Plak
Bunga memejam merasakan panas dipipi setelah ibu menamparnya. Rasa pedih yang menjalar dari pipi membuat Bunga yakin bahwa pipinya kini telah memerah. Bunga tidak akan lagi terkejut kalau-kalau Ibu menamparnya seperti malam ini. Karena, Bunga selalu mendapatkannya.
Malam ini Bunga tidak mengerti mengapa Ibu menamparnya lagi. Bunga tidak melakukan kesalahan apapun, bahkan Bunga sudah mengikuti semua perintah kedua orang tuanya. Namun, apanya yang menjadi kesalahannya hari ini? Bisakah mereka memberitahunya saja? Tidak perlu melakukan penyiksaan fisik padanya?.
Bunga baru saja bangun. Membuka matanya setelah beberapa jam tidak sadarkan diri. Dan Bunga sudah menduga saat ini berada di rumah sakit. Bunga yakin Jaga yang membawanya kemari, sebab hanya cowok itu yang bersamanya terakhir kali.
Dan Ibu menyambutnya dengan sebuah tamparan. Cukup memberi luka hati yang semakin dalam dibenak sang anak. Bunga mengira Ibu akan memeluk dan membayangkan membagi kasihnya saat Bunga tahu kalau Ibu disisinya. Namun, semua hanya harapan.
Sang ibu menatap anak sulung jengkel, "Kenapa kamu bisa masuk rumah sakit?". Cerca Ibu ketus pada anak sulungnya yang terbaring di ranjang pesakitan. Bahkan, Ibu mengabaikan panasnya suhu tubuh anaknya kala ia mendaratkan tamparan di pipi anaknya itu. Wanita itu hanya peduli dengan rasa egonya.
Bunga menatap Ibunya sendu. Saat rasa pusing dan nyeri di tubuhnya semakin menyiksa, Bunga juga harus mendapatkan rasa sakitnya lagi dari Ibu. "Bunga sakit, bu". Jawab Bunga lirih.
Terdengar dengusan dari bibir sang Ibu. "Kamu gak usah banyak drama. Kalau kamu sakit ya pulang, minum obat, selesai. Gak usah harus rawat rumah sakit segala. Menyusahkan!".
Bunga semakin menatap ibunya dengan segala penyesakan di dada. Matanya bahkan sudah bergetar menahan air. Biasanya ia tidak akan seperti ini sebab Bunga pun sudah terbiasa, namun rupanya masih sama saja, masih terasa sakit. "Bunga beneran sakit bu". Ungkap Bunga dengan suara yang bergetar menahan tangis.
"Kamu sakit apa?". Tanya ibu menatap anaknya remeh. "Gara-gara kamu suami saya harus menunda rapatnya dan saya harus susah payah kemari. Karang terpaksa saya tinggal sendirian dirumah, kamu tau adik kamu itu sedang sakit". Cerca sang Ibu dengan menekan-nekan kepala Bunga dengan jari telunjuknya, bahkan sengaja menekannya kuat karena merasa kesal.
Bunga juga sakit bu.
Bunga sudah tidak menahannya lagi. Air mata itu terjatuh begitu saja, Bunga tidak menangis karena dahinya nyeri sebab Ibu menekannya dengan sangat kuat, Bunga menangis karena hatinya kembali sakit. Kenapa Ibu hanya melihat Karang. "Maaf". Bunga menatap Ibu dengan mata yang kabur, bahkan gadis itu memilin selimut pesakitnya.
Ibu menghela napas kasar lalu bersedekap dada. "Bisa kan kamu berhenti menyusahkan semua orang?".
Bunga berusaha untuk tidak melepaskan sekecil apapun suara tangisannya, menyebabkannya bernafas dengan sesegukan. Meski membuat hatinya bertambah sesak, tapi ibu tidak suka mendengar suara tangisannya ---- terlalu berisik. Bunga menatap ibunya, kalau-kalau ada sedikit rasa iba dari ibu untuknya. Namun, ibunya terlihat tidak peduli sama sekali.
Lantas, Bunga mengangguk menyanggupi pinta ibu untuk tidak menyusahkan semua orang.
"Bagus. Kalau begitu pulang saja. Kamu kalau lama-lama disini bisa-bisa nyusahin keluarga orang. Kamu pikir keluarga siapa yang kamu seret ke sini?". Ucap ibu dengan suara yang dipelankan, ia berbicara seperti ini tepat di dekat telinga anaknya. "Saya juga tidak mau berlama-lama mengurusi kamu disini. Karang butuh saya dirumah". Ucap sang ibu sambil menahan kekesalannya pada sang anak sulung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jaga Bunga Dikarang
Fiksi Penggemar"Jaga, kamu tidur?". "Iya, gue tidur". "Kamu sangat sangat jelek. Serius, kamu tahu?" "Maafin gue". "Untuk apa?". "Semuanya" "Aku juga. Maaf". Haechan X Zuu