“Kak Arga.”
Arga menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. “Maaf, Kak. Ini tadi jatuh.” Seorang gadis memberikan dompet yang sangat dia kenali padanya.
“Ah, makasih.” Arga mengambil dompet itu. Setelah berterima kasih Arga segera pergi dari sana.
Dia berakhir di kelasnya. Geri yang bingung dengan sikap Arga seharian ini akhirnya bertanya.
“Kenapa sih lo?” tanya Geri pada akhirnya. Dia mendudukan dirinya di samping Arga.
“Gak apa-apa,” jawabnya singkat.
Geri yang sudah berteman dengan Arga cukup lama, tentu saja dia tahu apa yang dikatakan oleh temannya itu adalah sebuah kebohongan karena sekarang dia yakin jika Arga sedang tak baik-baik saja.
“Gue yakin ada yang salah sama lo. Kalau lo baik-baik aja, lo gak akan kaya gini,”
ucap Geri.Arga menghela nafas berat. Dia tahu jika dirinya tak akan bisa berbohong pada Geri. Namun tadi dia mencoba, mungkin saja dia bisa membohongi pria itu sekali.
“Bete. Bolos boleh gak sih?” tanya Arga. Bukannya menjawab ucapan Geri, dia malah mengalihkan percakapan mereka.
“Boleh-boleh aja kalau lo mau uang jajan lo hangus lagi.” Sebuah jawaban yang cukup untuk Arga mengurungkan niat bolosnya.
“Gak ada bedanya lo sama nyokap gue,” kesalnya.
“Kalau ada masalah tuh cerita, bukannya malah uring-uringan kaya gini. Lo malah gak ada bedanya sama cewek yang lagi PMS tau gak?” Lagi-lagi ucapan Geri membuat Arga sebal.
“Ger, lo sadar gak sih kalau sikap Nadia mirip banget sama Sinta?” Akhirnya apa yang menjadi uneg-unegnya selama ini keluar juga dari mulut pria itu.
“Gue kan udah bilang ini sama lo. Lupain masa lalu lo itu dan lihat dia sebagai orang baru. Setiap orang gak ada yang sama, Ga. Mereka punya karakter sendiri.” Geri kembali menekankan jika anggapan Arga tentang Nadia itu berbeda.
“Ah gak tau gue, malah makin pusing!” Dia tak ingin lagi melanjutkan percakapan itu.
Geri menggelengkan kepalanya mendengar temannya mengatakan hal itu. Dia juga tak akan ambil pusing jika Arga memang tak ingin membahas hal itu lagi.
****
“Tante maaf ya rumah Nadia berantakan. Padahal kalau Tante mau ketemu, kita bisa ketemu di luar aja biar Tante lebih nyaman,” ucap Nadia.
Sebenarnya rumah kontrakan yang ditinggali nadia itu tak bisa dikatakan berantakan karena itu cukup rapi. Tapi mungkin dia merasa tak enak karena Anita datang ke rumahnya yang kecil ini.
“Kamu ini ngomong apa sih? Ini nyaman kok, bersih banget malah,” ujar Anita sambil melihat sekeliling.
Sebenarnya bukan pertama kali dia datang ke sini, dia pernah datang namun sayang saat itu Nadia sedang tak ada di rumah.
“Ini Tante bawa camilan sedikit.” Anita membawakan beberapa makanan ringan.
“Tan, kenapa harus repot-repot sih?” sungkan Nadia. Dia merasa tak enak karena malah Anita yang membawakan camilan untuknya.
“Gak apa, lagian sekalian aja Tante beli buat kamu, soalnya Tante juga beli buat di rumah,” ucapnya.
Nadia hanya bisa mengangguk. “Nadia!!!” Tiba-tiba saja di luar sana terdengar ada yang meneriakan nama Nadia. Keduanya dibuat terkejut karena hal itu.
Nadia segera keluar dari rumah kontrakan itu setelah dia tahu suara siapa yang baru saja memanggilnya.
“Ibu, ada apa, Bu?” tanya Nadia dengan takut. Rasanya dia tak punya salah apapun.
“Ada apa kamu bilang?! Udah dua bulan kamu nunggak uang sewa kamu! Kalau gak kamu bayar, pergi dari sini kamu sekarang juga!” bentak seorang paruh baya yang sebenarnya adalah pemilik dari kontrakan itu.
“T-tapi saya udah bayar kok, Bu,” sangkal Nadia. Dia yakin jika dirinya sudah membayar sewa dua bulan ini termasuk bulan ini.
“Gak ada sama sekali kamu bayar! Terakhir kali aja kita ketemu tuh dua bulan lalu!” Lagi-lagi Nadia dibentak.
Anita yang tak nyaman mendengar setiap teriakan yang keluar dari orang itu akhirnya menghampiri keduanya.
“Maaf, kalau boleh tau ada apa ya?” tanya Anita berusaha sesopan mungkin walau sebenarnya dia sudah sangat kesal dengan pemilik kontrakan itu.
“Siapa kamu?” Pemilik kontrakan itu terlihat sangat heran karena biasanya tak akan ada yang berkunjung ke rumah Nadia selain temannya, Naya.
Bisa dibilang, hanya segelintir orang yang berkunjung ke sana.
“Ah perkenalkan, saya Ibu-nya Nadia,” jawab Anita sambil mengulurkan tangannya.
Terkejut, tentu saja pemilik kontrakan itu terkejut dengan kenyataan ini. Matanya melihat dari ujung kepala Anita sampai dengan ujung kakinya. Menilai apakan wanita itu patut untuk dia berikan keramahan atau tidak.
“Ahh jadi ini Ibu-nya Nadia. Selama ini Ibu-nya jarang datang ya.” Dengan cepat pemilik kontrakan itu menjabat tangan Anita.
“Maaf, saya sibuk jadi membiarkan anak saya untuk tinggal sendiri di sini. Tadi Anda bilang uang kontrakannya belum dibayar dua bulan?” tanya Anita yang diangguki oleh orang itu.
“Ini saya bayar untuk satu tahun ke depan. Selebihnya tolong perlakukan dia dengan baik.” Anita menyodorkan banyak sekali uang hingga membuat pemilik kontrakan membelalakan matanya.
“Makasih. Tentu saja saya akan memperlakukannya dengan baik. Kalau begitu saya pergi dulu.” Dengan hati yang berbunga, pemilik kontrakan itu pergi.
Sementara Nadia masih mematung di tempatnya. Dia tak berharap semuanya akan menjadi seperti ini karena dia yakin jika dia sudah membayarnya.
“Yuk masuk lagi.” Anita membawa Nadia yang sepertinya masih terkejut kembali ke dalam.
“Tan, Nadia pasti akan bayar semuanya sampai lunas. Tante jangan khawatir.” Setelah sadar dari rasa khawatirnya akhirnya kalimat itulah yang pertama kali keluar dari mulutnya.
“Ssstt gak usah. Kamu gak usah bayar apapun.” Nadia terkejut dengan ucapan Anita.
“Enggak, Nadia pasti bayar, Tan. Itu bukan uang kecil, jadi gimanapun caranya, Nadia pasti bayar semuanya walau gak sekarang.”
Tak ingin mendebat gadis itu lebih lama, Anita akhirnya mengangguk seraya tersenyum hangat.
“Jangan maksain diri kamu, Nad. Yang penting sekarang kamu fokus belajar aja. Itu juga sebagai balas budi Tante karena kamu udah selamatin nyawa Tante.”
“Enggak, Tan. Itu udah rencana Tuhan dan Nadia waktu itu emang harus nyelamatin Tante.”
“Iya, makasih ya.”
“Makasih juga karena Tante udah pinjemin aku uang.”
“Tapi aku yakin kalau aku udah bayar lunas sampai bulan ini,” lirihnya entah sadar atau tidak.
“Kamu bayar langsung sama dia?” Anita bertanya karena tadi dia sempat mendengar bahwa terakhir kali wanita itu bertemu dengan Nadia adalah dua bulan lalu.
“Enggak, ada tetangga sebelah yang juga ngontrak, dia bilang ibu kontrakan udah nanyain uang sewa dan dia bilang kalau dia yang akan kasih uang itu sama ibu kontrakan,” jelas Nadia.
Saat itu dia sama sekali tak curiga karena orang itu terkenal baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH GLARE
Ficção AdolescenteVOTE AND COMMENT!!! FOLLOW AND READ!!!! Gue Arga Adyatama, putra sulung keluarga Adiatama. Diana Adyatama adik perempuan gue yang sekarang masih sekolah di kelas 3 SMP. Saat ini harusnya gue udah jadi tulang punggung keluarga karena kepergian bokap...