Pedang Pora, prosesi indah dari sebuah pernikahan Abdinegara, para Letting maupun junior berbaris dengan pedang mereka menyambut seorang yang akhirnya berjalan menuju gerbang kehidupan yang baru.
Sosok-sosok gagah dalam seragam kebanggaan yang mereka kenakan membuat terpana para tamu yang ada, tidak heran ada para wanita berlomba-lomba untuk mendapatkan pasangan Abdinegara yang berseragam melihat betapa megahnya pesta yang kini terselenggara.
Para tamu berdecak kagum melihat detik demi detik prosesi yang berjalan, termasuk betapa rupawannya sang pengantin pria dan perempuan yang bersanding begitu serasi saat sampai di pelaminan, nyaris semua orang membicarakan betapa cocoknya mereka berdua, satu Perwira TNI AD, satunya seorang dokter yang sedang dalam pendidikan spesialis bedah jantungnya.
Di antara tamu yang tengah bertepuk tangan, akulah salah satu di antaranya, memandang indah prosesi megah tersebut sebagai seorang penonton, bukan pelakon. Senyum miris nyaris selalu tersungging di bibirku semenjak kedua pengantin memulai prosesi pedang poranya. Entah kekuatan dari mana hingga aku mampu menyaksikan semua hal ini tanpa ada tetesan air mata. Aku seperti melihat mimpi yang pernah aku rajut bersama Mas Aras terwujud menjadi kenyataan tapi sayangnya mimpi itu terwujud tanpa ada aku di dalamnya.
Berbeda denganku yang masih sanggup menyunggingkan senyuman, Aras Respati, pengantin pria yang tidak lain adalah suamiku mengunci bibirnya rapat-rapat, tidak ada senyuman di wajah tampannya hanya raut wajah datar bahkan nyaris bosan yang terlihat di sana. Beberapa kali aku bahkan menangkap si pengantin perempuan mencoleknya agar raut wajah masam tersebut berubah. Jarak di antara kami terlalu jauh hingga Mas Aras tidak sadar jika ada aku di antara para tamunya.
"Wajah suamimu benar-benar tertekan, Dara." Bisikan dari Bang Benny yang terdengar tepat di telingaku membuatku hanya tersenyum masam, "beda jauh dengan potret prewedding mereka, baru kali ini aku melihat pengantin bosan di pelaminannya sendiri."
Walaupun aku cukup tinggi apalagi di tunjang dengan heelsku, namun Kakaknya Retno ini dengan tinggi yang keterlaluan membuatku harus berjingkat saat membalas bisikannya. "Nasib seorang pengecut, Bang. Menolak tidak mampu, mempertahankan tidak bisa. Seorang yang menjadi Komandan di angkatannya namun payah dalam kehidupan nyata."
Tepat saat selesai berbisik aku menatap ke arah pelaminan, siapa yang menyangka jika saat itu akhirnya pandangan mata kami bertemu, jangan tanya bagaimana terkejutnya Mas Aras saat dia melihatku berdiri bersisian dengan Bang Benny dalam pesta pernikahannya. Sosoknya yang gagah dalam seragam PDU1nya mendadak bangkit dari duduknya membuat semua orang terkejut. Termasuk istri yang sedari tadi dia abaikan, dan juga Ibu mertuaku yang duduk di kursi rodanya, tatapan sinis sama sekali tidak bisa aku tahan saat Ibu mertuaku yang separuh tubuhnya kaku karena stroke tersebut berjingkat seakan hendak melabrakku.
"Dara......"
Aku bisa melihat bibir suamiku bergerak menyebut namaku dari kejauhan, alih-alih mengalihkan pandanganku darinya, aku justru mengangkat tanganku melambaikan tangan ke arahnya isyarat yang jelas jika aku juga melihatnya, membuat Hana dan juga Ibu mertuaku semakin meradang. Sungguh aku sangat menikmati bagaimana wajah murka dua orang yang menganggungkan harta mereka di atas segalanya hingga merendahkan orang lain. Dan yang paling menarik perhatianku adalah wajah Hana dan juga adik iparku, Arini, yang melihatku seolah-olah tengah menatap sebujur mayat yang tidak seharusnya ada di hadapan mereka.
Tentu saja sikap tidak biasa pengantin pria yang justru mengalihkan pandangannya dari pengantin wanitanya tersebut mengundang tanya bagi tamu yang memperhatikan. Awalnya hanya satu dua orang yang ngeh akan sikap Mas Aras dan Hana, tapi lama kelamaan banyak orang memperhatikan sembari berbisik-bisik tidak jelas.
Di mulai dari Mas Aras hingga mereka mengikuti pandangan Mas Aras kepadaku, untuk kedua kalinya aku menjadi pusat perhatian di tengah pesta, mereka seakan-akan bertanya siapa diriku ini hingga sukses merebut perhatian dari pengantin pria yang sebelumnya hanya menampilkan raut wajah datar dan bosan.
"Ehhh, itu siapa sih yang di perhatiin sama si Aras! Kurang ajar banget tuh laki, lagi ada di pelaminan sama Bininya malah jelalatan ke cewek lain."
"Dari tadi tuh muka si tekuk nggak jelas begitu lihat yang bening langsung sumringah."
"Bener-bener tuh laki di mana-mana sama saja, kalau lihat yang seger di mata langsung lupa sama yang di sebelah."
"Tadi mantuku yang nggak kedip lihat tuh cewek, eeeh sekarang malah pengantin cowoknya yang kena pikat. Bener-bener deh, siapa sih itu?!"
"Emang cantikan Mbak-mbak kebaya peach sih di bandingkan Pengantinnya, kalau gue cowok gue juga lebih naksir sama Mbak-mbak kebaya peach itu di bandingkan sama si Hana."
"Hana mah menang picik doang, coba kalau Bokapnya bukan anggota Dewan, gue yakin nggak akan ada yang mau sama cewek se fake dia."
"Dengar-dengar mereka berdua di jodohin, lihat aja, nggak mungkin muka si laki sebadmood itu kalau memang mereka menikah pakai cinta."
Banyak bisik-bisik terdengar di telingaku, ada yang mencibirku, ada juga yang mencibir si pengantin, entah aku harus senang atau bagaimana saat mendengar semua hal tersebut. Aku hanya berdiri di tempatku dan menikmati bagaimana Mas Aras yang hendak melepaskan diri dari Hana dan Ibunya saat melihatku bersama dengan Bang Benny. Sama sepertiku yang menikmati pertunjukan di atas panggung pelaminan, Bang Benny seakan menambah panas keadaan dengan berpura-pura merapikan rambutku yang hanya di atur Retno dengan beberapa detil kecil, satu perhatian sederhana namun sarat akan makna yang sudah pasti akan membuat orang yang melihatnya bertambah panas.
"Biar makin kebakaran jenggot tuh si Aras." Gumam Bang Benny sembari menahan tawa, begitu juga denganku, "seenaknya saja dia ninggalin kamu setelah semua yang udah kamu korbanin buat dia."
Benar saja, wajah kalut Mas Aras semakin menjadi, bahkan di saat sesi foto bersama dengan tamu undangan yang satu persatu di undang naik ke atas pelaminan wajahnya yang seharusnya berbinar bahagia kini tampak seperti di paksa menelan bara api hidup-hidup. Percayalah, saat ini rasanya hatiku yang sempat nyeri seperti teriris pisau seakan mendapatkan penghiburan.
Mas Aras ini baru permulaan, kamu belum mendapatkan hadiah utama dariku, karena saat kamu membuka hadiah dariku sudah pasti penyesalan akan menghantuimu seumur hidup.
Aku terpaku di tempatku, mengikuti langkah Bang Benny dan juga keluarga Malik yang turut antri untuk memberikan selamat, sungguh aku tidak sabar untuk sampai ke hadapan mereka dan memberikan hadiah khusus yang tersimpan rapi di dalam clutchku pada suamiku yang kini tengah menjadi raja sehari, namun di tengah keseruanku mengobrol bersama dengan Bang Benny tentang hal-hal remeh, tiba-tiba saja ada orang yang meraih lenganku dan menyapaku dengan hebohnya membuatku untuk kesekian kalinya pusat perhatian.
"Woylah Dara, bener kan Lo ini Dara? Lo lupa sama gue? Busyeeet dah, apa kabar mental Lo, hebat bener Lo sanggup hadir di nikahan mantan yang udah pacaran 10 tahun tanpa ada drama nangis segala."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Simpanan
Romance"Aku lelah menjadi istri yang harus di simpan sementara di sini aku adalah yang pertama. Aku yang selama ini merelakanmu bersama dia sebagai bentuk wujud dukunganku padamu yang hendak berbakti pada orangtuamu tapi nyatanya kini aku yang harus menela...