"Nero, bangun! Heh! Lo tidur atau mati sih?!"
Malam itu, Yujin mengguncang tubuh Nero dengan brutal. Nero terbangun dengan detakan jantung tak kalah brutal. Ia menatap sayu Yujin. Wajah pucatnya kian memucat akibat aksi tak berperasaan saudara tirinya tersebut.
Yujin menghela napas. Antara lelah dan lega, entahlah. Yujin pun tak tahu pasti perasaannya. Setelah ini, Yujin tak akan mau membangunkan Nero yang sedang tertidur lelap. Karena, Yujin selalu dibuat panik olehnya.
Bagaimana Yujin tidak panik? Hampir 15 menit lamanya Yujin mencoba membangunkan Nero tanpa respon yang berarti. Mulai dari menepuk pelan tangan dan pipinya, memijit kakinya, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memaksa raga tersebut duduk dan mengguncangnya kuat. Hingga akhirnya, Nero berhasil membuka mata.
Tangan berurat Yujin menempel sejenak pada kening adiknya. Dan masih panas. Sedikit janggal karena Nero sudah 2 kali menelan paracetamol dan omeprazole hari ini, namun demamnya tak juga turun.
"Bangun dulu." Yujin berinisiatif membantu Nero duduk. Rona di wajah kecil Nero justru bertambah pucat. Yujin menatap mata sendu yang tampak bingung tersebut. "Ayah udah pulang. Disuruh turun ke bawah buat makan malam, sama ada yang mau Ayah bahas katanya."
Walau belum sepenuhnya sadar, Nero mengangguk patuh jika hal tersebut bersangkutan dengan Ayah.
"Ayo," ajak Yujin, lalu menarik Nero berdiri perlahan. "Pusing, ya?" Dan kembali melontar tanya karena Nero berjalan sambil mengerutkan keningnya.
Nero kembali mengangguk. Tak mau berbohong perihal keadaannya yang jauh dari kata baik. Walau dibawa tidur seharian penuh, tubuh Nero rasanya tetap tidak membaik dan malah kembali bertambah tak karuan seperti kemarin malam.
Nero dan Yujin duduk bersebelahan di kursi makan, sedangkan Titania dan Danuarja duduk di seberang mereka. Ritual makan malam bersama dilakukan, untuk pertama kalinya di hidup Nero. Sehingga, suasana canggung tak dapat terelakkan di sana.
"Minum obat, ya, Nero. Harus sembuh malam ini. Besok udah masuk sekolah, nggak boleh izin."
Nero menghentikan aksi makannya. Selera makannya yang memang hanya sedikit seketika hilang entah ke mana. "Iya, Ayah," jawab Nero tanpa memandang wajah sang ayah.
Jika memang semampu itu menyembuhkan, Nero bersedia menelan satu botol obat saat itu juga. Namun kenyataannya, sakit inilah yang tidak mau menyingkir, bukan Nero yang tidak mau berusaha sembuh.
"Jangan pingsan lagi, ya. Nanti ketinggalan materi lagi, 'kan jadi rugi dong? Bagaimana kalau Nirvana kembali meremehkan Ayah karena nggak becus mendidik kamu? Mau 'kan berusaha bersama? Buat kamu sendiri loh ini."
Nero kali ini memberanikan diri menatap ayahnya, berusaha menyampaikan sakit hati yang ia rasa melalui kilatan sendu di matanya.
Yujin yang awalnya diam pun menepuk paha Nero sebanyak 2 kali dengan tujuan memberi kekuatan. Jangankan Nero, Yujin pun cukup sakit hati mendengar penuturan Danuarja tersebut.
"Eh, Ma. Kok nggak masak ikan, ya, malam ini?" celetuk Yujin. Berniat mencairkan suasana.
"Nggak ada ikan, adanya buaya," jawab Titania setelah selesai menelan kunyahannya.
Bodohnya, Yujin malah menjawab, "Mana?"
"Itu di depan Mama." Titania menunjuk Yujin menggunakan dagunya.
"Sembarangan! Ganteng begini kok. Kalau begitu Mama juga buaya dong? Mas 'kan anak Mama."
Titania terpingkal di tempatnya, begitu pun Danuarja yang ternyata ikut menguping pembicaraan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Nero
Roman pour AdolescentsNero adalah anak baik. Nero rela melakukan apa saja hanya agar Ayah bangga padanya. Nero rela bersujud hanya agar Ibu mengakui kehadirannya. Bahkan jika bisa, Nero rela menukar jiwanya untuk keinginannya yang begitu sederhana. Nero hanya ingin rumah...