Di sinilah mereka, di sebuah panti asuhan di mana Nadia dulu dibesarkan. Pad akhirnya dia menyetujui ajakan Anita.
Sebenarnya dia juga tak tahu apa maksud dan tujuan mengapa Anita mengajaknya ke sini.
“Udah berapa lama kamu gak ke sini?” tanya Anita ketika mereka turun dari mobil.
“Semenjak aku masuk SMA,” jawabnya.
Akan melihat kembali adik-adiknya membuatnya cukup bersemangat. “Makasih Tante udah ajak aku ke sini. Kalau bukan sekarang, mungkin aku gak akan punya waktu buat main ke sini,” sambungnya.
Anita tersenyum seraya mengangguk. Mereka masuk ke halaman rumah yang cukup luas itu.
“Laura!” Dari kejauhan, Nadia berteriak memanggil salah satu adiknya yang sedang bermain.
Gadis kecil yang dipanggil Laura itu menolah dan membelalakan matanya ketika dia melihat siapa yang ada di sana sekarang.
“Kak Nad!!” serunya dengan semangat. Karena teriakan Laura yang cukup lantang itu, teman-temannya yang lain mengikuti arah pandang Laura.
Ekspresi mereka sama seperti saat Laura melihat Nadia pertama tadi. Nadia merentangkan tangannya saat dia sudah semakin dekat dengan adik-adiknya.
“Kak Nad!!” Kini bukan hanya Laura yang bersuara, tapi beberapa anak kecil lainnya juga berteriak dan masing-masing dari mereka berlari berusaha menjangkau Nadia lebih dulu.
Nadia hampir saja terhuyung jika saja dia tak menahan berat anak-anak itu begitu memeluk tubuhnya.
“Kak Nad ke mana aja? Kita kangen,” ucap salah satu anak laki-laki yang kira-kira berusia lima tahun itu.
“Kakak juga kangen sama kalian. Kalian kan tahu kalau Kakak pergi belajar biar bisa ajak kalian jalan-jalan nanti kalau Kakak udah sukses,” jawabnya.
“Di sekolah seru?” tanya Laura. Gadis yang harusnya sudah masuk Sekolah Dasar itu bertanya dengan mata berbinar.
Nadia yang melihat itu tentu saja sangat iba dengan Laura. Beruntung dulu dia dibekali uang oleh orang tuanya hingga dia bisa sekolah, itulah yang dikatakan oleh ibu panti.
“Seru,” jawabnya. Dia tak bisa lagi mengatakan apa-apa. Ingin sekali dia membiayai Laura dan adik kecil lainnya untuk sekolah, tapi sayang untuk sekarang dia belum mampu.
“Ini…” Vian, pria kecil tadi kembali bertanya sambil menunjuk ke arah Anita yang sedari tadi hanya diam melihat interaksi mereka.
“Oh iya, kenalin, ini Tante Anita.” Nadia memperkenalkan orang yang datang dengannya.
“Hai anak-anak.” Anita menyapa mereka dengan hangat. Sudah lama dia tak melihat anak kecil seperti ini. Terakhir adalah saat dia melihat Diana kecil.
“Halo Tante.” Satu persatu dari mereka mulai menyapa.
“Nadia?” Dari kejauhan Nadia mendengar ada yang menyebut namanya. Hal itu membuat Nadia melirik dan melihat kea rah sumber suara.
“Ibu.” Tanpa berlama-lama, Nadia segera menghampiri wanita paruh baya yang dia panggil ibu itu. Ibu yang selama ini merawatnya hingga Nadia bisa hidup sebesar ini.
Dua orang itu saling berpelukan untuk melepas rasa rindu. Bukan maksud Nadia melupakan rumah tempat dia dibesarkan ini. Tapi awalnya Nadia ingin ketika dia kembali, dia sudah sukses.
“Ke mana aja kamu sampai lupa pulang?” Ibu Panti itu menangis. Tentu saja dia sangat merindukan anaknya yang satu itu. Dan lagi Nadia sama sekali tak pernah mengirim kabar pada Panti.
“Maaf, Bu,” lirihnya. Air matanya sudah mengalir. Cukup lama mereka saling berpelukan hingga Ibu Panti sadar ada orang lain yang datang dengan Nadia.
“Kamu datang sama siapa?” tanyanya sambil melihat pada Anita.
