Happy Reading :)
Adara keluar dari bangsal anak. Ia menghampiri Nararya yang duduk di kursi luar. Kepala yang awalnya menunduk, kini ia tegakkan. Adara ingin mengatakan sesuatu, agaknya ia masih ragu untuk menjelaskan pada Nararya. Sesungguhnya, Adara tidak mau memberitahukan hal ini. Namun, kejadian sore tadi membuat ia terdesak dan terpaksa berkata pada Nararya bahwa, Adara sudah memilih anak.
“Na.”
Nararya mengadahkan kepalanya. Bibirnya kembali tersenyum dan tangannya membenarkan kacamata yang menggatung. Sesekali ia menyikap rambut yang menutupi daerah keningnya.
“Kamu kalau mau pulang, aku saranin besok aja. Ini udah malem. Di dalam ada satu kursi sofa. Kalau kamu capek dan ngantuk, kamu bisa tidur di sana,” suruh Adara.
Adara membasahi bibirnya kembali. “Dan, aku mau bilang makasih banyak udah antar aku ke sini. Ini ada sedikit dari aku, aku harap kamu terima dan bisa kamu gunakan sebaik-baiknya.” Adara mengeluarkan sebuah uang seratus sebanyak dua lembar. Karena hanya itu yang mampu ia berikan pada Nararya. Akan tetapi, Nararya menolak pemberian Adara.
“Aku nggak butuh imbalan apapun.” Nararya menghela napas. Tentu saja ia hampir jantungan ketika mendengar perempuan yang ia sukai sudah memiliki anak. Terlebih lagi perempuan ini sekarang sudah menjadi pacarnya.
“Jangan ditolak, Na. Aku nggak enak sama kamu.”
“Jasmine beneran anak Kak Adara?” tanya Nararya. Sorot matanya dan mimik wajahnya nampak masih belum percaya.
“Na, aku cuma bisa bilang iya. Untuk penjelasan lebih lanjutnya, aku belum bisa cerita sama kamu. Maaf,” jawab Adara.
“Apa aku masih punya harapan?” pertanyaan Nararya tentu saja membuat Adara bingung. Harapan apa? Ia kan memang selalu berharap, lantas mengapa menanyakan hal itu?
“Aku nggak paham.”
“Kalau Kak Adara bisa punya anak. Berarti Kak Adara pasti masih simpan perasaan ke ayah dari anak Kak Adara, iya kan?”
Perasaan Adara melemas tiba-tiba. Ia terduduk di sebelah Nararya dan mengadahkan kepala agar air matanya tidak tumpah. “Harapan. Semua manusia selalu memiliki sebuah harapan. Kalau kamu tanya harapan itu ke aku, aku nggak bisa jawab. Aku dengan harapanku itu masih selalu abu-abu. Rentetan harap yang selalu aku rapalkan tinggi-tinggi di dalam kuatnya doa, sampai sekarang masih belum Tuhan kabulkan. Tapi, hal itu bukan berarti menjadikan kita berhenti untuk berharap.” Adara menunduk dan menumpuk tangan kanan di atas tangan kirinya.
“Asal, kamu sanggup menghadapi akhir dari harapanmu. Tapi aku sarankan mulai sekarang. Jangan terlalu berharap pada manusia, karena kemungkinan besar kamu akan kecewa,” lanjut Adara bersamaan dengan sebutir air mata yang jatuh ke pipinya.
“Kata yang lebih simple untuk jawaban kamu. Jangan terlalu berharap ke aku. Tapi itu terserah kamu. Ya, Jasmine anak aku, anak kandung aku. Mau nggak mau kamu harus terima fakta itu. Cepat atau lambat pasti kamu bakal tau juga. Huh, nggak nyangka kamu bakal tau secepat ini.” Adara terkekeh.
Ia menghadapkan tubuhnya pada Nararya. “Dan aku minta satu hal sama kamu. Tolong, jangan beritahu hal ini ke siapapun. Aku sangat sangat memohon. Aku percaya kamu nggak akan bilang ke siapa-siapa. Dan jangan hancurkan kepercayaanku,” tuturnya.
Adara menyenderkan punggungnya. Ia melirik wajah Nararya yang masih menatap pintu bangsal anak.
Perempuan itu berdiri ketika ia merasa jika Jasmine sudah bangun. Jasmine pingsan karena ia memakan strawberry yang diberikan oleh teman di TKnya. Jasmine alergi strawberry. Sekujur tubuhnya merah dan gatal-gatal sebelum Jasmine pingsan. Itu yang dikatakan Cindy ketika ia masih menemani Jasmine. Namun, kini Cindy kembali ke panti karena suruhan Adara.
“Mau ikut masuk?” tawar Adara. Nararya dengan ragu mengangguki ajakannya. Pada akhirnya ia mengangguk dan mengekor.
Di ruangan itu ada sekitar tiga orang anak yang sakit. Karena malam hari, keduanya sudah tidur. Untungnya kasur Jasmine berada di dekat pintu. Alhasil tidak terlalu menganggu yang lain.
Benar saja, Jasmine sudah membuka matanya. Anak itu sudah hampir menangis namun tidak jadi ketika melihat Adara datang. “Mama.”
Adara mendekat dan mengelus kepala anaknya dengan begitu lembut. Sementara Nararya masih mengekor sembari menoel-noel lengan Adara.
Sorot mata Jasmine menangkap sosok Nararya. Ia melihat ke arah Ibunya dan bertanya, “Itu siapa? Ayah?” tanya gadis kecil itu membuat Adara mendelik. “Bukan. Dia teman Mama.”
“Teman?” tanya Nararya sedikit tidak terima. Asal Adara ingat, Adara yang menembak Nararya duluan malam itu.
“Iya, panggil Om Nararya,” suruh Adara pada Jasmine.
“Om Yaya,” sebut Jasmine membuat Nararya melirik.
“Nararya,” ucap lelaki itu membetulkan.
“Susah Mama,” keluh Jasmine sembari memegang jari jemari sang Ibu.
Mata Adara mengarah ke Nararya. “Terima aja ya,” minta Adara dan Nararya mengangguk pasrah.
“Temennya boiboiboy kali si Yaya,” gerutu Nararya.
“Aku Jasmine.” Jasmine tersenyum ke arah Nararya. Nararya juga ikut tersenyum. Jujur saja ia belum pernah menghadapi anak kecil, dan Nararya bukan tipikal yang bisa dengan mudah berbaur dengan anak-anak. Sebab anak bungsu sepertinya saja masih menolak dewasa. Apalagi jika di rumah, ia sangat dibayikan oleh keluarga besarnya.
“Om Yaya mau jadi ayah aku?”
“Jasmine psstt!” tegur Adara ketika Jasmine berkata yang tidak-tidak.
“Aku cuma tanya aja, Mama. Aku kira Om Yaya ayah aku. Soalnya Om Yaya sesuai sama wujud ayah yang ada di kepala aku,” kata Jasmine. Walaupun sedang sakit, anak itu masih sana cerewet. Entah menurun dari siapa, Adara tidak secerewet itu sepertinya.
“Kak, aku duduk di sofa ya,” bisik Nararya. Adara mengangguk.
“Kenapa Mama bisa ketemu Om Yaya?” tanya Jasmine. Adara duduk di kursi plastik dan kembali mengelus kepala anak itu. “Sekarang, Jasmine bobo ya. Udah malem juga. Besok kalau udah sembuh bisa cepet pulang.”
“Tapi aku nggak mau pulang ke sana. Aku mau pulang ke rumah Mama. Aku mau pulang ke rumah Mama,” rengeknya dan kemudian ia menangis.
“Aku mau sama Mama. Pulang sama Mama,” ucapnya diiringi Isak tangis. Hal itu membuat Adara mendudukkan dirinya di kasur dan memangku Jasmine kemudian memeluknya. “Iya, nanti pulang sama Mama.”
Nararya hanya bisa duduk di sofa sambil menatap keduanya dan berkata di dalam hati. “Reksa, lo nggak akan percaya sama ini.”
*****
Bersambung...
-Day
#day19#tim1#absen32
22.03 WIB
19.05.2023
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain In November ✓
Fanfiction[TELAH TERBIT] Adara Isvara Nareswari sangat membenci bulan kelahirannya. Sebab di bulan itu, Ayah, Ibu, dan Kakak perempuannya dibunuh oleh dua orang teroris dan meninggalkan luka teramat dalam bagi Adara. Bahkan, luka tersebut belum sembuh sepenuh...