Pukul 8 malam, Nirvana memasuki rumah mereka dengan 2 gelas es krim sundae rasa pisang. Setelah melepas flat shoes-nya, Nirvana membawa es krim tersebut bersama langkah lelahnya menuju meja makan.
Suasana rumah begitu sepi. Sunyi yang mengerikan itu mengantarkan langkah Nirvana pada kamar si bungsu. Berniat memanggil kedua buah hati lantaran si sulung tak terlihat keberadaannya di ruang keluarga.
Pintu kamar dibuka. Nirvana lihat bungsunya tengah terlelap bersama sang pengasuh. Dengan penuh hati-hati, Nirvana membangunkan Diajeng.
"Mbak, udah pulang?"
Nirvana mengangguk pelan. "Ini sudah larut. Kenapa kamu belum pulang? Di mana Nero?"
"Kakak tadi izin main dijemput temannya, tapi belum pulang dari pagi."
"Dari pagi?" gumam Nirvana. "Kenapa diberi izin, Diajeng? Bukannya sudah saya bilang kondisi kesehatan Nero sedang tidak baik akhir-akhir ini."
Terdengar lirihan maaf dari Diajeng. Nirvana mendengkus. Segera ia perintahkan agar wanita itu pulang karena hari semakin larut.
Langkah gusar Nirvana berhasil sampai kembali pada meja makan dimana tas dan es krim untuk anak-anaknya berada. Jemari lentiknya menarik gawai dari tas berwarna hitam tersebut. Mendial nomor sang anak berulang kali namun tak kunjung mendapat jawaban.
Ia berlari keluar bak kesetanan. Mengelilingi komplek perumahannya untuk mencari keberadaan si sulung. Gawai berlogo apel digigit itu ia genggam kuat-kuat, selaras dengan cemasnya yang tak terkendali. Hingga Nirvana sampai pada pos Satpam untuk bertanya tentang keberadaan anaknya.
"Permisi, Pak."
Kedua Satpam yang berada sontak berdiri mendekati Nirvana. "Ada yang perlu dibantu, Ibunya Mas Nero?"
"Maaf, Pak. Bapak ada lihat anak saya keluar atau masuk komplek tidak?"
"Siapa, Bu? Mas Nero? Ah! Tadi pagi ada temannya Mas Nero izin masuk, katanya mereka mau main, lalu Mas Nero dan temannya keluar. Tadi saat masih pagi, sekitar pukul delapan."
"Lalu belum balik lagi, Pak?"
"Waduh ... Belum kelihatan, Bu."
Mendengar itu, Nirvana secara reflek menjambak rambutnya frustasi.
"Maaf, Bu. Ada apa emangnya?" Satpam yang lain bertanya lantaran penasaran.
"Nero belum pulang, Pak. Nero sedang demam. Saya khawatir. Anak saya tidak pernah keluyuran sampai malam seperti ini. Apa lagi keluarnya sejak pagi."
Kedua Satpam itu pun saling pandang. Lalu salah satunya berucap, "Perlu saya telepon polisi, Bu? Tapi, ini belum empat puluh delapan jam."
Gelengan Nirvana berikan. "Tidak perlu, Pak. Terima kasih. Saya akan hubungi ayahnya terlebih dahulu."
Nirvana pun kembali membawa langkahnya menuju rumah. Terangnya purnama tak mampu menyinari gelapnya kehidupan yang Nirvana jalani. Langkahnya gontai dikuasai air mata.
Khawatir mulai memakan jiwa Nirvana. Karena hari semakin larut dan anaknya belum pulang ke rumah dengan kondisinya yang sedang tidak baik. Perasaannya gundah. Lantas dengan terpaksa, wanita cantik itu menghubungi Danuarja.
"Ada apa, Nirvana? Acara saya sedang berlangsung. Tolong jangan mengganggu hari penting saya."
"Nero tidak ada di rumah."
"Maksudnya?"
"Nero hilang, tidak ada di rumah saat saya pulang kerja."
"Bagaimana bisa? Kamu ini emang dari dulu tidak bisa menjaga amanah, ya? Ternyata keputusan saya untuk berpisah denganmu adalah pilihan yang paling benar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Nero
Teen FictionNero adalah anak baik. Nero rela melakukan apa saja hanya agar Ayah bangga padanya. Nero rela bersujud hanya agar Ibu mengakui kehadirannya. Bahkan jika bisa, Nero rela menukar jiwanya untuk keinginannya yang begitu sederhana. Nero hanya ingin rumah...