7. S: You're A Liar!

339 56 14
                                    

Pernahkah dia mengatakan bahwa dirinya menyukaiku? Sependek ingatanku, tidak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pernahkah dia mengatakan bahwa dirinya menyukaiku? Sependek ingatanku, tidak. Aku hanya tahu Harlan mengajakku berpacaran setelah beberapa bulan kami dekat. Kupikir tindakan, tatapan, dan status kami sudah membuatku telah berhasil memiliki dirinya. Namun, ternyata ucapan juga sepenting itu dalam kasus kami.

Dia sama sekali tidak pernah menyuarakannya—maksudku kata-kata yang bisa menggambarkan perasaannya padaku. Selama ini aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Mengapa? Kalau sikap dan tatapannya saja sudah cukup untukku, mengapa aku harus repot-repot memaksa Harlan mengatakan bahwa dia menyayangiku?

Kali ini aku terusik dengan hal itu. Sejak kelas Bu Nadia selesai, aku duduk termenung di depan kelas. Kali ini ditemani Liza yang sibuk berceloteh tentang gebetannya di fakultas lain. Sementara kami menunggu kelas Profesor Burhan karena kebetulan aku mengambil satu mata kuliah untuk semester atas.

"Gimana menurutmu, Sei? Aku kenal dia pas kemarin ikut ke acara launching kedai bakmi Kak Hersa."

Pertanyaan Liza membuatku menghela napas dan menyobek paksa lamunan tentang Harlan. Liza menyodorkan foto seorang cowok berambut cepak yang berpose dengan topi hitamnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Sementara Liza tampak kegirangan, lantas kembali sibuk dengan ponsel.

Sepasang mataku mengawasi lorong prodi yang ramai dengan mahasiswa tingkat akhir. Tepat di depan ruang jurusan dan dosen, mereka duduk menunggu. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan dosen pembimbing? Atau mungkin ada janji lain.

"Sei, liburan nanti kamu ke mana?" tanya Liza setelahnya.

"Nggak tau. Mungkin mau pulang dan nggak ke mana-mana. Udah lama aku nggak balik ke Praya."

"Yah, kita nggak bisa ketemu, dong? Kemarin si Juang ngajak aku liburan ke Sembalun, sih. Gimana? Kamu ikut nggak?"

Ah! Aku hampir lupa ajakan Harlan hari itu. Harusnya kami membicarakan itu dengan tenang. Namun, mengingat bahwa dia sukses besar berbohong—entah untuk yang ke berapa kali—aku malah tidak semangat membahas liburan. Siapa yang tidak ingin pergi bersama pacarnya untuk menikmati liburan semester? Tentu saja aku mau.

Namun, sayangnya ... aku malah merasa masalah ini akan kian membesar. Kalau saja Harlan tetap bungkam dan tidak jujur atas kedekatannya dengan Danilla. Begitu memikirkan Danilla, aku malah meremas kertas berisi naskah drama yang sudah difotokopi. Cukup muak dengan mereka selama ini.

Bagaimana bisa Danilla bersikap begitu santai dan cuek di kelas, tetapi di balik itu dia masih sering bertukar kabar dan bertemu dengan Harlan tentunya. Namun, aku juga tidak mau terus-terusan menyalahkan Harlan atas semua ini. Bukankah mereka berdua memang sama-sama menyebalkan?

Aku terkekeh miris. Ternyata Harlan dan Danilla benar-benar cocok! Aku ingin sekali bertepuk tangan atas akting mereka belakangan ini.

"Tuh, ada pacar kamu yang super cuek, tapi aslinya bucin kronis," tukas Liza sambil terkekeh pelan.

KATA KITA || TRAVICKY [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang