Ada yang mengusikku akhir-akhir ini. Apa lagi kalau bukan Harlan? Kurasa sejak berpacaran dengannya, aku tidak pernah berhenti untuk memikirkannya. Katakan kalau aku adalah gadis yang berlebihan, tetapi bukankah semua orang pernah berada di posisiku? Apa Danilla juga merasakannya ketika menjadi pacar Harlan?
Danilla ... nama perempuan itu terus mengganggu benakku sejak tadi. Terlebih saat hari di mana aku mendengar Harlan bertelepon dengan seseorang yang dipanggilnya sebagai Illa. Kalau bukan Danilla, lantas siapa lagi? Perasaanku mendadak kacau setelah berhari-hari. Terlebih ketika kemarin aku tidak sengaja mencuri pandang ke arah Harlan yang tengah menatap Danilla dalam diam.
Ya, Tuhan ... apa mereka belum selesai?
Katakan, bagaimana aku harus berpikir jernih saat melihat lelaki yang katanya adalah kekasihku, justru diam-diam masih berhubungan dengan mantannya? Kurasa ada saja orang yang pernah berada dalam posisiku ini. Keresahan ini mengganggu fokusku dari lembaran naskah drama dan layar laptop. Nama Harlan dan Danilla masih menari tanpa henti dalam pikiranku. Menyisakan rasa takut yang bersemayam cepat dalam rongga dada.
Aku mematung di depan laptop, tanpa berniat menggerakkan jemari lentik di papan ketik. Padahal naskah drama ini sekaligus menjadi penilaian UAS kami. Namun, untuk saat ini aku benar-benar sedang tidak fokus.
"Seira, untung kamu nggak ikut ke minimarket depan. Auh, dingin banget!" Suara Kak Ayu menyadarkan aku dari lamunan.
Perempuan bermata bulat itu baru saja kembali sambil menenteng kresek putih. Tumben juga udara Mataram malam ini agak sedikit dingin dari biasanya. Walaupun nanti pasti bakal balik seperti semula alias panas. Aku memperhatikan Kak Ayu yang sedang mengganti hoodie dengan yang lebih tebal.
Rasa ragu menyergap saat aku berniat ingin menceritakannya. Takut juga sejujurnya, sebab Kak Ayu tipe orang yang bakal langsung blak-blakan. Maksudku, kalau Kak Ayu tahu tentang apa yang mengusikku beberapa hari ini, dia pasti bakal menanyakannya langsung ke Harlan. Mengingat mereka satu UKM juga. Jadi, aku memilih untuk tidak menanyakannya.
"Sei! Ponsel kamu bunyi, tuh. Kebanyakan ngelamun nanti kesurupan. Ngeri kalau aku nggak bisa bikin kamu sadar."
Aku tersenyum tipis dan meraih benda pipih yang bergetar selama beberapa saat. Pesan masuk dari Harlan tentunya. Setelah berjam-jam, dia baru membalas pesanku? Pikiran negatif kembali memenuhi setiap sudut kepalaku. Namun, terus berprasangka buruk juga bakal bikin aku resah sendiri. Aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya.
Sebaris pesan dari Harlan membuatku sedikit mengulas senyum. Gampang sekali perasaanku berangsur lega hanya karena dia mengetik; besok temenin aku, ya, sekalian jalan.
—oOo—
Enam menit cukup buat kami menempuh perjalanan menuju Gramedia. Syukurlah jalanan besar Cakranegara tidak terlalu padat pagi ini. Beruntungnya tidak ada kelas pagi, jadi aku dan Harlan bisa pergi lebih awal. Katanya, sih, Harlan mau beli hadiah buah temannya yang sebentar lagi berulang tahun. Entahlah, aku tidak terlalu tahu siapa. Namun, yang jelas teman Harlan pasti suka membaca buku-buku fiksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA KITA || TRAVICKY [END]
RomanceMungkin sebuah keberuntungan bagi Seira bisa mendapatkan Harlan setelah lelaki itu putus dari Danilla. Seira pikir, ia istimewa. Namun, ternyata Harlan masih terjebak di sana, di labirin masa lalunya. Memangnya ada yang betah saat pacar sediri mala...