Happy Reading :)
Desinta menatap kartu undangan warna sage itu dan mendesah kecewa. “Kirain jomblo. Ternyata mau nikah. Belum berjuang udah harus mundur aja,” keluh Desinta ketika mendapat undangan pernikahan Joshua.
“Yang sabar. Aji jomblo tuh,” tunjuk Winda ke arah Aji.
“Gas lah, Des. Kita nikah hari Minggu besok!” balas Aji membuat Desinta bergidik ngeri. “Nggak dulu, makasih.”
Bella juga ikut membaca kartu undangan tersebut. Kemudian meletakkannya di atas rak kecil yang ada di mejanya setelah membaca. Lalu, ia kembali melirik ke arah Adara yang sibuk dengan ponselnya.
Adara mengumpulkan semua berkas dan ia berdiri untuk menuju ruang fotocopy kantor. Semenjak kejadian itu, Adara sudah tidak berinteraksi dengan rekan kerja satu ruangannya. Bahkan hanya untuk bertegur sapa. Mereka juga tidak lagi mengusik Adara secara terang-terangan.
Di ruang fotocopy, ia bertemu dengan Nararya yang sedang fotocopy surat-surat banyak sekali. Adara memilih mesin yang kosong dan tidak menyapa Nararya.
“Kakak pacar,” sapa Nararya.
“Ini di tempat kerja.”
“Hahaha, iya. Fotocopy juga ya?” tanya Nararya. Ia mendapat jawaban sebuah dehaman dari Adara. Ia tampak kebingungan ketika mesin fotocopy sedikit bermasalah dan tidak mau jalan.
Dengan cekatan, Nararya langsung menjamah mesin itu. Akan tetapi Adara menyingkirkan tangan Nararya dari sana. “Aku bisa sendiri,” ucapnya.
“Aku juga bisa temenin Kak Adara biar nggak sendiri,” balas Nararya. Adara memutar bola matanya.
“Udah selesai tuh. Mending kamu balik lagi aja ke tempatmu,” suruh Adara.
“Tapi ini udah bisa belum, Kak? Mumpung aku masih di sini, aku bantu benerin.”
Adara akhirnya mengangguk. “Oke, cepetan ya.”
“Siap.”
Nararya mengutak-atik mesin itu hingga bekerja normal kembali. Adara kembali mengambil alih mesin fotocopy tersebut. “Makasih, Na.”
“Sama-sama, phiu,” balas Nararya langsung mendapat pelototan dari Adara.
“Aku pergi dulu ya, Kak. Takut nggak dikasih mendoan kalau telat kasih surat-suart ini,” kata Nararya yang kini memilih untuk cepat kembali ke tempat ia bekerja.
“Dasar cowok nggak jelas,” gumam Adara.
“Kamu kenal sama anak magang itu?” pertanyaan seseorang membuang Adara menoleh ke sumber suara. Bella berdiri di depan pintu ruangan. Adara tidak menanggapi dan ia memilih untuk merapikan kertas-kertas.
“Aku lagi bicara sama kamu loh, Dara,” sambung Bella yang masih mendapat acuhan dari Adara.
Adara membawa kertas-kertasnya dan berjalan menuju pintu keluar. Namun, Bella menahan lengannya agar tidak terus berjalan melewatinya.
“Aku lagi nggak mau bicara sama siapapun. Tolong pengertiannya.”
“Aku cuma mau minta maaf soal waktu itu.”
Adara mengarahkan posisi badannya di hadapan Bella dan tersenyum. “Maaf? Semudah itu? Jangan harap,” balas Adara yang kini melepas pegangan tangan Bella dari lengannya. Ia pergi meninggalkan Bella yang terlihat kesal dengan sorot mata penuh amarah.
*****
Ponsel Adara berbunyi ketika ia hendak berjalan keluar dari lobby sepulang kerja pukul lima sore ini. Dan ternyata itu adalah panggilan telepon dari Cindy. Untuk mengangkatnya, Adara memilih keluar dari gedung dan berjalan menuju parkiran untuk mengangkat telepon Cindy.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain In November ✓
Fanfiction[TELAH TERBIT] Adara Isvara Nareswari sangat membenci bulan kelahirannya. Sebab di bulan itu, Ayah, Ibu, dan Kakak perempuannya dibunuh oleh dua orang teroris dan meninggalkan luka teramat dalam bagi Adara. Bahkan, luka tersebut belum sembuh sepenuh...