“Ahh, Bu kenalin ini Tante Anita. Tante, ini Ibu Ros, Ibu Panti di sini.” Nadia memperkenalkan dua orang itu.
“Siang, Bu. Saya Anita.” Ibu Panti mengangguk dengan senyuman hangatnya.
“Nad, Tante mau ngomong berdua sama Ibu Panti, boleh?” izinnya pada Nadia.
Nadia yang mengerti dengan kode yang diberikan oleh Anita akhirnya mengangguk. “Kalau gitu Nad main sama anak-anak dulu ya, Bu, Tan.”
Keduanya mengangguk dan membiarkan Nadia pergi dari sana. “Kalau gitu kita masuk. Kita bicara di dalam,” ajak Ibu Panti.
Walau dia takt ahu apa maksud dan tujuan Anita datang ke Panti dan ingin berbicara dengannya, tapi dia mempersilahkan Anita masuk.
“Saya bingung harus mulai dari mana,” ucap Anita agak canggung.
“Santai saja, Bu. Ibu bisa bilang dari mana aja.” Anita merasa sedikit lega setelah dia mendengar hal itu.
“Saya ketemu Nadia baru beberapa minggu ini. Dia selamatin nyawa saya berkali-kali. Nadia anak yang baik dan juga ramah.”
Ibu Panti tak tahu ke mana arah pembicaraan mereka. Tapi dia akan mendengarkan cerita dari Anita hingga selesai.
“Kemarin, saya hampir celaka lagi kalau Nadia tidak menolong saya. Dia yang bawa saya ke rumah sakit. Dokter bilang saya menderita Alzheimer.” Ibu Panti tercengang mendengar itu.
Tapi dia belum ingin menjawab apa yang dikatakan oleh Anita. “Saya punya dua orang anak. Yang satu satu tahun di atas Nadia, dia seorang pria dan satunya lagi masih SMP dia wanita. Setelah dokter mendiagnosa itu pada saya, saya menjadi sangat khawatir pada anak-anak saya karena mereka sekarang hanya memiliki saya.”
Anita menghentikan sejenak ucapannya sebelum dia mengucapkan inti dari pembicaraan ini.
“Saya tahu ini sangat egois, tapi saya tak punya pilihan lain karena semakin bertambahnya usia, penyakit saya pasti akan semakin parah. Saya ingin Nadia menjadi pendamping putra saya, apakah Ibu mengizinkan?” tanya Anita.
Dia sangat merasa jika dirinya sangat jahat. Harus meminta hal seperti itu pada wali Nadia. Tapi dia tak memiliki siapapun lagi yang bisa dia percaya selain Nadia.
Ibu Panti tak begitu terkejut dengan permintaan Anita karena dia sudah mengira hal itu sejak Anita mengatakan jika dia memiliki penyakit dan di saat yang bersamaan dia juga memiliki seorang putra dan putri.
“Saya memang sudah merawat Nadia sejak dia bayi. Tapi bukan berarti saya memiliki hak untuk mengatur hidupnya. Apapun yang Nadia pilih, saya pasti akan dukung. Jadi, Ibu bisa bertanya langsung pada Nadia apakah dia berkenan atau tidak.”
Anita mengerti. Dia meminta hal ini pada wali Nadia terlebih dahulu agar dia bisa lebih leluasa memintanya pada Nadia nanti.
“Iya, saya pasti juga akan meminta persetujuan dari Nadia. Saya juga gak akan maksa Nadia buat lakuin apa yang saya inginkan. Itu semua kembali lagi pada kesediaan Nadia. Tapi setidanya saya sudah meminta izin dan juga memberitahu hal ini lebih dulu pada wali Nadia.”
Ibu Panti mengangguk. “Semoga penyakit yang diderita Ibu segera diangkat oleh Tuhan dan semoga Nadia memberikan jawaban yang sangat Ibu harapkan,” ujarnya.
Anita mengangguk dengan senyum hangatnya. Itu juga yang sangat dia harapkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH GLARE
Teen FictionVOTE AND COMMENT!!! FOLLOW AND READ!!!! Gue Arga Adyatama, putra sulung keluarga Adiatama. Diana Adyatama adik perempuan gue yang sekarang masih sekolah di kelas 3 SMP. Saat ini harusnya gue udah jadi tulang punggung keluarga karena kepergian bokap...