Happy Reading :)
Adara tidak bisa menolak kehadiran Joshua di rumahnya. Tante Duwi membukakan pintu dan mempersilahkan Joshua masuk untuk duduk di ruang tamu. Mau tidak mau, Adara harus menyambut Joshua karena ia merupakan atasan di kantornya.
“Ini tehnya.” Tante Duwi kembali masuk setelah memberikan secangkir teh pada Joshua.
Adara yang duduk di hadapan lelaki itu hanya bisa diam dan menguatkan hatinya untuk mengeluarkan sepatah kata.
“Kamu, apa kabar, Ra?” pertanyaan Joshua membuat Adara mendongak dan memberikan senyumannya. “Saya, baik, Pak,” balas Adara
“Kita lagi nggak ada di kantor, Dara.”
“Maaf.”
“Udah lama sejak tujuh tahun yang lalu. Dara, aku minta maaf karena pergi tanpa bilang. Kamu boleh marah ke aku dengan amarah apapun, aku pantas buat dapat itu,” tutur Joshua. Adara tidak tahu harus menjawab apa.
“Satu tahun yang lalu, aku kembali ke Jakarta. Aku cari kamu, aku datangi rumah kamu. Tapi, kamu nggak ada di sana. Aku bener-bener cari kamu. Sampai akhirnya di tahun ini aku ketemu kamu. Kamu tau? Kebahagiaan yang sama waktu kita masih sama sama dulu aku rasakan kembali.” Joshua menatap kedua manik mata Adara yang ada di hadapannya.
“Terus apa yang kamu dapatkan setelah ketemu aku?” tanya Adara yang terlihat sangat menyerah dan tak percaya diri ketika Joshua terus melihat ke arah wajahnya.
“Kamu masih Adara yang sama. Adara yang aku cari.”
“Harusnya kamu nggak perlu cari aku. Mencari aku sama aja menghadirkan kekecewaan buat kamu. Lebih baik kita harus hidup saling berjauhan. Tujuan kita juga udah berbeda. Tujuh tahun sudah terlewat dan aku bukan Adara yang sama,” jelas Adara yang kini meremas ujung bajunya.
“Kamu masih Adara yang sama. Bahkan setelah tujuh tahun terlewat. Kenapa kamu berpikir kalau kita udah sangat jauh, Ra? Setiap hari aku masih kangen kenangan-kenangan kita di waktu SMA dulu. Kamu alasan aku buat tetap hidup waktu itu. Sampai aku masih bisa berdiri hari ini, kamu masih jadi alasan utamanya,” jelas Joshua dengan suara penuh keyakinan. Akan tetapi di telinga Adara, semua itu terdengar bohong.
Jika Adara benar-benar menjadi alasan Joshua untuk bertahan. Ia tidak akan meninggalkannya tanpa kabar.
“Assalamualaikum.” Suara seorang lakk-laki membuat Adara dan Joshua saling berpandangan. Adara berdiri dan izin untuk melihat siapa yang datang.
Langkahnya berhenti di depan pintu ketika melihat Nararya datang sambil membawa sebuah bingkisan makanan. Senyumnya merekah begitu lebar dan ia menyapa Adara sampai Joshua ikut keluar.
“Hah? Ada Pak Joshua juga,” kata Nararya masih dengan senyumannya.
“Siapa, Ra?” tanya Joshua tepat di belakang Adara. Adara terkejut ketika mendengar suara Joshua kala itu.
Adara menggaruk kepalanya dan menghampiri Nararya. Ia melirik ke belakang lalu melotot ke arah mantan adik kelasnya itu. “Kamu ngapain ke sini?” tanya Adara penuh penekanan dengan suara pelan.
“Mau ngasih martabak. Kebetulan tadi beli banyak soalnya ulangtahun Reksa.”
“Tapi kan bisa bilang dulu kalau mau ke sini,” kata Adara.
“Nggak punya nomer Kak Dara,” balas Nararya.
“Kamu anak magang di bagian produksi bukan?” tebak Joshua dan Nararya langsung mengangguk. “Sore, Pak,” sapa Nararya.
“Sore.”
Adara memijat pangkal hidungnya dan menerima makanan dari Nararya. “Udah aku terima, kamu bisa pergi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain In November ✓
Fanfiction[TELAH TERBIT] Adara Isvara Nareswari sangat membenci bulan kelahirannya. Sebab di bulan itu, Ayah, Ibu, dan Kakak perempuannya dibunuh oleh dua orang teroris dan meninggalkan luka teramat dalam bagi Adara. Bahkan, luka tersebut belum sembuh sepenuh...