7. Doa Membawa luka II

2.7K 282 17
                                    

Waktu demi waktu berlalu, untuk seorang yang usianya sudah lanjut seperti Ibu Mertuaku aku sangat ingat dan paham jika kondisinya tidak akan membaik secepat mereka yang masih muda.

Tekanan darah yang terlalu tinggi, kolesterol, diabetes kering, asam urat dan segala komplikasi atas gaya hidup yang tidak sehat membuat Ibu Mertuaku terkena gejala stroke, separuh badannya sebelah kanan tidak bisa di gerakkan dan itu membuat semua orang sangat bersedih termasuk juga aku karenanya.

Bagaimana tidak aku bersedih, walau bagaimanapun beliau adalah orangtua dari suamiku, seorang yang sangat berarti untuk Mas Aras. Kesehatan Ibunya yang memburuk membuat Mas Aras begitu tertekan, tugasnya di Batalyon sudah berat di tambah dengan Ibunya yang seakan depresi kesulitan menerima kondisi tubuhnya sekarang. Setiap harinya setiap kali Mas Aras datang ke rumah usai menemui Ibunya di rumah sakit hanya kemurungan yang aku dapatkan.

Rumah yang sebelumnya penuh dengan tawa kami berdua dan bahagia akan hal-hal sederhana kini sunyi senyap, tidak banyak yang Mas Aras katakan, tapi saat Mas Aras tidur di pangkuanku dengan air mata yang menetes tanpa sebuah penjelasan aku tahu jika di lema besar sedang melandanya.

Hanya bersabar yang bisa aku lakukan, kalimat penguatan selalu aku berikan pada Mas Aras, dan setiap kali Mas Aras akan berangkat ke rumah sakit, berbagai masakan kesukaan kedua mertuaku selalu aku bawakan untuk mereka meski aku tahu apa yang aku lakukan ini hanyalah kesia-siaan belaka. Aku melakukan ini pun tidak berharap apapun, yang aku lakukan hanyalah bentuk kepedulianku pada mertuaku karena aku tahu kehadiranku bukanlah hal yang mereka inginkan. Hanya sebentuk makanan yang bisa aku berikan.

Sampai akhirnya satu waktu saat Mas Aras pulang dari dinasnya dia mengatakan padaku satu hal yang membuatku terkejut. Satu hal yang membuatku merasa mungkin ini adalah jawaban dari Tuhan atas doa yang aku panjatkan selama bertahun-tahun.

"Mama mau ketemu sama kamu, Dek."

Kalian tahu, saat itu aku sangat bahagia mendengar apa yang di katakan Mas Aras, bertahun-tahun kedatanganku selalu di tolak oleh Ibunya, segala perhatian yang aku berikan selalu di pandang buruk tapi sekarang Ibu mertuaku ingin menemuiku. Demi Tuhan, saat itu rasanya aku menangis karena haru, terlalu bahagia hingga aku tidak menyadari raut gusar suamiku. Aku berprasangka baik dengan berpikiran jika mungkin saja sakit yang di rasakan oleh beliau membuat beliau akhirnya mau menerimaku.

"Ya sudah Adek siap-siap, Mas."

Kecupan aku berikan pada pipi Mas Aras, tapi saat itu Mas Aras justru memelukku dengan erat, kepalanya di sandarkan pada bahuku seakan ada beban berat yang sedang di pikulnya.

"Mas sayang banget sama kamu, Dek." Aku seringkali mendengar Mas Aras mengucapkan kalimat serupa hingga aku tidak terlalu memikirkannya dan justru membalasnya dengan candaan.

"Iya, Adek tahu, kok. Dunia pun tahu gimana sayangnya Mas ke Adek. Tapi udah dulu bilang sayangnya di lanjut nanti malam. Masih sore lagi pula Mama pasti nungguin."

Senyuman terpaksa terlihat di wajah Mas Aras, seakan dia tidak rela aku berpamitan pergi sekedar untuk mandi dan bersiap menemui orangtuanya seperti yang dia katakan.

Selama perjalanan aku yang begitu naif pun tidak hentinya tersenyum dengan debar di dada yang penuh kebahagiaan, ucapan suamiku yang mengatakan jika dia mencintaiku sembari mencium tanganku yang di genggamnya pun menambah bunga-bunga di dalam hatiku, sungguh betapa naifnya diriku ini saat itu, memandang dunia dengan begitu baiknya hingga tidak pernah belajar jika aku selalu di tempatkan dalam posisi seorang yang harus di salahkan.

Tepat saat aku dan Mas Aras masuk ke dalam ruangan Ibu Mertuaku, sosok-sosok lain yang ada di ruangan ini dan memandangku seakan aku adalah tersangka kasus besar membuat senyuman bahagiaku luruh karena aku tahu mertuaku ingin aku menemuinya bukan untuk sebuah kabar bahagia, melainkan sebuah kabar menyakitkan yang akan membuat duniaku kembali kiamat untuk kedua kalinya.

Kalimat yang di ucapkan oleh Ibu mertuaku memang tidak jelas, namun aku bisa menangkapnya dengan sangat baik.

"Dara, jika kamu mau Mama menganggapmu sebagai menantu maka kamu harus menunjukkan baktimu dengan merestui pernikahan Aras dengan Hana."

".........."

"Sudah cukup selama ini kamu membuat seorang Putra durhaka kepada Ibunya, maka sekarang waktunya kamu menebus kesalahanmu itu, Dara. Biarkan suamimu memenuhi permintaan Ibu Mertuamu ini karena mungkin saja ini adalah permintaan Mama yang terakhir kalinya pada suamimu."

Kalian tahu, duniaku pernah gelap saat aku kehilangan orangtuaku dalam sekejap dan kali ini satu-satunya cinta yang aku miliki untuk menjadi alasanku tetap hidup di dunia ini pun juga di pinta oleh seorang yang tidak mungkin bisa aku tolak.

Aku merasa aku benar-benar lelah dengan peran yang aku jalankan di dunia ini. Madu dari mertuaku, entahlah, aku tidak mampu untuk membayangkan bagaimana perasaanku nantinya kalau sekarang saja hatiku sudah remuk redam tidak bersisa.

Pengantin Simpanan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang