Hari ini Anita seperti biasa pergi bekerja. Dia sudah sangat lelah sebenarnya dengan berbagai macam pekerjaan yang harus dia pegang. Tapi taka da pilihan lain karena Arga juga tak bisa langsung mengambil alih perusahaan sementara dia masih sekolah.“Apa aja jadwal kita hari ini?” tanya Anita pada sekretarisnya.
“Untuk hari ini kita hanya ada jadwal meeting dengan Pak Bagas, Bu.” Anita mengangguk mengerti.
“Kalau gitu saya keluar sebentar.” Sekretarisnya itu mengangguk. Niatnya, Anita keluar hanya untuk membeli makan.
“Di mana ya enaknya?” tanyanya. Dia melajukan mobilnya untuk mencari tempat makan yang dikiranya enak dan nyaman.
Padahal hari sudah sore dan ini memang sudah waktunya pulang. Tapi karena ada meeting yang harus dia lakukan, jadi dia belum pulang.
Setelah sekian lama mencari, akhirnya Anita menemukan sebuah kedai yang sepertinya sangat nyaman.
Dia berhenti di sana dan memesan makanan. Tak membutuhkan waktu lama hingga makanannya tiba dan dia segera melahapnya.
Selesai dengan mengisi tenaganya, Anita membayar makanannya dan keluar dari kedai itu. Dia memegangi kepalanya saat dirasa dia mulai pening.
“Ini di mana?” tanyanya saat peningnya sudah hilang.
Dia sama sekali tak tahu tempat ini dan sedang apa dirinya ada di sana. Jangankan itu, bahkan dia juga tak mengenal dirinya sendiri.
Karena tak tahu dia harus pergi ke mana, Anita hanya terus berjalan tanpa arah dan tujuan.
“Tante,” sapa seseorang. Bukannya merespon orang yang bertanya padanya, Anita malah terus berjalan seolah tak mengenal orang itu.
Nadia, yang baru saja memanggil Anita berdiri bingung dengan sikap orang yang dia kenal itu. Tak biasanya Anita akan bersikap seperti itu.
Bukan tak peduli, tapi dia tak ingin terlalu sok dekat dengan Anita sehingga dia memilih kembali melanjutkan langkahnya.
Namun, baru saja dua langkah dia berjalan, suara erangan dari seseorang berhasil membuat Nadia membalikan badannya.
“Tan!” teriaknya sambil menghampiri Anita yang sudah terduduk sambil memegangi kepalanya.
“Tante gak apa-apa?” tanya Nadia merangkul Anita takut wanita paruh baya itu tumbang jika dia lepaskan.
Anita tak menjawab, dia hanya terus mengerang dengan tangan di kepalanya. Sepersekian detik kemudian tiba-tiba kesadaran Anita menghilang.
“Tan!” Nadia histeris saat dia melihat hal itu.
****
Di sinilah Nadia sekarang, di bangku rumah sakit sedang menunggu Anita yang tengah diperiksa oleh dokter.
Dia menunggu dengan cemas karena takut hal buruk terjadi pada Anita.
“Semoga tante Anita gak apa-apa,” lirihnya. Sedari tadi dia tak henti memilin jari tangannya karena merasa cemas.
Seorang dokter keluar dari ruangan yang membuat Nadia segera menghampirinya untuk bertanya bagaimana keadaan Anita.
“Bagaimana hasilnya, Dok?” tanya Nadia khawatir.
“Pasien selama ini mengidap penyakit Alzheimer, di mana pasien akan mengalami penurunan daya ingat dan cara berpikir.”
Nadia memang tak terlalu mengerti dengan penjelasan dari dokter, tapi sedikitnya dia paham apa yang dimaksud.
“Kalau begitu saya boleh jenguk pasien?” tanya Nadia. Awalnya dia ingin menghubungi Arga, tapi dia baru ingat jika dia tak memiliki kontak pria itu.
“Tan,” panggilnya saat dia tiba di ruangan itu.
Anita menoleh untuk melihat siapa yang memanggilnya. Senyum simpul terbit di wajahnya saat dia melihat Nadia.
“Tante baik-baik aja?” tanya Nadia yang langsung mendapatkan anggukan dari Anita.
“Ternyata kamu lagi yang selamatin Tante,” kekehnya. “Tuhan seolah kasih petunjuk buat Tante,” sambungnya.
Nadia mengernyitkan keningnya karena dia tak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Anita.
“Maksud Tante?” Akhirnya Nadia memberanikan diri untuk bertanya.
“Dokter udah bilang sama Tante tadi penyakit apa yang sedang Tante idap. Tante harap kamu gak kasih tahu hal ini sama Arga ataupun sama Diana. Tante gak mau mereka khawatir,” pintanya.
“Tapi, Tan…”
“Tante tahu kalau mereka perlu tahu. Tapi nanti Tante yang akan kasih tahu mereka kalau emang udah waktunya. Buat sekarang, kamu bisa kan jaga hal ini dulu?”
Tak bisa menolak permintaan Anita, akhirnya Nadia hanya bisa mengangguk menyetujui apa yang diinginkan oleh Anita.
“Kamu bisa antar Tante ke tempat tadi kamu ketemu Tante?” tanya Anita.
Nadia kembali mengangguk. “Kalau Tante gak keberatan biar aku antar Tante pulang, aku khawatir terjadi apa-apa lagi,” ujar Nadia yang membuat Anita tersenyum hangat.
“Gak usah Nad. Lagian Tante gak langsung pulang kok. Masih ada kerjaan di kantor,” tolaknya dengan halus.
“Ya udah, aku antar Tante sampai tempat tadi aja.” Anita mengangguk.
“Makasih ya udah tolong Tante lagi.” Entah harus dengan apa Anita membalas kebaikan Nadia.
“Gak apa-apa, Tan.” Nadia menggandeng Anita untuk keluar dari sana dan menuju tempat di mana tadi dia bertemu dengan Anita.
Sepanjang perjalanan menuju ke sana, Anita hanya diam. Banyak sekali hal yang dia pikirkan apalagi setelah mendengar penjelasan dokter tadi.
“Nad,” panggilnya. Pandangannya tak mengarah pada orang yang sedang dia ajak bicara melainkan keluar jendela mobil dengan pandangan kosong.
“Iya, Tan,” jawab Nadia.
“Kamu tinggal sendiri di rumah kontrakan kamu?” Entah angin dari mana tiba-tiba Anita bertanya seperti itu.
“Iya.”
“Orang tua kamu?” Anita kembali bertanya.
Nadia menggeleng. Saat Anita tak kunjung mendapat jawaban, barulah dia menengok pada Nadia.
“Sejak kecil aku gak tahu di mana orang tua aku, Tan. Aku tinggal di panti asuhan sama anak-anak lain,” jawabnya.
Nadia selalu saja merasa sedih jika dia harus membahas hal ini karena dia akan menangis setelahnya.
“Ah maaf, Sayang. Tante gak ada maksud buat itu…”
Nadia tersenyum, namun Anita tahu ada banyak sekali rasa sakit dalam senyum yang ditampilkan oleh Nadia. “Gak apa-apa, Tante.”
“Tante mau main ke sana boleh?” izin Anita.
“Ke panti?” Nadia memastikan jika saja dia salah menangkap maksud Anita.
Namun Anita mengangguk setelahya menyatakan jika dia ingin main ke panti di mana Nadia tumbuh.
“Boleh, Tan.” Nadia juga tak berhak melarang jika seseorang ingin pergi ke sana, toh itu adalah tempat yang bisa dikunjungi oleh siapa saja.
“Kamu kapan bisa temenin Tante ke sana?” tanya Anita.
“Aku menyesuaikan aja sama jadwal Tante karena aku tahu kalau Tante lebih sibuk dari aku.”
“Besok gimana?”
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH GLARE
Teen FictionVOTE AND COMMENT!!! FOLLOW AND READ!!!! Gue Arga Adyatama, putra sulung keluarga Adiatama. Diana Adyatama adik perempuan gue yang sekarang masih sekolah di kelas 3 SMP. Saat ini harusnya gue udah jadi tulang punggung keluarga karena kepergian bokap...