Chaelisa
Bunyi pesan masuk. Chaeng segera memeriksa ponselnya.
Cuma beberapa kontak yang notifikasinya dinyalakan.
Chaengah- aku ingin makan udon, ayo kita makan udon bersama sepulang sekolah.
Pesan dari nama Lisa (emoji hati putih).
Kebetulan sekali. Lisa selalu muncul saat Chaeng membutuhkannya.
Dia nggak membalas pesan itu dan langsung menghubungi Lisa.
Seperempat detik Lisa langsung mengangkat teleponnya, "Chaeng, ada apa?"
"Apa kamu sibuk?" Chaeng memastikan.
"Aku nggak lagi sibuk." jawab Lisa dari sebrang.
"Bisa menjemputku, sekarang?"
Lisa
Lisa sedang mencoba scooter koper barunya berkeliling di tempat kerja. Itu ulah Chaeng, dia membelinya lebih dahulu minggu lalu dan mempamerkannya kepada Lisa.
Dengan hoodie hitam, celana jeans, dan sneakers putih yang dia pakai, nggak akan ada yang mengira kalau Lisa adalah presdir muda perusahaan ini.
Dia berhenti untuk menyapa seekor pudel.
Sebagai penyanyang binatang, perusahaan Lisa punya fasilitas tempat hewan peliharaan untuk karyawan yang nggak bisa meninggalkan mereka sendirian di rumah.
Si pudel menggemaskan mengingatkannya pada seseorang yang sangat dia sukai.
"Aku akan menghubungi dia." gumam Lisa lalu berkendara kembali ke ruangannya.
Lisa mengetik pesan, Chaengah- aku merindukanmu... tidak, dia menghapusnya, mengetik ulang, Chaengah- aku ingin makan udon, ayo kita makan udon bersama sepulang sekolah. Kirim.
Dia agak terkejut saat Chaeng langsung meneleponnya.
Apa terjadi sesuatu?
Lisa langsung pergi ke sekolah Chaeng.
Mereka sangat dekat, lebih dekat dari sahabat atau sekedar keluarga. Lisa dan Chaeng tumbuh dewasa bersama dengan berbagi banyak hal. Seolah hanya mereka yang bisa menerima kekurangan satu sama lain dan saling menguatkan.
Begitu sampai Chaeng ternyata sudah menunggu di depan sekolah.
"Neo gwenchana, Chaengah?" tanya Lisa saat Chaeng masuk mobil.
Chaeng memberi senyuman termanis yang langsung menghilangkan kecemasan Lisa.
"Ya, aku hampir jantungan." protes Lisa, bayangan kejadian saat dulu dia hampir kehilangan Chaeng nggak pernah akan terlupakan.
"Jangan khawatir, Lisa. Aku baik-baik saja selama ada kamu." Chaeng meringis.
Lima belas tahun yang lalu, saat mereka masih murid kelas dua belas. Chaeng muda nyaris merenggut hidupnya sendiri. Lisa datang menyelamatkan disaat yang tepat.
Dia mungkin seperti anak kecil tapi sikapnya bisa jadi sangat dewasa dan bijaksana.
Jauh kebelakang mereka sebenarnya bukan teman akrab justru rival abadi. Mereka pernah benci satu sama lain, tapi semua bisa berubah.
Nggak ada yang tahu Chaeng muda yang begitu sempurna menyimpan banyak kepedihan. Hanya Lisa, musuh terbesarnya yang menyadari itu.
Kadang, musuh lebih baik dalam memahamimu.
Sejak kejadian itu Lisa berjanji dalam hati untuk melindungi Chaeng.
"Kita mau kemana?" tanya Lisa.
"Tempat penampungan hewan."
"Tiba-tiba?" alisnya bertaut.
"Akan kuceritakan di jalan." ujar Chaeng.
Chaeng
Chaeng masih diam walau sudah jalan beberapa kilometer.
"Winter bikin masalah, ya?" tebak Lisa.
Telepati mereka masih bekerja dengan baik. Chaeng bahkan belum mengatakan apa-apa. Tapi Lisa selalu bisa menebak yang sedang dipikirkannya.
"Nggak... bukan masalah besar-"
"Apa yang dilakukannya?" Lisa memotong.
Dia terpaksa menceritakan semua.
"Jangan memarahinya, Lisa. Bukankah mereka agak mirip kita." ucap Chaeng.
Lisa menepikan mobil, "Biar kulihat."
Chaeng memajukan kepalanya menunjukan lecet dan memar kecil, dia melihat sorot khawatir di mata Lisa, "Sudah aku kompres kok-"
Lisa menemui mata Chaeng, "Sakit, ya? Maafkan Winter." dia mengambil p3k kecil yang disimpan di mobilnya.
"Jadi, rencananya mereka kamu hukum merawat kucing?" tanya Lisa sambil memasang plester luka di ujung kening Chaeng.
"Sudah kubilang bukan hukuman, tapi pembelajaran. Seperti saat kita merawat Leo." benak Chaeng bernostlagia.
Leo adalah anak kucing yang dia besarkan bersama Lisa dahulu.
Hari itu hujan deras saat Chaeng berjalan pulang sekolah dan terpaksa berteduh di depan rumah kosong. Tiba-tiba dia mendengar suara mencit anak kucing.
Chaeng langsung mencari ke sumber suara.
Dia menyangka cuma sendirian, rupanya ada orang lain. Chaeng tiba bersamaan dengan Lisa yang sudah basah kuyup datang entah darimana.
Ada orang kejam yang membuang anak kucing di dalam karung yang di ikat dekat talang air. Seekor kucing kecil berbulu putih abu-abu, kedinginan dan ketakutan.
Memori yang paling melekat bagi Chaeng, saat dirinya dan Lisa meluncur di tengah guyuran hujan badai sambil melindungi Leo.
"Sudah sampai." Lisa berseru.
Mereka diantar ke bagian shelter kucing. Rasa miris muncul saat kucing-kucing mengeong menyambut calon pengadopsi. Andai Chaeng bisa membawa mereka semua pulang.
"Apa ada anak kucing malang di sini?" tanyanya.
"Ada satu, dia baru datang pagi ini." penjaga menunjukan anak kucing orange bermata coklat bulat, "Tidak ada cacat, secara keseluruhan dia sehat."
"Imut sekali." Lisa menepuk bahu Chaeng, "Winter akan menyukainya, aku jamin."
"Kami akan mengadopsinya." Chaeng segera mengurus administrasi.
Mereka keluyuran ke beberapa tempat random setelah makan udon. Lisa selalu berhasil mengajaknya bersenang-senang.
Sekarang sudah tengah malam.
Chaeng baru saja beristirahat di sofa empuk di tepi kamarnya, sebelum menerima sebuah video call masuk, "Lisa. Kita baru saja bertemu."
"Tapi sekarang waktunya facetime." Lisa memasang wajah cemberut.
"Ya- kamu bahkan masih memakai hoodie."
"Mau aku melepasnya?"
"Lisayah! Bersihkan dirimu lalu cepat tidur, jadwalmu padat besok."
Lisa menggelang, "Aku butuh banyak energi darimu."
Chaeng tertawa, berusaha nggak tersipu. Mereka sudah berteman sangat lama, lagipula Lisa sudah ribuan kali bilang kalau dia salah satu sumber semangatnya. Hanya Lisa yang peduli pada Chaeng.
"Kamu benar-benar mau membantu mereka?" tanya Lisa, "Sejujurnya, gadis seperti apa Karina itu? Aku hafal sifat Winter sejak bayi, dia suka langsung cut off orang yang menurutnya menyebalkan. Bocah es itu nggak punya ampun."
"Mereka akan jadi teman baik, percayalah." Chaeng terdengar optimis.
"Terimakasih sudah menjaga keponakanku." suara Lisa semakin sayup.
"Itu tugasku sebagai wali kelas." Chaeng berpura-pura menguap, tahu sahabatnya sudah cukup lelah, "Selamat tidur Lisa, jangan memimpikanku."
Mereka saling memandang di layar untuk yang terakhir, "Jangan bermimpi tentangku juga bahkan orang lain, tidur nyenyak... selamat malam Chaeng seonsaengnim."
KAMU SEDANG MEMBACA
School Pawrents: (Jiminjeong/Winrina slice of life story)
FanfictionWinter si "nol derajat celcius" murid transfer kelas dua belas, harus duduk sebangku dengan Karina si "kesabaran setipis tisu", membuat sekolah yang monoton dan kaku jadi heboh karena ulah mereka. Wali kelas bertanggung jawab mendamaikan keduanya...