Mendung dan sunyi. Masih tergambar dengan jelas di ingatannya untuk hari itu. Hari di mana Yujin kembali ke kelas Nero untuk mengambil tempat bekal yang tertinggal, namun ternyata ia masih menemukan Habib tertidur sendirian di dalamnya. Yujin menatap garis-garis keramik kotak di bawahnya, terlihat mirip seperti yang ada di sekolah mereka. Ingatan Yujin tentang percakapannya dan Habib pun kembali terngiang-ngiang.
“Ngapain sih lo ganggu tidur gue?!” gerutu Habib karena Yujin tiba-tiba datang dan menempeleng kepalanya cukup kuat.
Yujin malah duduk di bangku depannya. “Kumpulin dulu nyawa.”
“SKSD.”
“Jelek banget tempramen lo, ye.”
“Ngaca!”
“Iya ... iya! Udahan napa berantemnya sama Adek gue, Bib. Temennya cuma lo doang.”
“Nggak mau urus. Kan sekarang ada lo, bukannya udah dapet hidayah, ya?”
“Ya, 'kan, beda temen sama abang mah. Lagian Nero nggak seterbuka itu sama gue atau orang rumah. Gue liat dia cerewet banget kalo sama lo, giliran sama gue kerjaannya nangis mulu padahal kagak gue apa-apain demi dah.”
“Cari cara biar dia mau terbuka sama lo. Sering-sering aja diajak ngobrol. Dia kalau udah nyaman sama orang suka tiba-tiba oversharing kok. Buktiin sana.”
“Ya udah, sih. Tetep aja beda antara temen sama sodara. Lo begini karena diancam Ayah, 'kan? Nggak usah takut, masalah itu biar gue yang urus, yang penting lo jangan gini lagi sama Nero. Lo temenin deh itu Adek gue sampai tua.”
“Belum tentu gue umur panjang.”
Plak!
“Bacot!”
“Yujin monyet, SAKITTTTTT!!!!!”
“Ya udah, sih, maaf. Namanya juga reflek.”
“Cariin kerjaan buat gue deh mendingan!”
“Gampang. Tapi, lo temenin Nero lagi, 'kan? Janganlah kayak bocah ngambekan gitu.”
“Gue nggak jan–”
“Nero sakit, Bib. Lo belum tau, 'kan?”
“Apaan si–”
“Nero juga nggak tau kalau dia sakit. Mungkin dia sadar ada yang salah sama kesehatannya belakangan ini, tapi dia belum dikasih tau detailnya, Ayah nggak ngebolehin ngasih tau Nero karena takut nanti Nero jadiin itu alasan buat nggak nurut sama Ayah. Padahal mah nggak mungkin, 'kan? Emang sih anaknya pesimis gitu, tapi nggak mungkin kalau sampai Nero nggak nurutin Ayah. Toh hidupnya hampir tujuh belas tahun ini aja disetir Ayah dia nggak protes sama sekali.”
Habib mengerjap. Berusaha mencerna apa yang Yujin bicarakan.
“Sakit ... apa?”
----
“Yujin?”
Yujin mengangkat pandangnya pada wajah lelah Nirvana. Wanita itu baru saja kembali setelah mengurus administrasi perawatan Nero.
“Saya takut ditinggal Mama, Tante. Saya nggak punya siapa-siapa selain Mama.”
Sebelumnya, mereka sempat terlibat percakapan mengenai sikap kasar Yujin pada Nero pada hari di mana Titania kehilangan janinnya.
“Kamu pikir saya punya?”
Yujin menunduk dalam.
“Saya juga nggak punya siapa-siapa selain anak-anak saya, Yujin. Hidup saya berantakan. Dunia saya hancur.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah untuk Nero
Ficção AdolescenteNero adalah anak baik. Nero rela melakukan apa saja hanya agar Ayah bangga padanya. Nero rela bersujud hanya agar Ibu mengakui kehadirannya. Bahkan jika bisa, Nero rela menukar jiwanya untuk keinginannya yang begitu sederhana. Nero hanya ingin rumah...