9. Maaf Yang Kesekian Kalinya

2.8K 327 12
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Yuhuuu kembali lagi sama Dara, yuk yang punya aplikasi Karyakarsa dan KBM bisa ikuti Dara di sana juga ya.
Happy reading semuanya.
Enjooy

Rumah yang aku tempati selama satu tahun ini menyambutku dengan kesunyian, biasanya aku berteman akrab dengan sepi, namun kali ini sepi yang aku rasakan terasa mencekikku.

Air mataku sudah mengering, bahkan aku tidak yakin aku bisa menangis lagi. Dengan lelah aku menghela nafas berharap udara segar angin malam akan mengurai lelahku, tapi nyatanya hal itu tidak berpengaruh sama sekali.

Langkahku terasa gontai, bahkan aku merasa aku seperti melayang saat aku berjalan menuju kamar utama, tempat di mana sebelumnya ini adalah tempat favoritku, tempatku melepas lelah dari pekerjaanku yang memusingkan, dan tempatku melabuhkan rindu pada suamiku yang harus membagi hati dan raganya untuk Negeri ini.

Kembali, saat aku berdiri di pintu kamar ini segala bayang-bayang bahagia antara aku dan Mas Aras berputar di dalam benakku, bahkan tadi sore pun aku masih tertawa dan membagi senyumanku kepadanya, tapi sayangnya beberapa jam lalu terasa sudah berlalu begitu lama seakan berabad-abad yang silam.

Dara, hidup terus bergulir tidak peduli kamu menangis dan meronta atas segala hal yang terjadi pada kita. Semuanya begitu berat untuk aku rasakan. Mudah memang mengatakan jika seberat apapun masalah kita, kita hanya tinggal melangkah. Tapi tolong, jangankan untuk melangkah terus ke depan, sekedar mengangkat kaki dari dalamnya nestapa yang mengurung kita ini saja terasa begitu sulit untuk aku lakukan.

Aku terperangkap, dan terkurung hingga tidak bisa bergerak. Sampai akhirnya saat aku bisa meredam bayang indah yang harus segera aku lupakan, aku segera meraih koper besar hitam yang ada di sudut ruangan, tempat yang selama ini tidak pernah aku perhatikan sebelumnya.

Walaupun hatiku terasa berdenyut nyeri saat melihat tumpukan-tumpukan baju milik suamiku yang aku susun rapi di dalamnya, aku mengabaikan rasa nyeri ini, semakin lama aku akan terbiasa dengan perihnya. Satu persatu isi dari lemari tersebut berpindah ke dalam koper, tidak banyak memang pakaian Mas Aras, barang-barangnya lebih banyak ada di rumah dinasnya, tempat di mana aku seharusnya tinggal sebagai istrinya namun karena aku yang mau-maunya saja di sembunyikan tempat itu tidak akan pernah menjadi tempat tinggalku.

Mas Aras pernah berjanji dia akan membawaku ke sana dengan status sebagai istrinya, aku akan di perkenalkan dengan layak dan aku tidak akan dia sembunyikan lagi dari dunia, tapi nyatanya sebelum kami berhasil mendapatkan restu seperti yang dia janjikan, aku sudah lebih dahulu menyerah.

Untuk beberapa saat aku terdiam, terlalu terluka mengingat semua hal tersebut sebelum aku kembali menepisnya. Bukan hanya pakaian Mas Aras, segala perlengkapan pribadinya yang ada di kamar mandi pun aku singkirkan masuk ke dalam koper.

Koper yang sebelumnya ringan tanpa isi pun kini terasa berat saat aku mendorongnya keluar kamar, hari sudah malam, aku pun tidak yakin jika Mas Aras akan kembali ke tempatku sekarang ini mengingat dia pasti sibuk dengan Ibunya, aku berniat memesan ojek online untuk mengirim barang-barang ini, namun saat aku berhasil mendorong koper ini sampai di luar rumah, sebuah mobil yang bahkan suaranya sangat aku hafal siapa pemiliknya berhenti di depan rumah.

Jika biasanya aku selalu menyambut kehadiran pria di hadapanku dengan penuh senyuman, maka kali ini hanya sebuah tatapan datar yang dapat aku berikan, aku gagal berpura-pura baik-baik saja. Sekuat tenaga aku mencoba untuk tersenyum tapi aku tetap gagal. Mengabaikan hatiku yang berkecamuk tidak karuan, aku mendekat padanya dan menyalaminya sebagai bentuk baktiku sebagai seorang istri walau aku tidak yakin statusku ini akan bertahan lebih lama.

Tatapan penuh tanya terlihat di wajah Mas Aras melihat koper besar tersebut sebelum akhirnya dia berbicara. "Dara, apa-apaan ini?"

Aku berbalik, enggan untuk melihatnya lebih lama. "Itu barang-barangmu, Mas. Lebih baik kita berbicara di dalam daripada kita nanti menjadi bahan tontonan warga komplek. Kita sudah terlalu banyak merepotkan mereka, jadi aku berharap kita tidak membuat keributan yang akan mengusik ketenangan mereka."

Apa yang aku ucapkan bukan sekedar omong kosong belaka, selama ini warga komplek sudah cukup baik menerimaku dan Mas Aras yang hanya berstatus sebagai pasangan nikah siri, mereka maklum dengan alasan yang kami kemukakan mengenai lamanya birokrasi untuk mengurus pernikahan Abdinegara secara resmi yang membuat kami urung melegalkan pernikahan, dengan surat keterangan dan juga video ijab Qabul kami dengan aku yang di wali oleh salah satu Kakak sepupuku, Bapak RT dan warga tidak mempermasalahkan. Itu sebabnya sebisa mungkin aku tidak ingin membuat masalah.

Dari derap langkah berat Mas Aras aku tahu jika dia mengikutiku, selama ini aku selalu melihat Mas Aras sebagai seorang yang rapi, tapi kali ini dia begitu semrawut dan berantakan, rambutnya yang sudah mulai panjang kini terurai karena berulang kali di sugar.

"Mau aku buatkan teh, Mas?"

Tanyaku saat akhirnya kami duduk di ruang tamu, tidak ada lagi kemesraan dan genggaman tangan hangat di antara kami seperti sebelumnya, yang ada hanya kecanggungan seakan kami berdua adalah tuan rumah dan juga tamu yang lama tidak bertandang.

Mas Aras mendongak menatapku tanpa menjawab apa yang aku tanyakan, di mataku dia masih sosok yang sama seperti 13 tahun yang lalu, sosok tampan yang menatapku dengan pandangan hangat, cinta itu begitu besar di matanya dan aku sangat tahu akan hal itu, tapi sekarang cinta yang kami miliki seakan tidak berguna. Restu, sesuatu yang kami perjuangkan namun gagal kami dapatkan membuat cinta yang begitu kami agungkan lebur seperti debu. Canggung dengan kesunyian aneh ini aku memutuskan untuk bangkit, aku perlu waktu beberapa detik untuk mengumpulkan hatiku yang berserakan.

"Aku buatin dulu, ya. Aku tahu kalau hari ini berat banget buat kamu, Mas."

Aku hendak beranjak tapi Mas Aras menahanku, setengah memaksa dia memintaku untuk duduk kembali, genggaman tangannya padaku menguat, aku ingin menepisnya namun saat Mas Aras berlutut di hadapanku, seluruh tubuhku serasa membeku. Kepalanya di sandarkan pada lututku dan hangatnya air yang kini membasahi di sana aku tahu jika dia tengah menangis.

Terlalu banyak luka di antara kami hingga tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Selama ini Mas Aras selalu memberiku kata-kata penyemangat pantang menyerah atas apa yang kami hadapi, tapi lihatlah sekarang, air matanya yang menetes tanpa suara sudah cukup menunjukkan ketidakberdayaan yang sekarang dia rasakan.

"Maafin Mas, Dara. Maafin Mas sudah mengecewakanmu kesekian kalinya."

Maaf? Kata itu dengan mudahnya terucap tanpa Mas Aras tahu betapa sulitnya hati ini untuk menerimanya. Tidak, aku bukan orang baik. Aku adalah manusia egois yang hanya ingin satu cinta untuk diriku sendiri.

"Seharusnya Mas bilang sejak awal kalau Mama ingin menemuiku karena beliau hendak memberikan madu kepadaku, kamu buat aku berharap terlalu tinggi nyaris nggak sadar diri, Mas."

Pengantin Simpanan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang