"Sumpah dah, kalau aku cowok pasti aku bakal naksir sama kamu, Ra. Cantik banget sih."
Tidak hanya sekedar mengeluarkan kalimat manisnya, Retno yang baru selesai meriasku pun mengusel-usel pipiku dengan gemas. Sungguh sekarang ini aku di depan Retno benar-benar seperti adik kecil yang bisa di dandaninya sesuka hati.
Nasib Retno menjadi anak bungsu, saat dia bertemu dan dekat denganku seketika dia langsung menjadikanku mainan untuknya, tapi di balik kehebohan Retno ini tak pelak aku sangat bersyukur karena hari-hariku yang sebelumnya begitu sepi kini penuh keceriaan dengan kehadirannya. Retno bahkan menginap di rumahku semenjak aku kembali ke rumah, keseruan yang di bawa Retno dan Yusuf membuatku melupakan kenyataan jika di luar sana suamiku hendak melangsungkan pernikahannya.
Pada akhirnya hingga detik ini Mas Aras tidak datang kepadaku, dia tidak mencariku, dan melupakanku begitu saja seakan aku tidak pernah ada dalam hidupnya. Bohong jika aku tidak terluka, setiap detik dan menit yang terlewat sebelum waktu ini tiba adalah kesempatan yang aku berikan kepada Mas Aras untuk hubungan kami yang sudah berjalan begitu jauh.
Kesempatan yang aku berikan hilang, hidupku terus berlanjut dan keputusanku sudah semakin bulat untuk memutus segalanya.
"Kenapa nggak jadi MUA aja sih, Ret. Tangan kamu itu hebat banget loh bisa sulap itik buruk rupa jadi manusia secantik ini." Apa yang aku katakan bukan omong kosong belaka, tangan mahir Retno benar-benar menyulapku menjadi luar biasa menawan hingga aku manglingi melihat diriku sendiri, di padu dengan kebaya warna baby peach kado dari Bang Benny untukku, aku benar-benar ingin menangis melihat bagaimana dua orang yang sebelumnya tidak pernah aku pedulikan tersebut kini menyulapku menjadi seorang Dara yang bersinar. Ternyata jika berada di tangan yang tepat rambutku yang kini pendek pun bisa terlihat begitu anggun.
"Wah-wah, bisa-bisanya Bang Benny beliin kebaya pas banget sama kamu. Tumben seleranya oke banget. Perasaan setiap beliin aku sesuatu pasti itu barang noraknya nggak ketulungan. Jadi iri aku sama kamu, Ra. Abangku mah gitu selalu pilih kasih, sama gebetan aja manisnya nggak ketulungan."
Jika tadi Retno yang mencubit pipiku maka sekarang aku yang menoel puncak hidungnya dengan gemas. "Sembarangan kalau ngomong, nggak ada gebet menggebet. Abangmu cuma kasihan sama aku, Retno. Jangan ngomong kayak tadi, aku nggak mau di bilang baperan atau nggak tahu terima kasih untuk sikap baiknya."
Retno mencibir, tampak tidak setuju dengan apa yang aku katakan, bibirnya mengerucut khas sekali dirinya yang sedang menjulid. "Yeee, di kasih tahu juga. Dari kacamata seorang adik yang pengertian, aku lihat Abangku itu kayak ada getaran-getaran tertarik gitu sama kamu, Ra. Sayangnya sekarang status kamu yang masih istri orang yang bikin dia nginjak rem kuat-kuat biar nggak bablas, tunggu deh kalau ntar kamu udah sendiri, aku yakin dia bakal gas pol rem blong nggak pakai berhenti buat ngejar kamu."
Mendengar semua yang di katakan oleh Retno aku sama sekali tidak ambil pusing, entahlah, ada beban tersendiri mendengar sikap baik Bang Benny memiliki maksud lain, tapi aku pun tidak ingin kegeeran terlebih dahulu karena itu semua hanya spekulasi ngawur seorang Retno. Enggan membahas hal ini lebih jauh, aku memilih untuk menarik tangan Retno supaya dia lebih bergegas.
"Dahlah, jangan ngomongin Bang Benny terus. Kasihan orangnya mungkin sekarang keselek gegara kamu ghibahin. Mending sekarang kita berangkat, kasihan Om sama Tante kalau nungguin kita lebih lama."
Kali ini tanpa membantah Retno mengangguk setuju, dengan Honda Brio milik Retno, mobil sejuta umat para Bankir Tingkat Cabang Pembantu, kami berangkat menuju Hotel tempat Resepsi Mas Aras dan dokter Hana di gelar. Dua keluarga anggota dewan tengah menggelar pesta pernikahan untuk anak-anak mereka sudah pasti perhelatan ini begitu megah, melihat bagaimana mewahnya hotel yang di pilih oleh Keluarga Respati untuk Resepsi Putra pertama mereka membuatku tersenyum kecut saat mobil masuk ke dalam area parkir hotel.
Banyak mobil plat merah yang turut antri bersama mobil yang kami tumpangi, sungguh aku benar-benar merasa kecil berada di antara orang-orang besar dan punya kuasa ini, pantas saja Mamanya Mas Aras melihatku seperti aku ini adalah debu di atas porselennya yang mengkilap. Hidupku dan Mas Aras terlalu jauh berbeda, cinta yang membuat kami akhirnya bersama, tapi apapun kata-kata yang aku katakan hanya akan di sebut playing victim oleh semua orang. Nasib orang nggak punya, segala kesalahan hanya di timpakan pada kita.
"Jangan bengong, ayo udah di tungguin Mami sama Papi."
Keraguan dan rasa tidak pantas yang sempat aku rasakan seketika musnah, sembari menggenggam erat clucth-ku, aku memantapkan langkah mengikuti Retno, aku tidak datang untuk mengacau perhelatan mewah ini, namun aku datang untuk memutus segala hal yang sebelumnya mengikatku dan pengantin pria yang kini tengah bersanding dengan wanita lain.
Selama ini aku tahu jika Papinya Retno adalah orang penting, namun aku sama sekali tidak menyangka jika Om Hasyim Malik seberpengaruh ini, dari kejauhan aku melihat banyak orang melewati beliau yang menundukkan kepalanya dengan hormat saat berjabat tangan.
"Dih para penjilat itu bener-bener dah, di depan Papi saja baik-baik, kalau di belakang nomor satu jelek-jelekin."
Aku menoleh ke arah Retno, wanita cantik ini mencibir tidak suka melihat banyaknya orang-orang yang mencari perhatian pada Papinya, jujur aku penasaran sebenarnya Papinya Retno ini siapa, sih? Dalam arti kata beliau ini seorang yang menjabat dalam bidang apa sampai-sampai orang sehormat ini? Yang membuatku kagum adalah Om Hasyim dan juga Tante Nurul begitu apik dalam mendidik anaknya, stigma tentang orang kaya yang memandang manusia berdasarkan harta terpatahkan oleh dua orang tua yang langsung menyambutku dengan hangat saat aku datang.
"Aduh, cantiknya anak-anak Mami."
Sungguh aku tidak pernah menyangka jika aku bisa merasakan kembali hangatnya pelukan seorang Ibu dalam sosok yang tidak pernah aku sangka.
"Si Benny kok tumben banget oke pilihannya, biasanya kalau beliin Mami sama si Adek pilihannya selalu nyeleneh."
Hal yang sama di ungkapkan oleh dua orang yang berbeda yang hanya bisa aku tanggapi senyuman ala kadarnya karena bingung bagaimana harus menjawab. "Makasih loh Mami udah di bilang cantik."
"Duuuuh, Dara, kamu bener-bener pengen Mami jadiin Mantu deh kalau kayak gini. Lepas dari si Kutu Kupret mau ya sama Benny."
Damn!!!! Bisa nggak Tante Nurul minta sesuatu yang lainnya selain hal ini? Tidak cukup hanya sampai di situ saat datang orang lainnya yang menanyakan siapa aku yang nyempil di antara keluarga Hasyim Malik, Papi dan Maminya Retno dengan santainya justru berucap.
"Oooh ini calon mantuku, gimana cantik, kan? Si Benny emang pinter milih calon istri, nggak sia-sia dia jomblo sampai karatan, soalnya dia nyarinya yang jelmaan bidadari sih! Gimana, cocok kan sama si Benny?"
Astaga, situasi macam apa ini yang sekarang tengah menjebakku, datang ke acara pernikahan suamiku dengan titel calon mantu keluarga lainnya. Duuuh, lieuuurrr.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Simpanan
Romantizm"Aku lelah menjadi istri yang harus di simpan sementara di sini aku adalah yang pertama. Aku yang selama ini merelakanmu bersama dia sebagai bentuk wujud dukunganku padamu yang hendak berbakti pada orangtuamu tapi nyatanya kini aku yang harus menela...