12. Kedatangan Hana

2.8K 313 15
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hollaaaa, Dara kembali lagi.
Yang geregetan yuk cungkan tangan ✋✋✋
Happy reading semuanya
Enjoy

"Lo sakit, Ra? Muka Lo pucat banget!"

Jam istirahat membuatku memejamkan mata mengistirahatkan pikiran dan tubuhku yang lelah, setelah semua hal yang terjadi dan menyiksa tubuh serta mentalku dengan ugal-ugalan di tambah lagi beberapa hari ini adalah tanggal muda di mana banyak sekali para pensiunan dan para pegawai senior datang mencairkan dana gaki dan tunjangan, aku benar-benar tidak memiliki waktu untuk beristirahat.

Aku mendongak, menatap ke arah CSku yang menatapku dengan khawatir, ternyata bukan hanya Retno saja yang mengerubungiku, Mbak Marini sang SPV, Yusuf si Mantri, dan beberapa orang lainnya bahkan Karja si OB pun turut mengerumuniku dengan heran, di tangan Karja ada segelas teh hangat yang langsung di sambar Retno dan di berikannya kepadaku.

"Minum dulu, Ra." Enggan untuk membantah dan malas untuk membuka bibirku aku memilih untuk meraih teh tersebut dan meminumnya beberapa teguk. Ajaib, hangatnya teh yang melewati tenggorokan dan perutku membawa rasa nyaman yang membuatku merasa sedikit segar. Pantas saja setiap ada insiden tidak terduga teh hangat selalu menjadi pertolongan pertama.

"Beberapa hari ini kita semua udah diemin kamu sekali pun kami sebenarnya penasaran ada masalah apa kamu ini, Ra. Selama kamu baik-baik saja dan normal, kami nggak akan mengulik masalah pribadimu walaupun kami sebenarnya juga penasaran, tapi sekarang sorry ya kalau lancang, di mata kami semua kamu udah dalam taraf yang nggak baik-baik saja."

Mbak Marini sebagai seorang atasan beliau yang membuka awal pembicaraan, aku tidak tahu seberapa mengenaskannya keadaanku sekarang ini karena nyaris semua rekanku melihatku dengan prihatin seakan-akan mereka turut bersedih salah satu rekan mereka di vonis kanker stadium akhir.

Atau persatu aku menatap mereka, ingin rasanya aku membagi masalah yang kini menghimpit dada dan kepalaku, namun kembali lagi, aku takut jika pada akhirnya aku hanya akan mendapatkan cemoohan dan juga cercaan tentang pilihanku yang mau-maunya saja di nikahi secara siri, sungguh aku bosan dengan semua orang yang mengatakan betapa bodohnya aku ini, aku lelah dengan semua penghakiman yang mereka berikan seakan-akan aku memang pantas mendapatkan hukuman atas pilihanku ini.

Entah mereka ini cenayang atau peramal, Larasati, teller yang duduknya di sebelahku ini pun kembali menambahkan seolah dia memang tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam kepalaku.

"Dara, nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita, it's oke, kami semua paham ada beberapa hal yang nggak bisa kamu bagi dengan orang lain, tapi please, kalau ada sesuatu yang nggak bisa kamu hadapi sendiri, ada kami semua di sini yang akan menyiapkan telinga untuk mendengar keluh kesahmu. Syukur-syukur kami bisa membantumu, Ra."

Bukan hanya Laras dan juga Mbak Marini yang membesarkan hatiku, sosok Yusuf yang selama ini di kenal sebagai seorang yang tegas pada setiap nasabahnya ini pun turut menyumbangkan suaranya.

"Intinya Ra, jangan simpan masalah sendiri kalau kamu merasa sudah di ambang batas kekuatanmu. Bagi dengan salah satu dari kita. Percayalah, kami nggak akan menjudge apa yang terjadi karena selama satu tahun kita satu kantor, kami sangat mengenal bagaimana kamu yang sebenarnya."

"Apapun hal berat yang sedang kamu jalani, Bapak yakin kamu akan bisa melewatinya, Dara. Kamu hanya perlu berjalan perlahan mengangkat kakimu, pelan-pelan saja, maka percayalah, kamu akan bisa melewati semua hal berat ini. Lihatlah, bahkan rekan-rekanmu begitu menyayangimu, itu semua karena kamu pun juga baik kepada mereka, Dara."

Rasa haru menyeruak di dalam dadaku mendengar bagaimana Bapak Kacab, Pak Erwin, memberikan nasihatnya, selama ini aku selalu merasa sendirian pasca kehilangan orangtuaku dan saudara-saudara orangtuaku begitu rakus ingin mengusik warisan hingga aku merasa aku hanya memiliki Mas Aras, hal yang membuatku begitu takut kehilangannya hingga rela melakukan hal sebodoh ini atas nama cintaku kepadanya, namun hari ini saat aku mendapatkan support dari rekan-rekanku ini membuatku tersadar jika di dunia yang seringkali bertindak begitu kejam pada kita ternyata menyisakan secuil perhatian.

Mereka tidak memaksaku untuk bercerita tapi mereka memperlihatkan padaku jika di duniaku yang sendirian masih ada mereka dan segala hal akan tetap baik-baik saja tidak peduli bagaimana carut marutnya hidupku sekarang.

Tanpa terasa air mataku menetes tanpa bisa aku cegah, sungguh di hadapan rekan-rekanku sekarang ini aku menangis sesenggukan seperti seorang anak kecil, Mbak Marini menepuk-nepukku pelan saat Retno membawaku ke dalam pelukannya.

Aku ingin bercerita, tapi akhirnya air matakulah yang mewakili segalanya. Air mata yang aku kira sudah mengering dan tidak akan pernah menetes lagi kembali turun karena kasih yang di berikan oleh rekanku. Tidak ada yang bersuara sekarang ini, mereka semua turut berdiam seolah memberikanku waktu untuk menumpahkan segalanya. Aku kira semuanya akan baik-baik saja, tapi sayang, saat tangisku mulai mereda dan hendak melontarkan ucapan terimakasih kepada mereka, pintu kantor kini terbuka, sosok yang sangat tidak aku harapkan untuk aku temui justru berdiri di sana dengan snellinya yang tertenteng menegaskan profesi yang membuatnya sukses di sukai oleh Ibu mertuaku.

Semua rekanku sontak menatapku dengan khawatir, tapi senyuman yang aku perlihatkan pada mereka sudah cukup menjadi jawaban jika apapun yang akan terjadi tidak berpengaruh padaku.

Suara ketukan heels runcing yang di pakainya terdengar memenuhi kantor, tidak ada tatapan lembut dan penuh keanggunan seorang Hana Soedirjo yang yang biasanya terlihat saat dia berbicara dengan Ibu Mertuaku, yang ada hanyalah arogansi dengan dagu tegaknya saat dia menghampiriku.

Retno sudah hampir berdiri jika saja aku tidak buru-buru menahannya, sebagai CS Retno memang di tuntut untuk menjadi seorang penyabar, tapi percayalah, saat melihat tatapan songong dari Hana yang terlihat meremehkan semua orang yang ada di sekelilingku, sudah pasti orang yang hatinya selebar tempat parkir mall pun juga akan gedek dengan sikap calon mantu idaman mertuaku ini, aku tahu jika yang di cari oleh Hana adalah aku.

Benar saja, saat dia sampai di depan meja teller tempat nyaris semua staff kantor tengah berada, dia berbicara dengan nadanya yang angkuh.

"Dara, itu nama kamu, kan?"

Astaga, sebagai manusia yang bekerja di bidang jasa dan menuntutku untuk tetap tersenyum tidak peduli sedajjal apapun customer dan client kami, aku sudah menemui banyak sekali orang yang menyebalkan, tapi wanita yang ngebet ingin menjadi istri dari suamiku ini berada di level yang berbeda.

Dia sudah tahu dengan jelas siapa aku dan sekarang dia bertanya seakan-akan aku adalah mahluk asing yang tidak pernah di temuinya, sungguh aku benar-benar tergoda untuk mencolok matanya yang tertutup kacamata itu.

"Bisa kita bicara di luar? Ada banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan kamu mengenai Mas Aras."

Mengabaikan tatapan khawatir bercampur gondok dengan yang lain, aku bangkit, tidak, jangan kira karena dia memiliki dukungan dari Ibu Mertuaku lantas aku gentar menghadapinya. Ohhh tidak, tenang saja. Kulirik jam tangan di pergelangan tangan kiriku sebelum aku kembali menatapnya dengan senyuman paling indah yang aku miliki.

Senyaman paling mematikan yang membuat seorang Aras bahkan tidak mau melepaskanku tidak peduli restu tidak dia dapatkan.

"Baiklah, saya punya waktu 15 menit sebelum jam istirahat saya habis. Waktu yang lebih dari cukup untuk membahas hal penting tentang suamiku yang mungkin perlu Anda ketahui."

Pengantin Simpanan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang