Bab 7. Hai Surabaya

126 7 0
                                    

Bab 7. Hai Surabaya

-Happy Reading-

"Dahulu kita memang sedekat nadi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Dahulu kita memang sedekat nadi. Entah kenapa, sekarang kita sejauh matahari. Bahkan, penyatuan itu tak membuatmu bertahan, apakah benar dengan apa yang aku pikirkan ini? Tolong, jangan biarkan kekhawatiran ini meraja."

-Cahaya Sandyakala-

•••

"Hai surabaya, apa kabar? Sudah lama kita tidak berjumpa, ya ... mungkin, terakhir kali kita berjumpa saat aku bersamanya di pergantian Tahun waktu itu, menikmati pagimu yang indah sebelum bagaskara membakar dirimu, kemudian menikmati malam dengan semburat bintang yang membentuk rasi penuh binar pada dirgantara, dengan kembang api yang kian bergantian menyala di udara yang semakin membuat indah malam itu."

"Mungkin Surabaya tak lagi seindah dulu. Pun juga dengan Jakarta dan Jogja. Semuanya seolah hilang terbawa pergi olehmu."

"Agra ... Jaga hati kamu untukku, jangan biarkan ketakutan ini merambat lebih dalam dan kemudian meraja."

"I love you and I miss you so much."

Dan itulah monolog Cahaya pada dirinya sendiri. Duduk sendirian di balkon kamar menikmati angin Sore yang berhembus menerpa wajahnya seraya melamun dan mengingat perihal Agra. Ia begitu rindu terhadap lelaki tersebut.

Sekelebat bayangan muncul memenuhi pikirkannya; perihal momen-momen indah bersama Agra di Surabaya, saat first time lelaki itu berkunjung ke Surabaya, saat lelaki itu yang antusias dengan suasana Malam Surabaya, dan saat mengeluh ketika Surabaya di Siang hari yang katanya, hampir sama dengan Jakarta. Panas!

Selesai sarapan tadi, Cahaya dan Mangata memutuskan untuk pergi tidur sebab badannya yang benar-benar lelah setelah perjalanan jauh. Terlebih lagi Mangata, yang mengemudi dari Jogja hingga Surabaya. Lalu, keduanya bangun di Sore hari, membersihkan diri kemudian bersantai setelah adzan magrib. Namun, setelah adzan Magrib, Mangata keluar entah kemana, memuat Cahaya bosan dan memutuskan untuk bersantai di balkon menikmati angin.

Entahlah kemana perginya Mangata, mungkin saja ia sedang pergi mencari Surabaya Patata bersama Rembulan, kakak sepupunya. Sebab sedari tadi Mangata heboh dengan jenis kue kekinian itu, rasa penasaran yang besar membuatnya lupa dengan ponselnya, yang tertinggal di atas nakas dekat ranjang. Bahkan, sedari tadi ponsel tersebut berdering, entah panggilan telepon atau pesan dari siapa. Suaranya sangat memekikkan telinga.

Beberapa menit kemudian, Cahaya yang sedang melamun menatap lalu lintas jalanan itu tiba-tiba dikejutkan dengan Mangata yang berbisik di telinganya.

"Woi ...."

Cahaya terperanjat dan reflek menepuk lengan Mangata.

"Ck, lo!" Cahaya berdecak kesal menatap Mangata.

Cahaya SandyakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang