9 | Mengutamakan Sabar

1.2K 117 1
                                    

"Teluh tanah kubur? Berarti kasus ini sama dengan kasus yang pernah kita tangani di Nusa Tenggara Barat, dua tahun lalu?" tanya Tari.


"Ya, aku memang sudah menduga seperti itu sejak kamu menjelaskan soal gejala-gejala yang terjadi pada para korban. Bahkan saat Raja bertanya padaku soal dugaanku, aku memberi tahu padanya bahwa kita pernah menangani kasus dengan gejala yang hampir sama persis, namun berbeda di beberapa aspek," jawab Ziva.

"Berbeda di beberapa aspek itu karena berbeda juga dendam yang dipendam oleh si pengirim teluh? Benar begitu?" Hani ingin meyakinkan diri.

"Iya, Hani Sayang. Benar seperti itu yang aku maksud," Ziva kembali memberi jawaban.

"Oke, selanjutnya bagaimana?" Tari ingin tahu.

"Kita tunggu Mika, Ras, dan Raja melapor tentang kondisi para korban di masing-masing rumah," saran Ziva.

Ziva kini sedang menimang-nimang botol kecil yang tadi ia keluarkan dari dalam saku jaketnya. Ia ingin mencobanya, untuk memastikan hal apa yang akan terjadi jika tanah kuburan itu ia serang secara langsung. Namun karena dirinya belum tahu bagaimana kondisi para korban, ia pun berusaha menahan dirinya untuk beberapa saat. Ziva tahu bahwa risikonya jauh berbeda ketika menangani teluh tanah kubur daripada saat menangani teluh-teluh lainnya. Menangani teluh tanah kubur selalu ada saja konsekuensi yang akan didapat jika sampai salah langkah ketika berusaha mematahkannya.

Ziva tahu bahwa tidak akan ada korban jiwa dalam ritual teluh tanah kubur. Namun yang ia hindari adalah tersiksanya para korban ketika dirinya akan mulai mematahkan teluh tersebut. Jika salah langkah, maka korban akan menjadi sangat tersiksa sehingga akan terus merasa dihantui seumur hidup dengan rasa tersiksa itu. Itulah yang Ziva hindari. Ia jelas tidak boleh gegabah ketika menangani kasus kali ini. Ia harus tenang dan harus lebih bersabar. Prosesnya akan jauh lebih panjang, namun setidaknya tidak perlu ada korban yang dihantui rasa tersiksa setelah semuanya berakhir.

"Aku sudah memeriksa keadaan letiga korban di rumah nomor 8F ini," ujar Mika, melapor lebih awal daripada Rasyid dan Raja. "Mereka memang terus mengalami demam, namun saat ini demamnya tidak terlalu tinggi. Suhu tubuh mereka berada di titik tiga puluh tujuh koma delapan derajat celcius. Batuk dan sakit tenggorokan yang mereka alami masih terjadi. Tampaknya sakit tenggorokan adalah kendala paling utama yang membuat mereka sangat tersiksa. Mereka hampir sangat kesulitan untuk bicara."

Ziva, Tari, dan Hani mendengarkan laporan itu. Begitu pula dengan Rasyid dan Raja yang masih berada di dalam rumah nomor 7F dan 9F.

"Apa yang Mika laporkan benar adanya. Keadaan ketiga korban di dalam rumah nomor 7F juga sama persis seperti yang dia jelaskan," ujar Rasyid.

"Ada yang aneh dengan para korban," lapor Raja yang saat itu masih memeriksa keadaan korban. "Semua korban pria mengalami bintik-bintik merah di sekujur tubuhnya. Menurut korban wanita, dirinya tidak mengalami hal tersebut saat kutanya soal bintik-bintik merah itu. Coba kalian berdua periksa kembali korban pria di rumah nomor 7F dan 8F."

Mendengar hal itu, Rasyid dan Mika pun bergegas memeriksa korban pria di dalam masing-masing rumah yang tengah mereka kunjungi. Benar saja, mereka juga menemukan apa yang Raja temukan di tubuh korban pria dalam rumah-rumah itu.

"Dua korban pria di rumah nomor 7F mengalami bintik-bintik di sekujur tubuh mereka," lapor Rasyid.

"Korban di rumah nomor 8F ini jauh lebih beruntung karena hanya ada satu korban pria, yaitu kepala keluarga mereka. Dua anggota keluarga lainnya adalah wanita, jadi tidak perlu diperiksa," tambah Mika.

Setelah mendengar semua laporan itu, Ziva pun menghela nafas sejenak. Ia sudah tahu siapa yang menjadi pusat dendam si pengirim teluh dan juga dendam atas dasar apa yang dipendam oleh si pengirim teluh. Ia benar-benar harus mengutamakan sabar di dalam kasus kali ini. Ia tidak boleh gegabah atau si pengirim teluh akan sukses meninggalkan trauma pada para korban yang dituju olehnya.

"Kalau begitu Rasyid dan Mika menetaplah sebentar di dalam dan tetap perhatikan para korban. Raja boleh keluar dari dalam karena aku butuh bantuan di luar sini," pinta Ziva, kepada Rasyid, Raja, dan Mika. "Hani Sayang ... coba cari Pak Ardit dan tanyakan apakah air yang kita butuhkan sudah siap."

"Ya, akan kucari Pak Ardit sekarang juga, Ziv," balas Hani.

Raja keluar dari dalam rumah nomor 9F tak lama kemudian. Ziva memintanya untuk segera mendekat karena ia butuh Raja untuk melakukan sesuatu.

"Ada apa, Sayang?" tanya Raja.

"Tolong keluarkan ponselmu dan rekam apa yang akan kulakukan," jawab Ziva.

Raja pun segera melakukan apa yang Ziva minta.

"Ras ... Mik ... kalian masih ada di dalam rumah yang kalian kunjungi, 'kan?" Ziva ingin memastikan.

"Ya, kami masih di dalam seperti yang kamu minta, Ziv," jawab Rasyid.

"Aku juga," tambah Mika.

"Oke, sekarang perhatikan baik-baik para korban yang ada di hadapan kalian berdua. Apa pun yang terjadi pada mereka sebaiknya kalian tidak perlu kaget dan segera laporkan padaku mengenai hal yang terjadi," jelas Ziva.

"Ziv, kamu mau melakukan apa?" tanya Tari.

"Sedikit percobaan, Tar. Kita harus meminimalisir efek buruk yang akan terjadi pada korban, jadi aku akan mencari tahu dulu mana cara yang tepat untuk mematahkan teluh tanah kubur kali ini. Kita tidak boleh mengulang kesalahan yang lalu, kita tidak boleh membuat korban dihantui oleh rasa tersiksa yang diinginkan oleh si pengirim teluh. Kalau aku sudah tahu bagaimana cara yang tepat, barulah kita akan melangkah ke tahap selanjutnya seperti biasa," jawab Ziva, agar Tari segera paham dengan apa yang sedang ditakutkannya.

"Ziv ... itu kejadian dua tahun yang lalu. Enggak mungkin kita akan mengulangi kesalahan yang sama untuk kedua kalinya," ujar Rasyid.

"Maka dari itulah aku sekarang akan melakukan percobaan lebih dulu, Ras. Tujuannya adalah agar kita tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti dua tahun lalu. Kamu enggak berada di posisiku, Ras, jadi kamu enggak tahu bagaimana perasaanku saat tahu kalau korban pada waktu itu ...."

Ziva tidak mampu meneruskan kata-katanya. Ia tersadar bahwa dirinya harus mengutamakan sabar dan tidak meledak-ledak untuk bisa mengatasi teluh tanah kubur itu.

"Ras, mari kita percayakan saja pada Ziva," bujuk Mika. "Ziva benar, kita tidak pernah ada di posisinya selama ini. Jadi kalau sampai ada kegagalan yang terjadi, keadaan perasaan Ziva dan keadaan perasaan kita jelas akan jauh berbeda. Kita tidak pernah tahu bagaimana perasaan Ziva ketika berhasil mematahkan teluh tanah kubur dengan hasil si korban terus dihantui oleh rasa tersiksa yang diinginkan si pengirim teluh. Dua tahun lalu seharusnya memang menjadi cermin untuk kita belajar, agar tidak gegabah ketika menghadapi hal yang sama."

* * *

TELUH TANAH KUBURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang