"Ibu kenapa?" adalah satu pertanyaan yang sejak tadi Nero tahan untuk keluar, akan tetapi pada akhirnya terlontar juga. Tangan kiri Nero terus memegangi cincin emas yang menjadi liontin kalung barunya. Entah kenapa perasaan Nero dilanda gelisah.
"Apanya, Kak?"
Apanya?
Kedengarannya kasar sekali. Nero membatalkan niatnya untuk bertanya. Respon Nirvana yang singkat dan seperti tidak mencerna ucapannya itu menyinggung hati Nero. Pandangannya yang semula mengarah pada ibunya yang sedang menyetir tersebut Nero alihkan ke arah jendela mobil, oh lihat, Ibu bahkan tidak melihat ke arah Nero saat menjawab pertanyaannya tadi.
... the wheels on the bus go run and run ...
Senandung Ainun dan speaker mobil pun kembali mendominasi rungu tiga orang yang ada di sana. Nero menatap jendela mobil yang tertutup tanpa minat. Bibir bagian dalamnya Nero gigit kecil.
Nirvana menoleh sekilas ke arah putranya karena tak kunjung mendapatkan jawaban. Paham akan apa yang terjadi, Nirvana berpikir sejenak memikirkan kalimat apa yang harus ia lontarkan. Lagi-lagi Nero tersinggung dengan hal sepele. Nirvana mengerti bahwa banyak hal tidak menyenangkan terjadi pada Nero selama ini, ditambah kondisi kesehatannya yang jauh dari kata baik, wajar jika anaknya menjadi sangat sensitif. Kemudian napasnya ia hela sepelan mungkin, takut-takut Nero tambah tersinggung dan mengira ibunya lelah menghadapi tingkahnya.
"Ibu nggak pa-pa, Kak."
Nirvana menoleh kembali pada Nero sesaat, tampaknya Nero tidak tertarik dengan apa yang ia katakan. Maka ia pun melanjutkan ucapannya.
"Kakak pasti bingung, ya, kok Ibu tiba-tiba kasih Kakak kalung itu terus ngajak ke rumah nenek dulu sebelum ke mall?"
Senyumnya Nirvana tahan kala sudut matanya menangkap Nero yang sudah menoleh padanya. Berhasil. Memang itu yang Nero harapkan. Jeda cukup lama terbentang karena arus lalu lintas sedang cepat dan ramai.
"Cincin itu, ada ukiran tanggal pernikahan serta inisial Ibu dan Ayah kamu. Sengaja Ibu simpan selama ini untuk dikasih ke kamu setelah kamu masuk tujuh belas tahun," cerita Nirvana saat mereka berhenti di lampu merah.
"Tapi ..., kenapa?" Seolah tidak puas, Nero menuntut jawaban lebih.
"Ibu udah nggak sanggup nyimpannya. Makanya Kakak yang gantiin Ibu, ya?"
Nero juga nggak sanggup, Bu ....
Faktanya, Nero benci ketika mengingat kembali kenyataan bahwa penderitaan menahun yang Ibu alami berawal dari kelahirannya. Setiap kali teringat akan hal tersebut, selalu terdengar suara seperti bisikan-bisikan mengganggu di telinganya.
Dasar anak haram!
Nggak tau diri!
Akan lebih baik kalau kamu mati!
Secara reflek anak itu memejamkan mata kuat-kuat, menepis semua hal yang terdengar menggema dan saling bersahutan.
PLAK!
"NERO! Maaf ... maaf, Ibu nggak maksud nampar Nero. Napas, Sayang .... Tarik napas."
Tangan gemetar Nirvana buru-buru membuka sabuk pengaman Nero agar anaknya lebih leluasa bernapas. Lagi-lagi, Nero menahan napasnya tanpa sadar. Suara napas mereka berderu bersahutan. Nirvana tersengal-sengal karena cemas, sementara Nero masih berusaha mencerna apa yang terjadi.
Nero menatap sekelilingnya, dan menyadari mereka mungkin sudah sampai di tempat tujuan, lingkungan ini familiar karena Nero belum pernah datang ke sini sebelumnya karena penolakan yang keluarga sang ibu berikan. Nero menoleh ke belakang, terdapat Ainun menangis dalam diam di sana, sepertinya karena ketakutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Nero
Teen FictionNero adalah anak baik. Nero rela melakukan apa saja hanya agar Ayah bangga padanya. Nero rela bersujud hanya agar Ibu mengakui kehadirannya. Bahkan jika bisa, Nero rela menukar jiwanya untuk keinginannya yang begitu sederhana. Nero hanya ingin rumah...