Di sinilah mereka semua berada. Pada akhirnya Nadia setuju untuk makan di rumah Arga sesuai dengan permintaan Tante Anita.
Memang awalnya dia hendak menolak, jika saja Arga memberikan kode padanya untuk menolak tawaran mamanya itu. Tapi pria itu bergeming, jadi inilah pilihan Nadia.
"Seru banget ya kalau satu rumah isinya ramai gini," ucap mama Anita.
Semuanya tersenyum setuju dengan apa yang dikatakan oleh mama Anita. Hanya satu orang yang diam dengan raut wajah tidak bersahabat.
"Yuk makan!" seru Diana. Gadis itu sangat antusias, mungkin karena perutnya sudah keroncongan sejak tadi.
Mereka makan seperti yang dikatakan oleh Diana. Senda gurau mengiringi acara makan mereka.
"Tante enak banget masakannya. Pasti nanti nular nih sama anaknya." Sengaja Raka berucap demikian untuk memberikan kode bahwasanya keterampilan memasak mama Anita pasti akan menurun pada Diana.
"Iya dong. Kamu sendiri kan tau gimana enaknya masakan Arga." Jauh dari perkiraan, justru mama Anita malah membicarakan Arga.
Raka tentu saja sedikit kecewa dengan hal itu. Namun itu berarti dia harus lebih gigih berusaha untuk bisa mendapatkan restu dari mama Anita untuk mendekati Diana.
Arga yang sadar dengan hal itu akhirnya terkekeh setelah sedari tadi dia hanya diam membisu.
"Nah ketawa kan lo? Giliran beginian aja lo puas banget ketawa," ucap Raka tak terima.
"Emangnya kenapa?" Mama Anita masih tak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh Raka.
"Mama tanya sendiri aja sama Raka," jawab Arga masih terkekeh.
Mama Anita mengalihkan pandangannya pada Raka meminta kejelasan pada pria itu karena dirinya merasa penasaran.
"Ah enggak, Tan." Dia merasa malu jika harus terus terang seperti itu.
"Raka lagi usaha buat dapetin restu dari Mama. Dia lagi deketin Ana." Bukan hanya mama Anita yang terkejut, tapi Diana juga hampir saja tersedak makanannya.
"Uuhuukk, kok jadi aku sih?" protesnya. Dia sedang enak-enak makan, tapi semuanya malah membicarakannya yang sama sekali tak tahu apa-apa.
"Tuh, emang Ana mau sama kamu?" tanya mama Anita dengan nada bergurau.
"Ah kalau Ana urusan belakangan. Yang penting sekarang ambil hati mama-nya dulu," kekehnya.
Semuanya terkekeh begitu juga dengan Nadia dan Geri yang sedari tadi hanya diam.
****
"Makasih makanannya, Tante," ucap Nadia. Beberapa saat lalu mereka telah selesai makan. Tiba saatnya bagi Nadia untuk pulang karena hari juga mulai malam.
"Mau pulang sekarang?" tanya tante Anita setelah dia mengangguk menjawab ucapan terima kasih dari Nadia.
"Iya, Tan. Takut gak ada bus kalau lebih malam," jawabnya.
Anita mengalihkan pandangannya pada Arga yang sedang sibuk memakan camilan sambil menonton acara televisi.
"Bang, antar Nadia ya." Arga segera menatap mama-nya tak terima.
"Kan dia udah bilang kalau dia mau naik bus." Arga mencoba menghindar agar dia tak harus mengantar Nadia.
"Gak usah, Tan. Aku bisa pulang sendiri kok."
"Emm gak boleh. Ini udah mau malam dan tadi Tante juga yang ajak kamu ke sini. Jadi biar Arga antar kamu."
"Mama yang ajak dia ke sini, kenapa jadi Arga yang harus anterin dia pulang?" Arga masih tak terima.
Namun pada akhirnya dia luluh setelah Anita memandang putranya dengan tajam pertanda Arga sudah tak memiliki celah lagi untuk menolak.
"Ck," decaknya sambil bangun dari duduknya. Dia sedikit melempar bantal kursi yang semula dia peluk.
Pria yang sama sekali belum mengganti bajunya itu berlalu menuju keluar setelah dia mengambil kunci mobilnya.
"Mau naik gak lo?!" sentak Arga ketika dia sudah memarkirkan mobilnya dan siap melaju. "Lo bukan ratu yang harus dibukain pintu mobil, kan?" sindirnya.
"E-enggak, Kak," jawab Nadia dengan cepat. Dia segera naik ke dalam mobil.
Hanya suasana sunyi yang ada di dalam mobil hingga akhirnya Nadia memberanikan diri untuk membuka suaranya.
"Kak, boleh turunin aku di depan aja? Aku bisa naik bus dari sini," pintanya. Dia sudah sangat tak tahan dengan kesunyian dan rasa canggung di dalam mobil.
Jika kalian pikir Arga akan menolak, kalian salah karena sepersekian detik setelah Nadia meminta, Arga segera menepikan mobilnya.
Nadia keluar dari mobil dan sedikit menunduk untuk mengucapkan terima kasih. "Makasih, Kak. Maaf ya udah repotin Kakak."
"Gue peringatan sama lo, jangan berusaha cari muka sama nyokap gue dan jangan sok baik lo jadi orang. Muak gue lihatnya!" Itulah kalimat terakhir yang dilontarkan oleh Arga sebelum kemudian mobilnya melaju dengan cepat meninggalkan Nadia di sebuah halte bus yang sebenarnya jaraknya tak jauh dari rumah Arga.
Pria itu tak langsung pulang. Dia akan berputar agar mama-nya tidak curiga jika dia menurunkan Nadia di tengah jalan.
Sementara Nadia duduk di halte untuk menunggu sebuah bus yang akan datang. Sebenarnya belum terlalu malam juga untuk dirinya pulang seorang diri.
Tak lama ada sebuah motor berhenti di depannya. Orang yang menumpangi motor itu membuka kaca helm-nya saat dirasa Nadia berusaha untuk mengenalinya.
"Nad, kok di sini?" Nadia segera tahu siapa orang itu setelah dia berbicara.
"Ahh Kak Geri, kirain siapa. Iya, Kak nunggu bus, katanya bentar lagi datang," jawabnya.
Geri sedikit bingung dengan jawaban Nadia.
"Bukannya tadi lo diantar sama Arga? Terus sekarang dia ke mana?" Geri masih mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Iya, Kak. Aku gak enak sama kak Arga, jadi aku minta dia buat nurunin aku di sini," jawabnya.
"Ya udah kalau emang lo ngerasa gak enak sama Arga, biar gue aja yang antar lo pulang." Geri memberikan sebuah tawaran. Dia tentu saja bukan tipe orang yang akan tega membiarkan seorang gadis untuk pulang sendiri apalagi hari sudah mulai malam.
"Gak usah, Kak. Bentar lagi bus-nya datang kok." Hanya untuk penolakan, sebanarnya Nadia sama sekali tak mengetahui kapan bus itu akan tiba.
"Lo ke arah sana, kan?" Geri kembali bertanya yang diangguki oleh Nadia.
"Ya udah yuk bareng. Sekalian aja, gue juga ke arah sana." Melihat Geri yang sepertinya sangat tulus menawarkan tumpangan padanya, akhirnya Nadia mengangguk dan segera menaiki motor Geri.
Pria itu membuka helm yang dia kenakan. "Nih pakai. Gue gak bawa helm lagi." Geri menyodorkan helm pada Nadia.
"Gak apa-apa, Kak. Kakak aja yang pakai. Lagian kan Kakak yang di depan," tolaknya.
"Udah lo aja yang pakai. Cepat nanti keburu malam." Setuju dengan apa yang dikatakan oleh Geri akhirnya Nadia memilih untuk menerima helm itu dan mengenakannya.
"Pegangan!" perintah Geri.
Nadia bingung ke mana dia harus memegang. Apalagi motor yang dipakai Geri adalah motor besar seperti milik Arga.
Tanpa diduga, tangan Geri menarik tangan Nadia agar melingkar di perutnya. Nadia agak tersentak dengan perlakuan itu sebelum dia berusaha sekuat tenaga untuk tidak gugup.
Motor Geri melaju membelah keramaian kota di malam hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH GLARE
Teen FictionVOTE AND COMMENT!!! FOLLOW AND READ!!!! Gue Arga Adyatama, putra sulung keluarga Adiatama. Diana Adyatama adik perempuan gue yang sekarang masih sekolah di kelas 3 SMP. Saat ini harusnya gue udah jadi tulang punggung keluarga karena kepergian bokap...