Happy Reading :)
Adara bukan gadis bodoh yang mudah dibohongi begitu saja. Ia tahu, bahwa Setiaji tidak pergi ke toilet. Melainkan ia pergi meninggalkannya bersama bill makanan.
Pertama ia mendapat appetizer. Dengan tawa kecutnya, Adara memakan makanan pembuka itu.
“Maaf, nona. Nona sendirian?” tanya pelayan yang melayani Adara.
“Ya, bukankah seharusnya begitu?” tanya Adara.
“Maafkan saya.” Pelayan itu pergi meninggalkan Adara.
Sambil memakan makanannya. Ia menghubungi seseorang yang bahkan sudah tujuh tahun tak pernah ia temui. Jemarinya mulai mengetik nama itu. Jika ia benar-benar menelponnya, maka nomor baru Adara akan cepat tersebar luas di grup angkatan. Ya, teman satu geng Adara saat SMA di Jakarta. Tapi, ia mengurungkan niat dan tidak mau mengambil resiko.
Adara mematikan ponsel dan mengusap wajahnya gusar. Bagaimana caranya ia membayar semua tagihan ini? Satu juta? Setiaji benar-benar orang gila. Dari mana ia mendapatkan uang itu dalam sekejap mata?
Tidak ingin rugi, Adara memakan semua makanan. Kemudian ia menunggu sebentar sembari berpikir.
Di rekeningnya hanya menyisakan empat ratus ribu. Dan itu untuk membeli kebutuhan selama dua Minggu ke depan. Tentu saja itu tidak cukup jika mengetahui semua harga barang dan makanan melonjak naik saat ini. Ia juga tidak bisa meminta pada Tante Duwi, karena Adara yakin Tante Duwi tidak ada uang sebanyak itu.
Pelayan mendekati Adara dan berkata. “Untuk tagihan, sudah dibayarkan oleh tuan itu,” tunjuk si pelayan sukses membuat kedua bola mata Adara melotot.
“Hah?”
“Iya, saya permisi.”
Adara segera berdiri dan menghampiri meja paling ujung. Duduk seorang laki-laki dengan jas abu-abu. Ia duduk sendirian sambil meminum satu gelas juice yang ia pesan.
“Anda..., Joshua?” lutut Adara melemas seketika. Melihat kehadiran seseorang di hadapannya membuat kedua matanya memanas.
“Udah lama ya,” balas lelaki bernama Joshua itu. Ia tersenyum pada Adara dan mengajaknya untuk duduk.
“Aku pulang, Ra,” ucap Joshua membuat Adara sontak menangis saat itu juga.
“Aku mencari kamu, sampai sejauh ini, Ra. Kamu ke mana aja?” tanya Joshua sambil menggenggam erat tangan kanan Adara yang bergetar.
“Aku minta maaf,” lanjut Joshua dengan raut wajah penuh sesal.
Semesta selalu mengejutkan Adara dengan kejutan yang tak pernah ia pikirkan. Joshua Adinugraha Wijaya. Seorang lelaki yang pernah sangat Adara cintai, kini muncul kembali setelah tujuh tahun ia menghilang.
Malam itu, selepas kelulusan. Joshua pergi tanpa pamit. Ia pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikannya. Tanpa memberi kabar pada Adara. Bak hilang ditelan bumi, Joshua ikut menjadi sebuah luka yang ia dera bersama duka yang lain.
Dan di saat Adara mulai melupakan Joshua. Lelaki itu kembali hadir. Hadir dengan senyum yang paling Adara suka. Senyuman favoritnya ketika mereka berlarian di bawah hujan deras Bulan November. Di depan monumen nasional bersama bahagia yang membaur dengan langit abu pada bulan itu.
Adara membenci Joshua yang telah meninggalkannya.
“Aku benci kamu,” ucap Adara.
“Aku minta maaf.”
Tidak ingin menganggu pengunjung lain. Adara berdiri dan berlari keluar dari restoran. Tentu saja Joshua tidak membiarkan Adara pergi begitu saja. Tujuh tahun ia berpisah dari kekasihnya dan Joshua tidak ingin meninggalkan Adara lagi. Sebab, sampai saat ini, Joshua masih mencintai Adara.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain In November ✓
Fanfiction[TELAH TERBIT] Adara Isvara Nareswari sangat membenci bulan kelahirannya. Sebab di bulan itu, Ayah, Ibu, dan Kakak perempuannya dibunuh oleh dua orang teroris dan meninggalkan luka teramat dalam bagi Adara. Bahkan, luka tersebut belum sembuh sepenuh...