Happy Reading :)
Di sebuah kontrakan dengan cat hijau telur asin, Nararya memarkirkan motornya. Ia juga membawa gitar dan langsung masuk ke dalam. Aroma kuat alkohol sangat tercium dan kedua teman-temannya masih tertidur di sebuah sofa rusak. Rasanya Nararya ingin sedekah sofa tapi ia sedikit pelit.
Tanpa membangunkan mereka, Nararya membuka kulkas. Di dalam tidak ada apa-apa selain air putih dan donat dengan dus yang pernah Nararya lihat sekitar dua Minggu yang lalu. Di dalamnya masih ada tiga donat. Sepertinya juga sudah basi.
Ia duduk di salah satu kursi kemudian menggenjreng gitarnya hingga salah satu temannya benar-benar bangun.
"Udah sampai sini aja dia," ucap salah satunya dengan tindik di telinga kanan.
Nararya menatap Zul yang kini berdiri dan mencari air. Satu teman penganggurannya itu nampaknya habis melakukan sebuah aksi kriminal lagi.
Nararya melirik ke sebuah tas perempuan yang ada di atas meja. "Nyopet di mana?" tanya Nararya pada Zul.
"Perempatan biasa," balas Zul sambil menegak air di dalam botol. Sementara temannya yang satunya masih terlelap. Bima namanya, seorang tukang parkir yang biasa mangkal di depan warung bakso di siang hari. Baiknya, pekerjaan dia masih halal. Tidak seperti Zul yang memilih untuk jadi copet.
"Kata gue, lo mending tobat, Zul. Umur nggak ada yang tau. Kerja serabutan tipis-tipis kayak Bima juga halal," kata Nararya sambil membenarkan kunci gitar.
"Dia kerja halal juga masih ngamer. Tangi o su," Zul menendang pantat Bima hingga lelaki itu terbangun dan menggaruk pipinya.
"Info loker, kerja sehari pulang jadi milyader," ucap Bima tiba-tiba.
"Jadi anak bapak gue aja," balas Nararya.
"Info lur." Bima membenarkan duduk. Hal itu membuat Nararya dan Zul ikut duduk dengan benar. Nararya juga meletakkan gitar. Sebab info Bima selalu seru dan terupdate.
"Karina cerai sama suaminya," ucap Bima membuat Nararya semakin menatap kedua wajah lelaki itu dengan tatapan serius.
"Kemarin dia tanyain lo, Na. Dia tanya ke gue. Lo sekarang gimana. Dia bilang mau ketemu sama lo," ucap Bima. Zul menyenggol lengan Nararya.
"Dia udah punya anak. Yakali gue mau balikan sama dia," balas Nararya.
"Anak dia meninggal karena sakit," sambung Bima membuat kedua mata Nararya membola. "Serius?"
"Ya. Dia cerita sendiri waktu habis makan bakso sama gue di parkiran motor. Ya, katanya sih nyesel udah khianatin lo," jelas Bima.
"Roman-romannya sih minta balikan," sahut Zul yang kini memantik korek api untuk menyalakan sebatang rokok dan menghisapnya. Asap rokok membuat Nararya sedikit terbatuk.
"Kalau dia minta balikan. Lo gimana?" Bima menatap Nararya.
"Gue tolak. Gue pacarin dia supaya gue bisa lupa sama Adara. Tapi nyatanya gue malah semakin nyakitin diri gue sendiri kalau sama dia. Gue anggap dia sahabat. Tapi ya tetep aja waktu dia ketahuan hamil gue sakit hati. Bayangin aja, sahabat mana yang nggak sakit hati kalau denger kabar gila kayak gitu?"
Zul dan Bima mengangguk-angguk. Kemudian Zul merogoh uang dua puluh ribu dan memberikannya pada Bima. "Uduk dua," suruh Zul pada Bima.
"Anjir duit halal kagak ni?" tanya Bima waspada. Walaupun dia bukan orang kaya, tapi dia tidak mau makan pakai duit hasil copet.
"Halal anjrit. Lo pada nggak bakal gue kasih duit hasil copet, tenang aja."
"Cuma dua? Gue?" tanya Nararya sambil menunjuk diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain In November ✓
Fanfiction[TELAH TERBIT] Adara Isvara Nareswari sangat membenci bulan kelahirannya. Sebab di bulan itu, Ayah, Ibu, dan Kakak perempuannya dibunuh oleh dua orang teroris dan meninggalkan luka teramat dalam bagi Adara. Bahkan, luka tersebut belum sembuh sepenuh...