18. Kartu Undangan

3.2K 357 20
                                    

Holaaaa, Kembali sama Dara, maafin mamak ya, bab sebelumnya Mamak salah kasih judul 😅😅😅 maklumin ngomong aja Mamak sering kesrimpet

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Holaaaa, Kembali sama Dara, maafin mamak ya, bab sebelumnya Mamak salah kasih judul 😅😅😅 maklumin ngomong aja Mamak sering kesrimpet.
Semoga bab ini menghibur kalian ya.
Happy reading semuanya

"Nih hape barunya, udah aku daftarin sekalian biar bisa langsung kamu pakai."

Aku tengah mengunyah makan malamku, pesmol ikan mas yang di masak oleh Tante Nurul saat Bang Benny lengkap dengan seragamnya masuk ke ruang perawatanku, di tangannya ada sebuah ponsel dengan merk yang sama seperti milikku yang hilang saat kecelakaan.

Hingga aku menjalani perawatan selama hampir 1,5 bulan di rumah sakit ini aku memang lebih memilih untuk tidak menggunakan ponsel, aku malah bersyukur ponselku hilang hingga aku lebih fokus pada terapi-terapi dan penyembuhanku. Bersama dengan Tante Nurul dan juga Retno, aku menonton acara TV jika bosan dengan rutinitas hingga aku yang sempat melupakan euforia menunggu program acara TV kembali jatuh cinta pada acara kacangan yang seringkali mengocok perut karena hal yang mustahil terjadi.

Tapi kini aku hampir sepenuhnya sembuh, mungkin bekas di jahitan di kepalaku tidak akan pernah menghilang, baret di tangan dan kakiku pun tidak akan pernah memudar, calon bayi yang memilih pergi pun tidak akan kembali, namun kini aku hidup dengan semangat yang baru. Duniaku yang sebelumnya gelap gulita karena bagiku cinta adalah seorang Aras kini terbuka lebar. Bahagiaku adalah bahagia diriku sendiri, sebelum mencintai orang lain aku ingin mencintai diriku terlebih dahulu.

Lagi pula sepertinya Mas Aras pun tidak kehilangan diriku sama sekali. Satu waktu aku mendengar dari Retno jika Mas Aras mencariku ke kantor, hanya sekali saat itu, dan saat semua orang sepakat mengatakan tidak tahu kemana perginya aku, Mas Aras tidak pernah kembali lagi.

Ya, aku tidak berharap apapun tentang suamiku, tidak perlu bertanya lebih jauh sudah pasti dia tengah menyiapkan acara pernikahannya, dan benar saja dugaanku tersebut, tepat sehari sebelum aku meminta Bang Benny untuk membelikanku ponsel, Om Hasyim Malik, Suami Tante Nurul dan juga Papinya Bang Benny dan Retno tidak sengaja menjatuhkan kartu undangan pernikahan Mas Aras dengan Hana, walaupun Tante Nurul berusaha untuk menyembunyikan hal tersebut, tak pelak aku sudah terlanjur melihatnya.

Jangan tanya bagaimana perasaanku, entahlah, cinta itu masih ada namun entah mengapa hatiku sudah kebal akan rasa sakitnya.

Kuterima ponsel yang di ulurkan oleh Bang Benny sembari tersenyum kecil, "terimakasih, Bang. Tahu saja kalau aku nggak mau ngurus nomor lama, nomor baru, hidup baru." Selorohku sembari tertawa, lebih tepatnya menertawakan hidupku yang mengenaskan ini. Langkah pertama berdamai dengan kehidupan adalah menerima betapa mengenaskannya hidup kita, bukan?

Bang Benny turut duduk di atas ranjang, tangannya terulur menyentuh sisi kepalaku yang kini berhias jahitan, oleh-oleh dan souvenir dari kerasnya kehidupan dalam menempaku. "Kamu pasti sedih Ra rambut panjangmu di potong sebegini pendeknya, Retno waktu kecil bakal nangis guling-guling setiap kali Mami potong rambutnya."

Tidak nyaman dengan sentuhan dari Abang Retno aku menghindar dengan halus, "bohong kalau aku nggak sedih, Bang, tapi rambut bisa tumbuh kembali. Hanya soal waktu untuk membuat semuanya kembali seperti semula. Aku bersyukur, setidaknya aku di berikan kesempatan untuk memperbaiki diri menjadi lebih baik, dan menebus kesalahan-kesalahan yang terjadi sebelumnya."

Ya, perlahan segalanya akan kembali berjalan seperti semula, segala hal berat akan terlewati yang perlu aku lakukan hanyalah kembali melangkah perlahan menuju masa depan.

