"Ian ...."
Samar-samar suara Illa menyapa gendang telinga saya. Cicit burung gereja terdengar merdu tatkala seberkas sinar mentari menelusup melewati celah jendela. Menerpa wajah saya yang masih menahan kantuk. Begitu sepasang mata saya terbuka, terlihat Illa duduk di dekat meja. Baru saja gadis itu menepuk-nepuk lengan saya agar segera bangun.
Ketika saya mengedarkan mata ke penjuru ruangan, terasa cukup asing karena setelah sekian hari, akhirnya bisa datang ke sini lagi. Rumah Illa, tentunya. Kalau bukan karena Illa yang menelepon dan bersuara panik mengatakan bahwa Tante Rara terjatuh di kamar mandi, saya mungkin enggak akan berada di sini. Syukurlah kondisi Tante Rara enggak terlalu parah sampai harus menginap di rumah sakit segala.
Namun, karena Tante Rara memaksa agar menginap di sini, saya pun mengiakan. Lagipula, saya terlalu takut kalau sampai Illa yang menjaga Tante Rara sendirian. Semalam saja Illa terbangun beberapa kali untuk menjaga mamanya. Kami bergantian menemani Tante Rara saat suara batuk terdengar dari kamar.
"Ian, sarapan dulu, yuk! Aku udah bikin sarapan tadi."
Sambil mengusap mata dan mengembalikan tenaga sepenuhnya, saya melirik Illa sesaat. Pagi-pagi begini sudah disapa wajah bulat, bulu mata lentik, dan senyumnya yang cantik. Tentu saja selalu membuat saya merasa bahagia, tetapi di sisi lain saya sadar bahwa kami enggak memiliki status apa pun.
"Aku langsung balik aja, Illa. Nggak enak sama anak-anak karena nggak pulang ke kos semalaman. Tante Rara gimana?"
"Ibu lagi tidur, Ian. Biarin aja, semalam dia kurang tidur. Kamu nggak suka masakan aku lagi, ya?"
Mana mungkin saya enggak suka. Pertanyaannya saya balas dengan senyuman singkat. Wajah Illa yang tertekuk membuat saya gemas. "Aku suka, tapi lain kali aja. Ini udah mau jam delapan juga."
"Kenapa emangnya?"
Pertanyaan Illa membuat saya terdiam sesaat. Sontak mencari ponsel yang sejak semalam tergeletak di karpet. Begitu menyalakan layar benda pipih itu, terlihat beberapa pesan dan panggilan masuk dari nomor Juang, Bang Juna, dan Dipa. Namun, dari sekian banyak panggilan dan pesan itu, yang membuat hati saya merasa nyeri adalah nomor Seira.
Wajah marah Seira kemarin masih menghantui saya sampai detik ini. Terlebih ketika dia menyebut nama Danilla. Saya mengusap wajah frustrasi, memikirkan segala macam asumsi buruk saat saya bertemu dengan Seira nanti.
"Ian? Kamu nggak apa-apa, kan?"
Teguran dari Illa mengembalikan saya dari lamunan. Illa masih duduk di sana, memandang saya dengan prihatin. Sepasang mata berbulu lentik miliknya mengingatkan saya dengan Seira. Helai-helai rambut hitamnya yang bergelombang membuat saya memujinya berkali-kali. Lihatlah, betapa sempurnanya Danilla di mata saya.
"Nggak apa-apa, Illa. Aku balik dulu, ya. Titip salam buat Tante. Oh ya, aku numpang ke kamar mandi bentar."
Saking sudah hapal dengan tata letak rumah ini, tanpa ditemani pun saya sudah tahu di mana kamar mandi. Saya membasuh wajah dengan air dingin dan memandang pantulan wajah cermin kecil. Kekhawatiran saya tentang Seira malah makin menjadi-jadi. Enggak mau membuang waktu, saya keluar dari kamar mandi dan segera berpamitan lagi pada Illa.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA KITA || TRAVICKY [END]
RomantizmMungkin sebuah keberuntungan bagi Seira bisa mendapatkan Harlan setelah lelaki itu putus dari Danilla. Seira pikir, ia istimewa. Namun, ternyata Harlan masih terjebak di sana, di labirin masa lalunya. Memangnya ada yang betah saat pacar sediri mala...