Bab 13. Bunga Yang Tak Beraroma

25 2 3
                                    

Bab 13. Bunga Yang Tak Beraroma

•••

Happy Reading

•••


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dan mungkin, kita adalah sama-sama bunga kuncup yang tidak beraroma, yang saling menguatkan dari kencangnya angin dan derasnya hujan. Kemudian akan kembali mekar setelah musim semi tiba.

- Cahaya Sandyakala -

•••

Gemuruh hujan berhasil mendominasi malam sejak satu jam yang lalu, dan suara dentingan garpu serta sendok pun telah menjadi melodi untuk mengiringi makan malam dengan menu makanan dari Jawa barat itu. Sebelum setelahnya, Mangata yang asyik menikmati makanannya pun tiba-tiba membanting sendok dan garpunya dengan keras di atas meja. Hingga bunga tulip plastik yang menancap pada vas putih di atas meja makan pun terjatuh dari batangnya, sebab kencangnya Mangata menggebrak meja.

Mangata menatap tajam Cahaya. Giginya bergemeletuk menahan amarah. Ia benar-benar marah saat Cahaya keceplosan mengatakan jika Agra selalu memberi pil penunda kehamilan.

"Sejak kapan Agra ngasih lo itu?"

Cahaya memberanikan diri menatap balik Mangata. Sungguh, aura garang Mangata begitu terlihat saat sedang marah seperti ini. Cahaya sendiri yang notabene teman dekat dan selalu becanda saja, takut dibuatnya.

"Lo sadar, apa yang lo lakuin, Ay ...?"

Cahaya masih diam, tidak menjawab dan masih menatap Mangata.

"Lo tau nggak ...-"

"Lo juga ngelakuin hal yang sama dengan Arsenio, malahan-" Cahaya memotong kalimat Mangata dengan membalikkan fakta perihal masa lalu Mangata. Namun, belum sempat Cahaya menyelesaikan kalimatnya, dengan cepat Mangata memotong kalimat tersebut.

"Justru karena gue pernah ngerasain gimana sakitnya," Mangata menjeda sebentar kalimatnya, semakin menatap tajam Cahaya seraya merasakan dadanya yang naik turun. Emosinya benar-benar tersulut. "Gue nggak mau lo ngerasain gimana sakitnya, Ay. Agra itu cowok brengsek. Lo lupa apa yang pernah dia lakukan sama Wulan di sekolahan dulu, hah ...?!"

Cahaya diam, menutup mata sejenak kemudian menatap Mangata sayu. Ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu, pertanyaan Mangata seolah-olah menjelaskan seburuk apa Agra. Dan Cahaya, sedang berusaha menghilangkan pikiran-pikiran tersebut.

Kemudian, Cahaya meraih kedua tangan Mangata seraya menatap lembut Mangata. Dan sorot mata sayu yang menyimpan sesuatu yang dalam itu pun sukses membuat Mangata mengalihkan pandangan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 10 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cahaya SandyakalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang