"Kelopak-nya pun Berantakan"

26 8 0
                                    






Karang memandangi kakaknya. Lebih tepat memandangi luka robek disudut bibir kakaknya. Tadi pagi Kakaknya itu tidak apa-apa bahkan sangat terlihat sehat tanpa luka ditubuhnya. Tetapi, ketika Karang menghampiri waktu siang Kakaknya di gedung kelas 3 --- taman--- Karang sudah menemukan Kakaknya itu dengan luka robek di sudut bibir.

"Kak Bunga Jatuh, ya?". Dari awal bibirnya berkedut untuk berucap demikian. Karang yang sedari tadi melihat Kakaknya begitu sibuk menggariskan mata pena di buku catatan untuk ujian akhir sekolah tahun depan terlihat mengerukan alisnya.

"Kok bisa mikir gitu?". Bunga menanyakan yang menurutnya aneh. Sebab, tidak ada penjelasan mengapa Karang bertanya tentang itu.

Karang menghela. "Bibir Kak Bunga robek. Memangnya tidak sakit?".

Bunga mengerjap. Setelah Karang usai mengatakan itu dengan nada kesal tertahan. Bunga baru bisa merasakan perihnya luka disudut bibirnya lagi. Bodoh, kenapa tidak kau sembunyikan?! Karang melihatnya, bodoh.

"Tidak sengaja kegigit waktu makan bakso". Monolog Bunga pelan, membuat Karang menatap sebal.

"Masa sih?". Karang memicing ke arah kakaknya yang masih sibuk menggores pena di atas buku catatan miliknya. "Aneh tau Kak? Kak Bunga kelaperan banget atau gimana. Kok bisa kegigit?".

Bunga menghela tanpa suara. Gadis itu menoleh pada adiknya. "Kamu jangan tanya lagi deh, bibir kakak sakit tau kalo ngomong terus. Ganggu banget". Sengaja berkata demikian. Dalam hati Bunga menyebut kata maaf berulang kali kepada adiknya karena berbicara ketus seperti ini. Bunga hanya tidak mau ia semakin terpojokan karena kecerobohannya atas luka robek di bibirnya. Belum lagi pusing di kepalanya datang menghujamnya lagi.

"Kamu juga kenapa temui Kakak? Kakak sibuk. Gak usah ganggu, bisa?". Bunga memberhentikan ucapannya, gadis itu melengoskan wajahnya. Dengan tangan sedikit gemetar memegang pena, hatinya gundah untuk melanjutkan katanya, "Kamu juga dari tadi ngomel mulu. Kamu gak ada kerjaan selain ganggu Kakak? Kakak capek banget tau dengernya. Kamu gak mau balik ke kelas? Mending belajar gitu dari pada main mulu".  Demi tuhan, Bunga mengumpati dirinya berkata seperti itu kepada adiknya. Bunga menggigit bibir bagian dalamnya.

Terlihat karang menyendu. Ada rasa sakit dihatinya ketika mendengar kakaknya seperti risih untuk berbicara dan bersamanya.

Bunga merasa bersalah. Tapi, seperti kata ibu, Bunga harus menolak segala tentang Karang dan Bunga harus membuat Karang membencinya.

Bunga tidak lagi mendengar Karang mengeluarkan suaranya. Dengan lemas Bunga menoleh dan mendapati Karang pergi begitu saja.

Bunga menyendu, pena yang tergenggam itu jatuh seketika ke atas buku catatan. Bunga mengangkat telapak tangannya yang gemetar. Tubuhnya akan selalu gemetar jika ia berhasil membuat Karang menjauh darinya. Bunga membenci dirinya ketika ia harus melakukan itu, agar karang membencinya seperti kata Ibu. Bunga terpaksa meski jujur Bunga ingin Karang selalu menyanyanginya. Sebab, Bunga hanya memiliki Karang didunia ini ketika semua hidupnya penuh dengan benci dan masalah.

Bunga mengucapkan beribu maaf kepada Karang yang perlahan mulai menghilang. Bunga tahu, adiknya itu kecewa padanya.

Dugh

Dipukul kepalanya sendiri menggunakan tangan. "Bodoh, pantas saja Mama membuangmu. Karena, aku memang bodoh". Bodoh dalam segala hal.

Bunga memukul kepalanya berulang kali di taman sepi itu. Merutuki kebodohan yang selalu ia ciptakan. Tentang kebodohan diri dan semua hidupnya.

Bunga tidak benar berhenti memukuli kepalanya bahkan rasa pusing itu semakin menjalar dikepala. Hatinya gundah, perasaannya berantakan, dan kepalanya terus berisik. Bunga ingin meneriaki bahwa ia sakit namun otaknya berkata lebih baik diam. Semuanya terasa berkecamuk dalam diri yang pada akhirnya membuat Bunga lelah.

Jaga Bunga DikarangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang