Si kecil menengok semangat kearah teman-temannya yang terlebih dahulu pergi keluar kelas sebab jam istirahat telah tiba, "Hei! Tungguin!". Sesaat ia berpaling hanya untuk mengambil roti mentega didalam tas. Ketika ia berpaling kearah teman-temannya tadi seketika ia merengut hingga pipi merah berisi itu mengembung. Dia ditinggal lagi. Segera ia mengambil langkah berlari untuk mengejar teman-temannya yang kini sudah ada di taman bermain di taman kanak-kanak ini, tentu dengan hentakan kaki mungilnya yang terlihat mengamuk.
Sesampai bergabung, si kecil tentu saja masih merajuk. Bahkan wajahnya semakin memerah sebab dinginnya udara diluar. "Kok aku ditinggal sih? Ka..".
"Wah, kamu ada roti mentega,ya?!". Si kecil bersanggul satu dengan pita ungu itu berseru, melupakan seseorang yang mencoba meluapkan kekesalan karena selalu ditinggal oleh yang lain. Lantas, setelah berteriak yang lain ikut menatap roti mentega ditangan juga menatap wajah yang kini sudah terintrogasi secara bergantian.
Tidak sadar mengangguk untuk jawaban. "Iya, ini...".
"Dari ibu Cendana, lagi?"
"Kenapa selalu kamu sih yang dikasih Ibu Guru Cendana?". Timpal temannya berambut keriting sebahu dengan jari telunjuk mungilnya menunjuk pelipis, pose berpikir.
"Iya! Kenapa selalu kamu. Kan masih banyak anak-anak lain. Kita juga mau roti mentega dari ibu Cendana tahu!". Sambung yang lainnya sembari menunjukan kekesalan yang kentara.
"Ibu Cendana selalu menomorsatukan kamu!" seru satu gadis kecil yang pakaiannya terlalu mencolok, si keluarga kaya. "Ibu Cendana berpilih kasih karena mu". Telunjuk mungil itu kini sudah berada didepan wajah si kecil yang kini sudah diserang kepanikan karena kemarahan teman-temannya.
Si kecil menggeleng kencang. Tidak, Ibu Guru Cendana tidak pernah menomorsatukan dirinya diantara semua murid. Meskipun setiap hari memang dirinya selalu diberi roti mentega dipagi hari sebelum bel masuk sekolah, itu adalah aktivitas sehari-hari dirinya dan Ibu Cendana yang berkata roti mentega untuk makan siangnya nanti dikelas. Hanya itu. "Tidak begitu!. Ibu Guru Cendana menyanyangi kita semua. Tidak ada yang seperti itu!". Kali ini pembelaan yang keluar dari bilah bibirnya. Ia bahkan terus menggelengkan kepalanya berharap teman-temannya ini luluh dan menghentikan perdebatan tentang ini. Dalam lubuk hatinya tidak mengira bahwa diantara semua murid atau teman kelasnya ternyata hanya dirinya mendapatkan perlakukan semanis itu dari Ibu Guru Cendana kesayangan semua murid ditaman kanak-kanak ini.
"Apanya tidak? Sini roti menteganya!".
Rampasan pada roti mentega dari tangannya begitu kasar hampir membuatnya jatuh terduduk kebelakang. Sedikit meringis ketika jari-jarinya dan perut atasnya begitu perih karena dicubit oleh salah satu temannya.
"Sia itu punyaku! Ibu Cendana memberikannya untuk ku!" Teriak si kecil kepada Sia yang kini memicing kearahnya.
"Tidak lagi! Ini punyaku sekarang!". Jawab Sia sembari mendorong-dorong tubuh yang kini berusaha mengambil punyanya sembari menangis memohon untuk dikembalikan dan berakhir tubuh itu terjatuh keras di tanah dengan menangisi semuanya.
Roti mentega itu untuknya, bukan untuk orang lain. Roti mentega itu untuk makan siangnya. Bagaimana Ibu Guru Cendana memarahinya karena ini?
Tidak ada respon sekitar, semua terdiam tanpa tahu untuk membantu. Termasuk orang dewasa disana.
*****
Sejak jam istirahat hingga pulang, Si kecil terus menghindari Ibu Cendana ketika ia melihat kehadirannya. Ia hanya takut ditanya mengenai roti menteganya tadi siang. Karena ia pun tahu bahwa Ibu Cendana selalu menanyakan tentang makan siangnya, selalu. Jadi, si kecil takut mengenai ini. Dalam pikirannya, Ibu Cendana pasti kecewa padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jaga Bunga Dikarang
Fanfic"Jaga, kamu tidur?". "Iya, gue tidur". "Kamu sangat sangat jelek. Serius, kamu tahu?" "Maafin gue". "Untuk apa?". "Semuanya" "Aku juga. Maaf". Haechan X Zuu