlalu banyak menghabiskan waktu di dekat sungai kota"

"Terima kasih" Joong mengangguk kemudian mencondongkan tubuh membiarkan si kecil masuk dalam pelukan Dunk, anaknya sampai dirumah dengan selamat. "Maaf mengatakannya, tapi ini yang terakhir" suara si manis begitu lembut "berhenti menemui Sean lagi, bagaimanapun aku harus menjaga perasaan Dew diantara kami"

Jatuh seketika rasanya, namun topeng di wajahnya masih berakar kuat. Joong hanya mengangguk pelan, senyuman kecil penuh kerelaan.

"Tolong jangan temui kami lagi, berbahagialah Joong, aku telah memaafkan mu. Carilah kehidupan yang lebih baik, Dew akan menjadi ayah yang terbaik untuk Sean. Aku berjanji"

Serasa Belati karma menancap kuat dihati Joong, satu anggukan pelan mengakhiri segalanya. Pintu tertutup perlahan seakan berucap selamat tinggal, dia tertunduk dalam serak parau suara tangisan tertahan diam.

"Aku mohon, jaga malaikat kecil kita"

.
.

Dengan sangat tenang Dunk meletakkan anaknya di atas perapian, sempat menyelimuti si kecil kemudian mengusap rambutnya.

Sean membuka matanya perlahan tanpa sepengetahuan Dunk, bibir kecil bergetar hebat. Dalam kondisi membelakangi Mommy-nya dia mulai merasa matanya memanas hebat mengeluarkan cairan bening, tangan kecil menutup kuat mulutnya menahan suara agar tak terdengar oleh Dunk.

Serasa dijatuhi batu besar basah berkilauan, relung hatinya sakit mendengar kenyataan yang tadi Dunk ucapkan di ambang perpisahan. Matanya sayu penuh air bening, kebahagiaan demi kebahagiaan terenggut namun rela demi kerelaan mengalir deras dari lubuk hatinya.

Saat ini dia merasa tak butuh lagi keajaiban, bahkan jika ingin menyampaikan kegundahannya dia tak berani melihat kekecewaan dari pelupuk mata cinta pertamanya. Pendiriannya runtuh, tak bisa yakin lagi, nyaris hatinya mati dan menyerah.

"Datanglah sekali lagi" isaknya pelan dengan tangan bergetar menghalangi suara tangisan "aku akan memberikan tanda perpisahan yang lebih baik dibanding pesawat kertas itu"

.
.
.
.
.

Baru pukul tujuh lewat sedikit, dalam keremangan abu-abu hijau saat fajar. Lelaki tampan di pinggir perapian ranjang nampak mengusap wajahnya, dia membiarkan pintu kamar terbuka sejak semalam.

Dia berdiri dari posisinya, menyelipkan tangan kedalam nakas mencari kertas kecil berbentuk pesawat yang waktu itu berikan oleh sang anak.

Beberapa waktu belakangan, dia kurang fokus pada pekerjaan. Sang ayah dari Hua Hin seringkali menegur, dia kehilangan fokus dan cenderung jadi pendiam. Tak menunjukkan sifat seperti biasanya, para karyawan tak jarang bertanya-tanya tentang dirinya.

Kertas lusuh reyot hampir tak berbentuk, dia mengusap pelan sembari memperhatikan gambar tiga mahluk dengan lengkungan garis tak beraturan. "Anakku seniman yang hebat, kami bertiga bisa menaiki pesawat bersama berkat khayalan mu nak"

Gelombang rasa sayang terus melanda hatinya, semenit setelahnya Joong berjalan ke ruang makan duduk berhadapan dengan meja. Kosong tak ada satupun kursi terisi kecuali miliknya, terakhir kali yang begitu rindu di tempat ini dia masih melihat lelaki manis bolak balik menuangkan macam-macam menu di atas piringnya. Dalam waktu singkat, kini anaknya beranjak dewasa tanpa pernah menginjakkan kaki di atas keramik rumah mereka sekalipun.

Dimana seluruh janjinya bertahun-tahun silam?, Dimana lelaki kecil yang akan berlari mengelilingi ruang tengah?. Menyampingkan mimpi meneruskan ego yang gila, dia mendapati dirinya berakhir sangat menyedihkan. "Sekarang aku paham kenapa Dunk bertahan"

Senyuman tampan, nada bicara yang menyenangkan, dengan raut wajah berseri anaknya adalah obat dari segala macam kegundahan. telah lama dia merasa ingin menghentikan nafas, nekat berhenti hidup. Melewati kesakitan dan pengusiran beberapa hari yang lalu seharusnya menjadi akhir hidup baginya, namun wajah sang anak terus datang di tiap mimpi pada malam-malam yang panjang.

Seolah di malam hari dia melamun merencanakan kematian, paginya dia akan menangis melihat sosok kecil dalam untaian cerita di alam bawah sadar. Anaknya yang malang, sejahat itu dia merenggut peran masa kanak-kanak buah hatinya.

"Dia dewasa terlalu cepat"

"Tuan..."

Dia membalikkan badan, sontak wanita paruh baya menyerahkan secarik kertas berbentuk undangan padanya. Namun ada yang ganjil, karena sebuah catatan tertempel diatas sana.

"Aku akan menikah, undangan ini hanya untuk formalitas saja menyampaikan kabar pernikahan. Jika aku bisa meminta, tolong jangan hadir. Demi Sean, biarkan kami belajar memulai hidup baru kami"

"Nyonya Dunk akan menikah tuan?"

Joong mengangguk, dia tersenyum namun wajahnya mengeras. Akhirnya dia berjalan menjauhi menu di atas meja seolah-olah makanan itu telah menyakiti hatinya.

Sepanjang langkah lebar Joong menyeka air mata tak henti, dengan buru-buru mengambil jaket dari dalam kamar. Dia tau diri, dia mengerti, dan dia sudah berjanji tak akan melewati batas. Tapi melihat Sean dari jarak jauh masih boleh kan? Dia tak akan menampakkan diri, dia hanya ingin melihat malaikat kecilnya dari kejauhan.

Dia telah membayar segalanya, kesakitan abadi yang sama persis. Kesalahan membuatnya bungkam, namun dia merasa tak boleh menunjukkan sifat lemah. Sepanjang perjalan menuju sekolah anaknya adalah waktu yang terberat, gelisah dan setumpuk kegundahan nyaris membuatnya ingin mati saat itu juga.

Menyeberang ke seberang jalan, dia menengok dari kejauhan tak ada tanda-tanda kemunculan anaknya. Jadi tak sabaran, dia keluar dari mobil mendatangi seorang lelaki yang dia tau adalah teman Dunk. "Permisi, apa aku bisa bertemu dengan Sean Chaow?"

Nampak wajah lelaki manis itu tak enak, dia hanya tersenyum kecil kemudian menggeleng. "Sudah dua hari sejak dia tak masuk ke sekolah"

Tak merespon lagi, dia berlari cepat menaiki mobil. Melaju Lah kendaraan roda empat itu, dengan arah tujuan rumah Dunk. Harapannya besar, degup jantungnya tak karuan dan kini ketakutan semakin besar kala rumah itu nampak sunyi dari luar.

Langkahnya gontai, dia berdiri dengan wajah luar biasa bingung. Didorongnya pintu kayu tak sabaran, kegelapan ruang nyaris tertutup semuanya.

Joong terduduk di lantai kayu, akhir dari harapan dia mendapati keputusasaan. Menggerogoti jiwanya, mengikis nafas sedikit demi sedikit. Bak batu kokoh yang akan hancur terkikis tetesan air selama bertahun-tahun, dia bisa merasakan karma dengan perih mengelupas kulitnya.

"Pengecut, lelaki sialan. Tidak tau diri, kau harusnya mati sejak awal, memberikan penderitaan pada keluargamu dan kau masih berani kembali? Kau lelaki bodoh Joong, kau lelaki bodoh"

Gemericik suara langkah kaki terdengar dari luar rumah, dia berteriak meraung. Kesakitan tak berwujud, menyerang dirinya berbentuk belati berjuta-juta kali merayap dalam darah hingga membunuh jiwanya. Bahu membungkuk menyusul kepalanya ikut tertunduk menimbulkan tangisan kuat tak berhenti, dia terperdaya oleh godaan takdir menyeretnya sampai di ujung waktu dalam kesendirian. "Berjanjilah akan bahagia setelah ini, berjanjilah Dunk..."

.
.
.
.
.
.
.

To be continued

Jangan lupa tinggalin jejak kak, maaf masih berantakan, makasih udh mampir🙏🏻

Joongdunk forever 🤟

Cruel Temptation 2 [Joongdunk]18+[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang