PART 32

397 15 0
                                    

Posisi duduk yang terasa tidak nyaman, karena kesunyian yang tercipta sejak dua menit yang lalu setelah kejadian itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Posisi duduk yang terasa tidak nyaman, karena kesunyian yang tercipta sejak dua menit yang lalu setelah kejadian itu. Dimana Raken, memukul wajah Ayahnya tepat di pipi Helios.

"Sepertinya kamu memang mau putus hubungan," ucap Helios, Ayah Raken setelah cukup diam sedari tadi. Helios tidak merasakan sakit apapun ketika Raken memukulnya, tapi ia hanya kecewa melihat anak satu-satunya memukul Ayahnya sendiri karena seorang cowok yang jelas-jelas hubungan yang mereka jalani, seharusnya tidak ada. "Saya kecewa Raken..."

Raken sudah tahu apa akibat yang ia lakukan tadi, tapi ia sudah siap menerima konsekuensi yang akan diberikan oleh Ayahnya. Bahkan jika itu harus putus hubungan dengan keluarganya. Ini bukan karena ia tidak menyayangi mereka, tapi ada alasan dibalik semua itu.

"Jika itu mau kamu, silahkan... Dan mulai sekarang saya tidak akan campur." Ucap Helios kembali dan kini siap-siap untuk pamit.

"Pa..."

"Atas hak apa kamu panggil saya Papa!?"

"Aku tau sekarang udah gak berhak manggil 'Papa' lagi. Tapi aku pengen hari ini hari terakhir aku manggil Papa," Raken merasa sakit saat mengatakan kalimat itu, tapi ia akan lebih sakit jika itu harus meninggalkan Yadi. "Aku tau, apa yang udah Papa lakuin semuanya buat kebaikan aku. Tapi selama ini, apa yang udah Papa kasi, aku ngerasa itu selalu kurang. Aku memang serakah Pa... Tapi bukankah, anak memang lebih butuh kasih sayang orang tuanya daripada uang?"

"Setiap hari aku mikir, apa aku yang serakah karena selalu merasa kurang dengan apa yang Papa kasi, bahkan Mama yang selalu bela aku. Tapi melihat orang lain yang selalu di perhatiin orang tuanya, yang selalu di temenin saat dia ke sekolah bahkan berkunjung ke sekolah untuk melihat anaknya yang akan tampil di acara tersebut. Apa..." Nafas Raken tercekat berusaha untuk tenang melanjutkan setiap kalimatnya itu. Dan ketika ia merasa kehabisan nafas, tangan kecil menggenggam tangannya kuat dari samping. Dan itu adalah Yadi, yang saat ini tersenyum untuk menguatkannya. "Apa... Papa sama Mama pernah lakuin itu?"

Helios terdiam setelah mendengar penuturan yang di ucapkan oleh Raken. Untuk pertama kalinya, ia mendengar kalimat panjang yang keluar dari mulut anaknya itu. Bibirnya terasa kelu, untuk membalas pertanyaan bahkan pernyataan yang di lontarkan oleh Raken. "Haa... Sejak kapan anak saya sudah bisa bicara panjang lebar begitu?"

Raken terbelalak dengan Yadi menatap bingung terhadap Ayahnya Raken. Bukankah tadi baru saja, Helios melarang Raken untuk memanggil 'Papa' lagi, tapi kini Helios menyebut Raken sebagai anaknya.

"Maafin Papa Raken, maafin Papa.."

Saat itu juga, mata yang tidak pernah mengeluarkan tangisan sedikitpun kini menangis tepat di hadapan anaknya. Hati yang sudah membeku selama bertahun-tahun, kini rapuh dengan kata 'maaf' yang terus di ucapkannya.

Raken melihatnya...

Sudah sepuluh menit berlalu, Jeko duduk sendiri di kursi rapuh yang tertata tidak rapi di belakang sekolah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sudah sepuluh menit berlalu, Jeko duduk sendiri di kursi rapuh yang tertata tidak rapi di belakang sekolah. Mengingat permintaan Rako tadi malam yang ingin menemuinya di belakang sekolah, dengan semangat Jeko langsung meletakkan tasnya di kelas saat tiba di sekolah dan langsung lari menuju ke belakang sekolah. Karena ia tidak ingin sampai membuat Rako menunggu. Biarkan ia saja yang menunggu Rako, walaupun harus menunggu berjam-jam. Tapi ia pikir, menunggu adalah hal yang menyenangkan ternyata tidak. Ia sangat suntuk sendirian disini, padahal ia sudah mengirimi pesan kepada Rako bahwa ia sudah ada di belakang sekolah. Tapi cowok tembok itu bahkan tidak membaca atau membalas pesannya.

Sedangkan di tempat lain, di sebuah ruangan kedap dengan penerangan minim. Dua cowok yang saat ini berdiri saling berhadapan menatap satu sama lain. Dengan pintu ruangan yang terkunci dan kursi-kursi bekas yang sudah di tempel oleh jaring laba-laba yang begitu banyak mereka singkirkan lebih ke pinggir.

Setelah apa yang terjadi di kelas tadi, Rako menyebut kesepakatan itu kepada Rian dan kini mereka berakhir di tempat gudang. Sebelum menunggu lima menit lagi, bel masuk berbunyi.

Rian mengedarkan pandangannya, melihat sekitar ruangan tersebut. "Kenapa harus di tempat ini? Bukannya ada UKS?" Tanya Rian dengan senyuman miringnya, walaupun tidak terlihat karena penerangan minim. Rako bisa melihat itu.

"Karena ini satu-satunya tempat yang gelap dan gak akan ada orang yang bisa dengar sampai luar." Jawab Rako dengan tangannya kini membuka perlahan kancing seragam yang ia kenakan.

Penerangan yang begitu minim, membuat Rian tidak melihat begitu jelas tubuh Rako. Dan itu sedikit membuatnya kesal, "sialan..." Desis Rian dengan suara tertahan dan langsung berjalan mendekati Rako. Rasanya, bagian bawahnya sudah begitu sesak hanya melihat tubuh Rako walaupun tidak begitu jelas.

Dan kini Rako sudah bertelanjang dada dengan ia yang masih berdiri tak bergeming dari tempatnya. Dan ketika ia ingin melanjutkan ucapannya, tangan dingin tiba-tiba ia rasakan di bagian dadanya.

"Ra...Ko..." Ucap Rian dengan suara serak dan tangannya yang kini meraba pelan bagian dada Rako.

Rako mengepal tangannya berusaha untuk tidak memukul orang yang saat ini di hadapannya. Karena kesepakatan yang sudah mereka lakukan, ia harus bisa menahan diri untuk tidak menghabisinya.

Bruk!

Suara dentuman kursi jatuh tiba-tiba terdengar tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Sontak Rian dan Rako melihat ke arah tersebut dan mengumpat ketika melihat sebuah kepala yang tiba-tiba muncul di balik kursi.

"Sial..." Umpat Rako dan langsung menarik Rian ke belakang sebuah lemari besar yang ada di sampingnya. Dengan Rian yang bersandar di tembok dan Rako yang berdiri dengan tangan yang menyangga agar tubuhnya sedikit berjarak pada Rian.

Karena posisi ini pun, Rian bisa melihat sangat jelas wajah dingin Rako. Tapi yang ia lihat saat ini, wajah khawatir dan amarah yang tersimpan kelas di balik wajah sahabatnya ini.

"Perasaan tadi ada suara orang.."

Rako mengepal tangannya kuat yang saat ini menyangga dirinya di kedua samping bahu Rian. Ia pikir tidak akan ada orang yang berkunjung ke tempat ini.

"Tunggu orang itu pergi," bisik Rako sambil matanya yang terus melihat ke arah orang yang masih berdiri seperti sedang mencari sumber suara yang di dengar. "Sampai dia pergi, bar-"

Cup

"Gua gak tahan..." Desis Rian dan langsung melumat bibir Rako dengan kedua tangannya yang melingkar di leher Rako.

Sedangkan Rako terdiam membeku, dengan mata yang terbelalak tajam tanpa reaksi apapun.






Wah wah, gila bro!


Jangan lupa vote dan komen

YAKEN [21+] (on going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang