Arga dan kedua temannya kembali menuju kelas saat ada teman kelas mereka yang memberitahu bahwa Pak Hendra akan masuk. Guru yang mengajar mata pelajaran Kewarganegaraan itu terlihat sangat menakutkan hingga membuat Geri dan Raka sekuat tenaga membujuk Arga agar tak bolos.
Akhirnya mereka berakhir di kelas mereka dengan Pak Hendra yang ternyata sudah ada di kelas.
"Dari mana aja kalian?" tanya Pak Hendra dengan tajam. Tatapannya yang mematikan itu seolah menusuk ketiga remaja yang baru datang.
"M-maaf Pak, habis dari toilet," bohong Raka. Geri dan Arga yang mendengar itu hanya bisa memejamkan matanya tak habis pikir dengan jawaban yang dilontarkan oleh temannya itu.
"Bagus!! Berdiri di belakang kelas sampai pelajaran selesai!" bentak Pak Hendra. Dia akan lebih menghargai siswa yang berbohong tapi masuk akal. Untuk apa ketiganya pergi ke toilet bersama? Itu sangat tidak masuk akal.
"Gak ngotak banget lo." Sambil berjalan menuju ke belakang, Geri berbisik demikian pada Raka. Padahal awalnya dia akan menjawab jika mereka habis membantu adik kelas yang pingsan, mungkin itu akan lebih masuk akal. Tapi dengan bodohnya Raka malah mendahuluinya.
"Ya gue gak tau bakal kaya gini," balas Raka tak terima karena Geri menyalahkannya. Sementara itu, Arga berjalan mematuhi perintah sang guru tanpa banyak bicara.
Mereka berdiri di belakang sana dan terpaksa harus memperhatikan penjelasan Pak Hendra, padahal mereka sangat mengantuk.
"Ada yang bisa jawab?" tanya Pak Hendra saat dia mengakhiri pembahasan pertamanya. "Yang bisa, coba angkat tangan," sambungnya.
Dari sekian banyak siswa yang ada di kelas itu, sama sekali tak ada yang mengangkat tangan. "Kalian bertiga, ada yang bisa jawab? Kalau ada yang bisa, boleh duduk."
Geri, Raka menatap Arga meminta bantuan pada pria itu karena dia yakin Arga tahu jawabannya. Namun merasa dikhianati, Arga malah mengangkat tangannya yang membuat mata kedua temannya itu terbelalak.
"Saya, Pak," ucap Arga.
"Ya, Arga. Apa jawaban kamu?" tanya Pak Hendra.
****
"Aahh sialan!! Pegel banget kaki gue," keluh Raka sambil memijat kakinya. Mereka saat ini telah berada di kantin setelah usai pelajaran Pak Hendra.
"Gimana gak pegel? Sembilan puluh menit kita berdiri," jawab Arga.
"Kita? Gue sama Geri doang!! Lo enak duduk duluan!!" sentak Raka tak terima.
Setelah Arga berhasil menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Pak Hendra, pria itu langsung dipersilahkan untuk duduk, lain halnya dengan Raka dan Geri.
"Salah lo juga, Bego! Kenapa pakai jawab habis dari toilet!" Kali ini Geri kembali melempar kesalahan itu pada Raka.
"Udah, lagian udah terlanjur, kan." Arga mencoba untuk menghentikan pertengkaran keduanya. Selain karena telinganya yang sudah panas, dia juga merasa malu karena perdebatan dua orang temannya itu menjadi tontonan seisi kantin.
Geri menghela nafas begitu juga dengan Raka. Fokus mereka kembali pada makanan yang ada di hadapannya.
"Gimana tugas Pak Hendra, Ga?" Raka kembali mengeluh saat dia mengingat tugas itu. Bahkan tadi Pak Hendra juga sempat menanyakannya, beruntung mereka masih memiliki waktu satu minggu lagi untuk menyelesaikannya.
Tugas itu adalah tugas yang sama seperti apa yang dibicarakan Arga pada temannya beberapa hari lal.
"Gue sih udah beres," jawab Arga dengan tenang.
"Gue juga udah separo," timpal Geri tak ingin kalah.
Mendengar hal itu membuat Raka terdiam dan memandang kedua temannya dengan tatapan kecewa. "Kenapa kalian gak bilang sama gue?" tanya Raka pelan seolah dia akan menangis.
"Gak usah drama!" sentak Geri sudah bosan melihat drama yang dilakukan Raka setiap hari.
"Ish, kenapa gak ajak gue buat ngerjain sih?" kesalnya. Seperti seorang gadis yang tengah merajuk, Raka mengalihkan pandangnnya dari kedua temannya itu.
"Jangan bilang yang enggak-enggak lo. Tiap kali gue ajak buat ngerjain tugas di rumah Arga lo selalu bilang, 'Tugas Pak Hendra gampang semua, gak ada yang susah. Dikerjain satu jam juga kelar' terus lo lanjut main PS." Geri berusaha menirukan gaya bicara Raka ketika pria itu menolak ajakannya.
Raka yang merasa, hanya tersenyum kuda memperlihatkan deretan giginya sambil menggaruk bagian belakang kepalanya yang tak gatal.
"Kak, maaf boleh duduk di sini gak? Bangku lain kosong," ucap seorang gadis yang kebetulan mereka kenali.
Sebelum menjawab, Arga berusaha mengedarkan pandangannya untuk memastikan apakah memang tak ada lagi bangku yang kosong atau itu hanya dia gunakan sebagai alasan.
Bukannya menemukan bangku yang kosong, netranya malah menangkap sosok gadis yang kemarin datang ke rumahnya. Nadia, gadis itu tengah berbincang dengan seseorang, tapi bukan Naya temannya melainkan seorang pria.
Sementara itu, gadis yang meminta untuk duduk di sana sudah lama mengambil tempatnya karena dengan semangat, Raka mempersilahkannya.
"Cih," decih Arga sambil mengalihkan pandangannya. Saat itu dia baru sadar jika gadis itu telah duduk di sampingnya.
"Siapa yang izinin lo duduk di sini?" tanya Arga. Belum juga gadis itu menjawab, Raka telah menjawabnya terlebih dulu.
"Gue yang izinin. Lagian kenapa sih? Kita kan juga kenal sama Cinta," jawab Raka dengan polosnya.
Arga tak mungkin juga mengusir gadis yang telah duduk di sana. Akhirnya dia memilih pasrah dan menghela nafasnya sebelum kemudian kembali menyantap makanannya.
"Kok sendirian?" tanya Raka antusias.
"Iya, Kak. Yang lain udah pada pergi sama temannya," jawabnya seolah dia sedih karena tak ada yang mengajaknya.
"Ya udah di sini aja, kita temenin." Cinta mengangguk dan mengalihkan pandangannya pada Arga.
"Kak Arga," panggil Cinta yang membuat Arga mengalihkan pandangannya pada gadis itu. "Makasih ya udah bantu aku tadi," sambungnya saat atensi Arga sudah beralih padanya.
Arga tak menjawab panjang lebar, dia hanya berdehem sambil menganggukkan kepalanya sebelum kemudian pandangannya saat ini kembali pada Nadia. Dia terus memperhatikan interaksi gadis itu dengan sorang pria yang ada di depannya.
"Lain kali kalau kamu gak ada teman, ke sini aja." Raka kembali mengajak Cinta berbicara. Namun Cinta hanya mengangguk dan tersenyum tak nyaman. Kedatangannya ke sini bukan ingin diajak bicara oleh Raka, tapi untuk Arga.
"Kak - "
Brak
Belum sempat Cinta menyelesaikan ucapannya, Arga berdiri sambil menggebrak meja hingga membuat semua orang yang ada di sana menatapnya dengan heran.
Cinta yang mengira Arga marah karena dia mengganggunya tentu saja gemetaran. "M-maaf," cicitnya.
"Lo kenapa sih?" tanya Geri karena tak mengerti mengapa Arga melakukan itu.
"Gue cabut, jangan cari gue." Setelah mengatakan itu Arga benar-benar pergi dari sana. Geri paham jika Arga sedang marah dan tidak ingin diganggu.
"Gak usah takut. Dia gak marah sama lo kok." Geri berusaha menenangkan Cinta yang sepertinya masih terkejut dengan kejadian itu.
Sementara itu, Nadia menatap kepergian Arga dengan heran. "Kenapa dia?"
Gimana?? Lanjut gak nihh???
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH GLARE
Teen FictionVOTE AND COMMENT!!! FOLLOW AND READ!!!! Gue Arga Adyatama, putra sulung keluarga Adiatama. Diana Adyatama adik perempuan gue yang sekarang masih sekolah di kelas 3 SMP. Saat ini harusnya gue udah jadi tulang punggung keluarga karena kepergian bokap...