"Ian!"
Telingaku masih berfungsi dengan baik untuk mengenali suara itu. Sesuai dengan dugaan, dialah Danilla. Perempuan berambut panjang yang sekarang berlari kecil menghampiri Harlan. Kini aku mendadak menyesal ikut ke sini.
Namun, inilah penentu dan selama beberapa jam ke depan, aku harus mengambil keputusan. Melihat Harlan sama sekali tidak menjauh atau menunjukkan gelagat terganggu oleh kehadiran Danilla, kurasa keputusanku sudah terbentuk sejak saat ini.
"Sei, turun, yuk! Yang lain juga katanya udah di bawah."
Suara Juang menyadarkan aku dari lamunan. Kupikir hanya kamuflase mataku melihat Danilla dan Harlan kini tengah membiarkan seseorang memfoto mereka, tetapi ternyata hal itu nyata. Pernahkah seseorang merasakan sakit saat keberadaannya saja seperti tak dianggap?
Aku menyadari kebodohanku. Seharusnya aku tidak jatuh cinta pada seseorang yang masih hidup di masa lalunya. Kurasa ini sepenuhnya bukan salah Harlan, tetapi salahku. Aku tak pernah bisa menjadi Danilla, menjadi sosok yang bisa dicintai Harlan.
"Seira?" tegur Juang, lagi.
Aku menoleh dan tersenyum tipis. "Ayo, biarin aja mereka. Nanti aku yang bicara ke Harlan."
"Ndak usah, Ju. Ini urusanku dan Harlan. Kita turun aja, yuk!"
"Harlan dan kamu adalah temanku. Kita bebaturan, jadi nggak mungkin aku tega melihat Harlan bersikap seperti ini ke kamu." (Berteman).
"Ya, aku tau. Tapi, aku nggak mau kamu terlibat masalah dengan Harlan. Jadi, aku akan selesaikan sendiri. Aku sudah membuat keputusan, Ju."
Tanpa ingin mendengar ucapan Juang lagi, aku bergegas keluar dari rest area. Juang mengekor sebentar—mungkin selama beberapa menit sejak pembicaraan kami. Barulah ketika kami berhasil turun kaki gunung, Juang berjalan di sampingku.
Sejak tadi suasana hatiku tak tenang. Bohong kalau aku tidak memikirkan Harlan dan Danilla yang masih di atas. Rongga dadaku terasa sakit membayangkan kedekatan mereka, tetapi aku sudah lelah untuk berbuat apa pun. Aku tak ingin bertengkar di tempat umum. Tak mau Harlan membentak lagi seperti di indekosnya beberapa jam lalu.
"Ju, kenapa nggak ngajak Jira?" tanyaku pada Juang yang kini berjalan di belakangku.
"Kamu tau sendiri Jira nggak akan mau. Aku nggak mau maksa, Sei. Takut dia nggak nyaman."
"Kamu betah banget sama sikap cuek Jira."
Juang cuma tertawa memperhatikan punggung rombongan kami—Kak Danny, Kak Yosa, Kak Juna, Kak Julie, dan yang lainya. Kurasa hanya Kak Sangga, Kak Ala, Harlan, dan Danilla yang masih di atas. Sementara menunggu jawaban Juang, aku melirik ke sekitar. Kanan kiri tenda warung dengan view kaki gunung dan persawahan luas yang membentang. Tanah-tanah itu tempat dibudidayakan stroberi. Sayangnya, kami berkunjung saat stroberi belum sepenuhnya bisa dipetik.
KAMU SEDANG MEMBACA
KATA KITA || TRAVICKY [END]
RomanceMungkin sebuah keberuntungan bagi Seira bisa mendapatkan Harlan setelah lelaki itu putus dari Danilla. Seira pikir, ia istimewa. Namun, ternyata Harlan masih terjebak di sana, di labirin masa lalunya. Memangnya ada yang betah saat pacar sediri mala...