Hampir 2 jam Yujin dan Nero berjalan mengekori orang tua mereka mengelilingi seisi toko yang mereka masuki. Hingga Nero merasa perutnya bergejolak dan segera berjalan cepat menuju toilet terdekat, diikuti Yujin yang berlari kecil di belakangnya.
Dan di sinilah mereka saat ini. Di hadapan cermin besar yang memantulkan refleksi indah keduanya. Nero menarik tisu sesaat selesai membasuh wajahnya yang tampak pucat dengan raut kelelahan.
"Lo kenapa sih sebenernya? Penyakitan, ya?" celetuk Yujin memecah hening yang membentang di antara keduanya.
Nero hanya melirik sekilas dan beranjak pergi dengan bertumpu pada benda apapun yang ada di dekatnya. Yujin yang diabaikan merengut kesal. Ia mengikuti Nero di belakang dengan sedikit menghentak-hentak kakinya.
"Lo ngacangin gue? Nggak tau terima kasih ya lo! Kalau bukan Mama dorong gue, nggak sudi gue ngikutin lo ke sini! Emang dasar-"
"Makasih," ucap Nero pelan.
Setelah menghentikan langkahnya, Nero menoleh ke belakang hingga Yujin ikut berhenti melangkah. Bukannya mereda, emosi Yujin malah tambah berkobar.
Yujin terkekeh sinis. "Lo ngehina gue?"
"Nggak, Yujin. Gue bilang makasih."
"Seharusnya lo bilang begitu sebelum gue suruh! Kalau sekarang udah nggak guna makasih lo itu!"
Sebenarnya Nero sangat malas meladeni Yujin yang tempramennya sangat jelek. Nero juga takut pertemuan mereka kali ini akan membuahkan dendam yang Nero sendiri tidak tahu dimana letak salahnya, seperti pertemuan sebelumnya.
"Terus gue harus ngapain?" lirih Nero. Anak itu cukup frustasi menghadapi calon saudara tirinya ini.
"Mati sana lo!"
"Gue penginnya juga begitu!"
Bugh!
Yujin melayangkan pukulan pada wajah Nero. Nero yang tak siap menerima hal tersebut seketika terhuyung ke samping. Nero terdiam sesaat. Nero salah lagi, ya? Benar. Semuanya salah Nero.
"Kenapa diem? Lawan gue!" Yujin seperti kesetanan menarik Nero untuk berdiri. "Lo mau mati, 'kan?! Ayo, sini gue bantuin! Tapi lawan gue dulu! Pukul gue! Biar gue ada alasan buat bikin lo sesuai yang lo pengin!"
Bugh!
Yujin tersungkur. Sedangkan Nero malah menangis setelah melayangkan pukulannya pada rahang Yujin. Nero lemas. Ini pertama kalinya Nero memukul seseorang. Perasaannya jadi campur aduk. Nero lega, namun di satu sisi ia justru merasa bersalah. Bagaimana jika Yujin sungguh-sungguh akan ucapannya? Bagaimana jika Yujin benar-benar akan membunuh Nero detik itu juga?
Nero tidak berbohong, Nero juga menginginkan kematiannya jika hal itu akan membuat keadaan jadi lebih baik. Akan tetapi, Nero juga takut jika ternyata Ibu masih membencinya hingga detik terakhir yang ia punya.
"Beneran mau mati, ya?"
Yujin tersenyum remeh. Saat itu juga ia kembali melayangkan pukulan pada Nero hingga punggung calon saudara dirinya itu menabrak seseorang, lalu terjatuh tepat di bawah kaki orang tersebut.
"Yujin! Kamu apain Nero?!" Titania mendekati Yujin, kemudian menjewer telinganya.
Keributan tersebut berhasil menarik perhatian orang-orang di sekitar mereka, bahkan sekuriti pun ikut hadir di tengah mereka. Titania lantas meminta maaf dan segera membawa Yujin menjauh dari tempat tersebut.
Sementara Nero masih berada di posisi yang sama. Badannya lemas tak bisa digerakkan. Dalam keadaan telentang, Nero menatap wajah Danuarja yang melihatnya penuh emosi.
"Bangun!" sentak sang ayah.
Rambut Nero dijambak hingga berdiri, Danuarja tanpa perasaan menyeretnya menuju basement tempat mobil mereka diparkirkan. Pria kepala empat itu membuka pintu mobil dan mendorong Nero masuk dengan kasar.
Debuman pintu mobil mengudara, begitu pun dengan isakan yang susah payah Nero tahan sejak tadi. Badan anak itu gemetar ketakutan. Isak tangis Nero bertambah hebat ketika sang ayah mencengkeram rahangnya hingga tatapannya tertuju pada sorot mata setajam elang itu.
Ayah tak mengatakan apa-apa. Ayah hanya diam. Akan tetapi hal tersebut malah membuat ketakutan Nero bertambah besar, karena diamnya Danuarja bukanlah pertanda baik.
"A-ayah, maaf ...."
Plak!
Dug!
Kepala Nero terdorong ke samping dan terhantuk pada dashboard mobil berkat hadiah manis dari telapak tangan sang ayah. Sesuatu turun dari hidungnya. Nero merabanya. Anak itu terpaku saat melihat ada darah di sana. Pikirannya seketika kosong. Bahkan saat tetesan-tetesan darahnya jatuh membasahi pangkuannya.
Danuarja terdiam beberapa saat. Pria itu tak kalah terkejut melihat pemandangan tersebut. Namun di detik berikutnya, Danuarja menarik lembaran tisu sebanyak mungkin dan menahan darah dari hidung anaknya. Rasa bersalah tiba-tiba menggerayami relung hatinya.
Pening menghampiri Nero. Dunianya bahkan terasa berputar, membuatnya kembali merasa mual. Nero memuntahkan sesuatu, tetapi ia tak bisa melihat apa yang ia muntahkan.
Perutnya perih. Nero benar-benar lemas. Ia bahkan hanya diam saat Danuarja membawanya menyandar dan menarik tangannya untuk menahan tisu yang sebelumnya sang ayah pegang.
"Tahan dulu. Kita ke rumah sakit." Danuarja memasangkan sabuk pengaman pada Nero. Mobil mereka ia bawa melaju secepat yang ia bisa.
"A ... yah ...."
Danuarja menoleh mendengar lirihan dari anaknya. Danuarja meringis melihat keadaan si sulung yang jauh dari kata baik. Namun dengan begitu, ia melembut. Bersamaan dengan usakan pelan pada kepala Nero, sang ayah menjawab, "Iya, Ayah di sini. Sebentar lagi sampai rumah sakit."
"Nero ... mau pu-lang ...."
"Periksa dulu, setelah itu kita pulang."
Nero menggeleng. Anak itu kembali menangis frustasi. "Pulang aja .... N-nero ... Nero mau pulang ..."
"Salah ... Nero salah .... A-ayo pulang, Ayah ...."
"Nero," lirih Danuarja. Mobil mereka ia tepikan di pinggir jalan. Tangannya menggapai tubuh ringkih sang anak. Dekapan hangat beriring usapan lembut pada punggungnya Nero dapatkan.
"Min-ta ... maaf, Ayah ...."
"Iya, Ayah maafkan. Udah, ya? Jangan ditarik rambutnya."
"M-mau pulang ...."
"Iya, kita pulang."
Danuarja mendorong pelan tubuh Nero untuk melepaskan rengkuhannya. Begitu pun dengan cengkeraman tangan sang anak pada kemeja birunya yang kini hampir dipenuhi noda darah. Nero terus meracau dalam pejamnya. Danuarja segera mendial nomor seseorang.
"Halo .... Nero sakit .... Masih di jalan .... Langsung ke rumah saja .... Iya .... Saya tutup."
Bip.
Danuarja kembali memusatkan pandangnya pada Nero yang terpejam. Anak itu sudah berhenti meracau. Kini giginya bergemelatuk diikuti tubuhnya yang menggigil seolah menahan dingin.
Danuarja pun melepas jas kerjanya dan menyampirkannya pada sang anak. Tangannya dengan telaten membersihkan sisa noda darah di wajah putih pucat itu. Tangannya meraba kening sang anak dan panas langsung merambat detik itu juga.
Danuarja menyisir rambut hitamnya ke belakang, sebelum kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke rumah.
Ayah di sini, nak. Nero boleh pulang kapan pun Nero mau, lirihnya dalam hati.
[].
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Nero
Roman pour AdolescentsNero adalah anak baik. Nero rela melakukan apa saja hanya agar Ayah bangga padanya. Nero rela bersujud hanya agar Ibu mengakui kehadirannya. Bahkan jika bisa, Nero rela menukar jiwanya untuk keinginannya yang begitu sederhana. Nero hanya ingin rumah...