"Lalu, bagaimana dengan Aras? Abang nggak bisa berpura-pura kayak Mami dan Retno, Abang tahu kalau kamu juga udah denger masalah undangan nikahan Aras, kan?" Aku menatap Bang Benny tanpa ekspresi, tanganku yang sedari tadi sibuk mengutak-atik ponsel kini berhenti sepenuhnya menyimak apa yang hendak di katakan oleh Bang Benny selanjutnya, "lantas apa yang mau kamu lakukan pada suamimu, Ra? Kamu mau membiarkannya menikah?"

Aku merenung, pikiranku larut pada banyak hal yang sudah aku lewati bersama dengan Aras, cinta itu masih ada, namun sayangnya aku merasa cinta saja sudah tidak bisa membuatku bertahan. Aku sudah kehilangan bayi yang bahkan tidak aku sadari kehadirannya, aaah, bukan hanya aku, tapi Mas Aras pun tidak tahu tentang kehadirannya karena sejak awal pun dia memintaku untuk memakai pengaman, sayangnya Tuhan berkehendak lain. Semudah itu Dia memberi, semudah itu pula Dia mengambilnya kembali, mungkin semua hal yang terjadi kepadaku adalah isyarat jika aku memang belum bisa di percaya.

Lama aku tenggelam dalam pemikiranku sendiri sebelum akhirnya aku menjawab, "tidak ada yang mau aku lakukan, yang mau aku lakukan cuma datang ke pernikahannya dan memberinya ucapan selamat. Bukan aku yang harus melepaskan, tapi Mas Aras yang harus melepasku agar semuanya mudah, aku masih berbaik hati untuk tidak menghancurkan hidupnya karena walau bagaimana pun dia seorang yang sangat berarti untuk hidupku sebelumnya."

Bodoh, entahlah, aku menunggu Bang Benny mengumpatku dengan kalimat tersebut tapi ternyata tidak, pria matang berusia awal 30an tersebut hanya manggut-manggut, khas sekali Abangnya si Retno yang tidak berbicara jika bukan hal yang penting, sangat jauh berbeda dengan adiknya yang begajulan. Panjang umur, baru saja aku memikirkan Retno, sosoknya yang heboh masih mengenakan pakaian kerjanya kini masuk ke dalam ruang rawatku, bahkan tanpa ada belas kasihan Retno menarik Bang Benny agar menyingkir sebelum akhirnya dia yang berganti duduk di atas ranjangku. Apalagi yang bisa Bang Benny lakukan selain pasrah dengan kelakuan barbar adiknya, sungguh aku yang tidak punya Kakak dan adik sedikit syok dengan interaksi dua bersaudara ini, love hate relationship yang sesungguhnya, saling melemparkan cibiran tapi diam-diam menjadi garda terdepan pelindung satu sama lain.

Retno yang sepertinya sudah mendengar obrolanku dengan Bang Benny seketika ikut nimbrung, "kamu yakin mau datang ke pernikahan suamimu?"

Aku mengangguk sambil tersenyum agar dua kakak beradik ini tidak khawatir kepadaku, "tentu saja, Retno. Paling tidak aku harus memberikan selamat kepadanya untuk pernikahan yang akhirnya membuatnya rukun dengan Ibunya."

Retno menggeleng keras, "gila kamu, cari penyakit."

"Bukan nyari penyakit, justru ini langkah besar untukku bisa bangkit dari ketergantungan akan dirinya. Aku berusaha berdamai dengan sakit hatiku, Retno. Dengan melihatnya mengambil jalan yang berbeda denganku itu adalah caraku untuk memantapkan langkah mengambil jalan yang berbeda. Aku mencintainya, namun itu tidak berarti aku mau di sembunyikan untuk selamanya. Sudah cukup aku kehilangan calon bayiku, aku tidak ingin kehilangan diriku juga....."

Kalimatku tidak pernah selesai karena detik selanjutnya Retno menghambur memelukku dengan erat, dan saat aku ingin bertanya kenapa reaksinya berlebihan aku merasa sesuatu yang hangat menetes di bahuku.

"Kenapa sih di dunia ada manusia senaif kamu, Ra. Nyokapnya Aras bakal nyesel tujuh turunan delapan tanjakan lepehin mantu idaman kayak kamu demi si dokter bleguk. Tenang saja, aku sama Bang Benny bakal jadi bodyguardmu mulai sekarang."

"............."

"Besok, aku pastikan semua spotlight tertuju kepadamu, Dara. Kita bikin manusia egois dan manusia tidak tahu malu itu gagu nggak bisa berkata-kata."

Pengantin Simpanan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang