Sore itu, Nero menghentikan langkahnya kala menangkap eksistensi Nirvana yang sedang memasak di dapur. Nero beberapa saat lalu diantar oleh Danuarja ke kediaman sang ibu ini untuk menginap selama 2 malam, karena pesta pernikahan akan diadakan di rumah mereka. Akibat perubahan jadwal yang mendadak, tak ada lagi gedung atau aula hotel yang bisa disewa.
Hati Nero masih sangat gundah akan keputusan Danuarja. Ternyata, Nero tidak lebih penting dari orang-orang yang ada di sana. Dengan berat hati Nero pun tetap menurut, selalu berusaha untuk menjadi anak baik sesuai yang ayahnya dambakan.
Ia peluk tas berisi beberapa helai bajunya selama di perjalanan. Bahkan nasehat-nasehat yang sang ayah berikan terdengar seperti dengungan di telinganya.
"Nero? Kamu nggak dengar Ayah bicara sejak tadi?"
Nero tersentak dari lamunannya lalu menatap ke arah Danuarja. "H-hah .... I-iya, Ayah?"
"Kapan sih kamu akan berhenti gagap kalau bicara?"
Nero diam. Menggigit dinding bibir bagian dalamnya karena ucapan Danuarja terlalu menyakitkan.
"Lupakan. Kita sudah sampai. Uang untuk jajan dan keperluan kamu selama di sini sudah Ayah transfer. Jangan sekali-kali menerima apalagi sampai meminta uang kepada Nirvana. Mengerti?"
Nero mengangguk. Tangannya terulur untuk menyalami sang ayah, namun tak dihiraukan. Nero menarik kembali tangannya dan bergegas turun dari mobil. Sesulit itu ternyata. Nero hanya ingin diberi uluran tangan dari sang ayah. Hal sesederhana mengusak rambutnya akan sangat membuat Nero bahagia, walau rambutnya akan berantakan setelah itu.
Setelah Nero turun dan menutup pintu, mobil putih itu pun berlalu. Nero berdiam diri di sana. Memperhatikan roda-roda mobil sang ayah hingga menghilang dari pandangan. Nero juga ingin.
Bukankah lebih baik jika Nero menyatu di antara roda-roda itu dan ikut menghilang dari pandangan semua orang?
"Ngapain kamu berdiri di sana?"
Pertanyaan Nirvana berhasil membawa kembali Nero pada dunianya. Ia menatap wanita cantik itu bingung. Tadi ibunya bertanya apa?
"Kenapa, Bu?"
"Kamu nggak membawa apa-apa selain kamera?"
Nero meremat kamera di tangannya. Nero tersenyum manis. Ibu sangat perhatian. Nero menyukainya.
"Ada. Nero letakkan di ruang keluarga. Nanti dipindahin ke mana, Bu?"
"Pindahkan apa maksudnya? Nggak usah dipindahkan. Kamu tidur di ruang keluarga selama di sini."
Senyum Nero luntur. Ia mengangguk pelan. "Iya, Bu. Maaf."
Nero membawa langkahnya untuk duduk di kursi pantry. Memerhatikan punggung sang ibu yang kini sibuk dengan alat masaknya. Entah apa yang sedang Nirvana coba buat, Nero tak mengerti. Walau setiap ucapan Ibu tak kalah menyakitkan dari sang ayah, segala gundah di relung hati Nero seakan sirna hanya dengan melihat eksistensi ibunya.
"Adek mana, Bu?"
"Main di rumah temannya. Jam 5 nanti diantar pulang."
Nero diam-diam menangkap foto Nirvana dari belakang menggunakan kameranya.
"Ibu."
"Kenapa lagi?"
"Nero ... boleh peluk Ibu sebentar?"
Nirvana menghentikan aktivitasnya seketika. Lidahnya terlalu kelu untuk menjawab tidak dan hatinya terlalu gundah untuk menjawab iya. Akhirnya ia hanya terdiam cukup lama. Kemudian diamnya itu Nero anggap sebagai sebuah persetujuan. Nero beranjak dari kursinya dan memeluk punggung Nirvana cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Nero
Novela JuvenilNero adalah anak baik. Nero rela melakukan apa saja hanya agar Ayah bangga padanya. Nero rela bersujud hanya agar Ibu mengakui kehadirannya. Bahkan jika bisa, Nero rela menukar jiwanya untuk keinginannya yang begitu sederhana. Nero hanya ingin rumah...