Mata Nero seketika tertutup kembali saat baru saja terbuka. Silaunya ruangan putih itu menusuk retina matanya. Nero terpejam beberapa detik. Ketika indra-indranya perlahan mulai kembali, rungunya lah yang pertama kali menangkap suara-suara sesuatu yang seolah bersahutan itu.
Dingin ...
Kenapa ruangan ini dingin sekali? Dan tubuhnya terasa seperti melayang, aneh, Nero juga tidak bisa menggerakkannya. Hanya beberapa saat, karena di detik berikutnya, anak itu mulai merasakan ngilu yang menusuk pada sendi-sendinya. Di tengah rasa seperti mengambang itu, Nero juga merasakan sakit di sekujur tubuhnya, terutama tenggorokan dan lengannya.
Pusing sekali. Nero tidak mau memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, rasanya terlalu letih. Lemas. Nero bahkan tidak ingat apa yang sebelumnya terjadi sampai-sampai dia bangun dalam keadaan seperti ini.
"Halo, Nero?" Seorang Dokter yang entah sejak kapan ada di sana memegang jemari tangan Nero dan mengelus punggung tangan itu dengan pelan, seolah tubuh anak di hadapannya itu adalah kaca tipis yang bisa pecah hanya dengan disentuh sedikit saja. "Nero bisa dengar Dokter, nggak, Sayang?" ulang Dokter senior itu, terdengar lembut dan sarat akan kasih, begitu keibuan. Ia pun mengulang lagi, "Kalau bisa, genggam tangan Dokter, ya?"
Nero membalas genggaman tangan itu walau hanya dengan menggerakkan jari-jari pucat kebiruannya sedikit. Tiga orang tenaga kesehatan yang ada di ruangan itu pun tersenyum kecil, tahu Nero sedang berusaha mengumpulkan kesadarannya. Siuman setelah melewati masa kritisnya di ruangan ini selama 2 hari, mungkin kehidupan sehari-harinya tidak akan mudah dijalani Nero setelah ini.
Malam itu, Nero sampai di UGD dalam kondisi Hb (hemoglobin) tersisa 6 g/dL, dan terus menurun drastis hingga 2 g/dL, karena terlambat mendapatkan donor darah. Yujin yang duduk di kursi tunggu depan ruangan ICU bersama kedua orang tuanya masih tidak menyangka bahwa ia hampir kehilangan adiknya, bahkan sampai saat ini, tangan dan kakinya yang dirinya paksakan untuk kuat selama 2 hari ini masih gemetar. Dokter bilang, Nero mengalami penurunan fungsi paru-paru karena kurangnya jumlah oksigen di dalam darah akibat anemia parah.
Nero adalah penderita anemia aplastik. Seharusnya Yujin lebih waspada mengenai kondisi adiknya. Yujin memukul pahanya berkali-kali untuk menyalurkan kemarahannya pada keadaan. Hari itu Nero terlihat baik-baik saja, hanya menangis, bagaimana bisa sampai separah ini? Yujin yang semula membungkuk menatap ubin dingin rumah sakit itu mengangkat pandangannya pada Danuarja yang duduk di sebelah Titania. Ditatapnya benci pria itu, mengingat kembali kejadian malam itu, Yujin hampir saja membunuhnya karena membuat Titania berlutut memohon kepada Danuarja agar menggunakan relasinya untuk mencari donor darah. Mencari berkantong-kantong darah dalam waktu singkat bukan hal mudah jika tanpa adanya relasi, karena tidak semua rumah sakit memiliki stok yang cukup di bank darahnya.
"Ini semua salah Mama ...," lirih Titania, hanya mampu bersandar lemah pada suaminya.
Nirvana yang tadinya duduk dalam diam tanpa alas di seberang mereka ikut melihat ke arah Danuarja yang sedang berusaha memberikan kenyamanan pada Titania. Mengamati mereka dengan tatapan terluka, membayangkan, bahwa dirinya tidak akan pernah merasakan kehangatan yang sama dari kerasnya seorang Danuarja. Menguak kembali pedihnya luka-luka masa lalu yang sempat mereka goreskan pada satu sama lain. Terbayang bagaimana sembilu itu menggores hatinya, Nirvana memejam kuat, menekan cemburu dan patah hatinya seorang diri, tanpa seorang pun akan memahami posisinya.
"Ibu."
Ketika matanya terbuka kembali berkat panggilan pelan itu, Yujin sudah berjongkok di hadapan Nirvana. Melepas sendal santainya, lalu memasangkannya pada kaki Nirvana yang high heels-nya hilang ke mana, tanpa disadari, karena terlalu sibuk ke sana kemari menjemput orang-orang yang bersedia mendonorkan darahnya untuk Nero.
"Pakai alas kaki, nanti masuk angin," sambung remaja itu.
Tidak ada balasan dari Nirvana selain senyum lemah dengan mata berkaca-kaca, bahkan ketika Yujin ikut duduk di sebelahnya, tanpa alas duduk sepertinya, Nirvana tetap tidak membuka suara. Yujin sudah bosan mengajak Nirvana duduk di kursi panjang tunggal di lorong itu karena terus ditolak, akhirnya ia memilih menemani Nirvana di bawah sana. Nirvana menolak bukan tanpa alasan, wanita itu tidak mau duduk di atas singgasana yang sudah ditempati oleh orang lain. Tidak akan pernah. Biarlah ia terseok di bawah tanpa seorang pun yang menemaninya.
"Ibu capek, 'kan?" Yujin menepuk-nepuk bahu kirinya. "Sini senderan sama Mas, Bu."
Lagi-lagi, Nirvana mengembangkan senyum kecil di wajah lelahnya. Tangannya terangkat hingga berlabuh di atas kepala Yujin. "Anak baik ...," ucapnya. "Tolong perlakukan Nero dengan baik juga, ya, Nak?"
Kerasnya Yujin ternyata tidak sama dengan Danuarja, anak ini bisa luluh dengan kelembutan, namun akan sama kerasnya ketika diperlakukan dengan keras. Berbeda dengan mantan suaminya itu, yang sudah Nirvana usahakan segala cara agar luluh padanya, sudah Nirvana berikan segala yang ia punya, harta benda, tubuhnya, kasih sayang, namun ternyata bukan hal itu yang bisa meluluhkan Danuarja, melainkan seorang Titania. Bagaimana pun bentuknya seorang Titania akan selalu diterima dengan baik oleh Danuarja, akan mampu melembutkan kerasnya hati seorang Danuarja, karena mereka saling mencintai.
Tangan Nirvana turun, mengelus pipi dingin Yujin dengan ibu jarinya. Berpikir, bahwa anak ini juga sama terlukanya. Bagaimana Yujin bisa baik-baik saja ketika mengetahui Titania melahirkannya tanpa sedikit pun rasa cinta pada Turah? Yujin pasti juga terluka ketika mengetahuinya. Namun ia memilih untuk ikut membenci ayahnya, demi memberikan perlindungan pada sang ibu.
Bagaimana bisa ... anak-anak yang hadir di hidupnya setangguh mereka?
Nero dan Yujin. Yang seharusnya tumbuh dengan belaian kasih dan sayang, yang seharusnya menerima banyak kehangatan, yang seharusnya tertawa lepas menikmati masa remaja yang penuh warna; jatuh cinta, bercita-cita, dan berbahagia.
Karena keegoisan mereka sebagai orang tua, anak-anak itu pun menjadi korbannya.
Nirvana menurunkan tangannya dan benar-benar bersandar di bahu kiri Yujin sesuai permintaan anak itu. Dengan suara yang hampir samar dengan angin, dan hanya Yujin yang bisa mendengarnya, Nirvana berucap, "Di kehidupan selanjutnya, jadi anak Ibu juga, ya, Mas?"
Yujin menggigit bibir bagian dalamnya, menahan agar tidak menangis setelah mendengar lirihan tulus dari Nirvana, namun ia juga tidak menjawab. Yujin tidak bisa. Jika tidak ada dirinya, siapa yang akan melindungi Mama? Ia kembali melihat ke arah Titania dan Danuarja yang masih sibuk sendiri dengan tatapan tidak terbaca.
Kalau ada Ayah di sisi Mama, Yujin mau, Bu.
Karena satu hal yang Yujin ketahui, lahirnya ke dunia ini, adalah luka untuk Titania. Yang Titania harapkan bukanlah buah dari rumah tangganya bersama Turah, melainkan buah cintanya bersama Danuarja sebagai pria yang ia cintai; itu adalah adiknya, Nero.
Apabila kehidupan selanjutnya benar-benar ada, akan lebih baik jika Yujin melenyap dari kehidupan Mama.
[].
bingung ga? maaf ya kalau bikin bingung 🥺
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Nero
Teen FictionNero adalah anak baik. Nero rela melakukan apa saja hanya agar Ayah bangga padanya. Nero rela bersujud hanya agar Ibu mengakui kehadirannya. Bahkan jika bisa, Nero rela menukar jiwanya untuk keinginannya yang begitu sederhana. Nero hanya ingin rumah...