"Gimana aku nggak khawatir?! Kamu pernah membuatku kecewa gara-gara dia. Kamu berbohong dan diam-diam masih peduli padanya, Lan. Lucu ya, kalau kali ini ... kamu bakal bikin aku kecewa lagi."
Perkataan Seira membuat saya terdiam. Pikiran waras saya terus berteriak bahwa memang betapa keterlaluan sikap saya selama ini. Benar kata Juang, saya hanya bisa menyakiti Seira. Dari awal saya salah. Salah telah menjadikannya sasaran untuk melupakan Illa. Pun sekarang saya malah menyakitinya.
Wajah kecil Seira sudah berubah keruh melihat aksi bisu saya. Matanya yang cantik berkaca-kaca dan memerah. Sedikit lagi, dia pasti akan menangis. Dan lagi-lagi, orang yang bikin dia menangis adalah saya.
"Kenapa diam aja?! Jawab!"
Suara Seira meninggi dan sepertinya sudah tidak peduli keberadaan kami sekarang. Di luar anak-anak indekos sedang ribut. Namun, saya dan Seira seakan-akan punya dunia sendiri. Kamar sempit Dipa menjadi saksi bisu pertengkaran kami.
Seira bergerak mendekat saat saya memunggunginya. Tanpa berkata apa pun, dia meraih tas ransel saya yang tergeletak di atas kasur Dipa. Mencari-cari sesuatu yang pastinya bakal bikin kami tambah ribut. Saya mencegahnya, tetapi Seira tetap keras kepala. Sampai jemari lentik itu akhirnya menemukan ponsel saya yang sejak tadi tenggelam di sana.
Wajah Seira sudah pucat pasi, sementara degup jantung saya sudah enggak karuan. Saya tidak sedang selingkuh, tetapi rasanya seperti tengah berselingkuh. Air mata Seira merebak setetes demi setetes. Membuat rongga dada saya sakit. Lagi dan lagi, saya menyakitinya.
"Kamu emang nggak bisa dipercaya!" jerit Seira sambil melempar ponsel ke arah saya.
Untung dengan cepat saya menangkapnya. "Aku nggak meladeni dia, By. Dia emang chat aku, tapi aku nggak balas. Aku udah berkali-kali memblokir nomor baru yang masuk. Tapi, aku mana tau dia bakal bersikeras kayak gini."
"Itu karen kamu selalu ngasih dia kesempatan, Harlan!" Suara Seira makin meninggi. Entahlah. Orang-orang di luar mungkin sudah panik. "Kamu tau dia akan ke sana, tapi kamu diam aja! Kamu nggak nggak ngasih tau aku, justru ngajak aku ke sana?! Supaya apa? Supaya kamu bisa ketemu sama dia?"
Belum pernah saya melihat Seira semarah sekarang. Apalagi suaranya yang meninggi. Seira yang selalu lemah lembut di mata saya, kini meledak-ledak. Seakan-akan kemarahan itu sudah lama dipendamnya.
Saya bergerak mendekat dan meraih lengan kanannya. Namun, dia melangkah mundur dan menepis tangan saya. Harus bagaimana saya katakan? Selama berhari-hari saya berusaha menghindar dari Danilla.
"Dengar, aku nggak pernah mau meladeni dia lagi. Kita akan ke sana rame-rame. Nggak mungkin juga aku ketemu sama dia."
"Bohong!" Suara keras Seira membuat saya terkesiap. "Kamu ini pinter bohong, Harlan. Aku menyalahkan diriku sendiri. Kenapa aku percaya aja sama kamu? Brengsek!"
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA KITA || TRAVICKY [END]
RomanceMungkin sebuah keberuntungan bagi Seira bisa mendapatkan Harlan setelah lelaki itu putus dari Danilla. Seira pikir, ia istimewa. Namun, ternyata Harlan masih terjebak di sana, di labirin masa lalunya. Memangnya ada yang betah saat pacar sediri mala...