Habib
GUE UDAH DI DEPAN.
BURUAN ATAU GUE TINGGALIN?!Dengan tergopoh-gopoh Nero menggapai pintu utama rumah sang ibu. Anak itu memasang sepatu putih miliknya dan mengikat dengan asal. Ia berdiri diiringi suara melengking Ainun yang memekakkan telinga.
"LOH! KAKAK INGIN PERGI KE MANA?"
Aduh, kenapa orang-orang di sekitarnya pagi ini membuat Nero seperti akan jantungan berkali-kali.
"Kakak mau main. Adek di sini sama Mbak Diajeng dulu sampai Ibu pulang, ya?" Lantas Nero menatap Diajeng selaku pengasuh Ainun yang duduk di sebelahnya. "Mbak, titip Adek ya! Nero buru-buru."
"Seben-"
Tidak peduli. Nero tidak peduli. Nero keluar rumah dan menutup pintunya tanpa menunggu Diajeng menyelesaikan kalimatnya.
Terlihat Habib di sana. Di atas motor kesayangannya. Wajahnya ditekuk sedemikian rupa. Nero berlari kecil ke arah pemuda itu.
"Lama banget sih?! Gue udah telat kerja nih! Kalo gaji gue dipotong emang lo mau gantinya? Duit jajan lo gue palakin nanti! Mau lo?!" omel Habib.
"Bukannya emang setiap hari?"
"Apanya?"
"Lo malakin gue."
"Beda! Itu namanya minta traktir! Bersyukur dong. Kalau nggak ada gue, lo mana punya temen. Mana pingsan mulu lagi, lo pikir kagak berat apa gotong lo ke UKS?"
Nero malah terdiam di sebelahnya. Tak lagi menjawab apa-apa. Perasaannya tiba-tiba dilanda sesak. Ucapan Habib cukup menyakitinya pagi ini. Tapi apa yang dikatakan pemuda itu memang benar. Jadi, tak seharusnya Nero merasa tersinggung bukan?
Namun, apakah harus Habib melontarkan kalimat menyakitkan itu pagi ini? Apakah Nero terlalu memberatkan Habib untuk permintaannya pagi ini?
Tak kunjung menerima balasan dari lisan Nero, Habib menoleh. Nero tak berkutik di tempatnya dengan pandangan menatap lurus pada sepatu putihnya. Dan seketika itu Habib baru menyadari apa yang salah dari ucapannya.
Habib turun dari motornya. Ia sedikit mengguncang bahu Nero. "Ner, gue nggak bermaksud begitu. Sumpah! Gue minta maaf, Ner."
"Nggak pa-pa, Bib. Gue ngerti kok. Makasih ya udah mau jadi temen gue. Maaf ngerepotin lo terus. Jangan marah ya, Bib. Paling sekitar empat bulan lagi."
"Apanya yang empat bulan?"
"Hidup gue."
"Heh! Mulut lo mau gue sambelin?! Nggak usah becanda! Demi Allah, gue minta maaf, Nerooo! Tolong jangan mulai ngelantur kayak gini!"
"Maaf, Bib."
"Jangan minta maaf mulu! Lebaran masih lama! Ayo, janji dulu." Habib menyodorkan jadi kelingkingnya pada Nero.
"Janji apa?" Nero mendongak bingung.
"Janji lulus sekolah bareng. Biar bisa bikin trend jedag-jedug."
Kekehan Nero melantun indah. Lantas dengan segera ia menautkan jari kelingkingnya pada milik Habib.
"Ayo, naik!"
Kedua pemuda itu pun menaiki sepeda motor milik Habib.
"Berang-berang makan coklat?"
"Berangkatttt!"
------------------〣-------------------------------
Sudah hampir 15 menit Nero terpaku di tempatnya berdiri. Menatap bangunan yang menaunginya 16 tahun terakhir. Tak terlalu banyak orang di sana, namun suasananya begitu hangat. Hanya terlihat keluarga dekat, rekan bisnis Danuarja dan Titania, serta para tetangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Nero
Teen FictionNero adalah anak baik. Nero rela melakukan apa saja hanya agar Ayah bangga padanya. Nero rela bersujud hanya agar Ibu mengakui kehadirannya. Bahkan jika bisa, Nero rela menukar jiwanya untuk keinginannya yang begitu sederhana. Nero hanya ingin rumah...