Persahabatan

163 131 100
                                    

"Bun, besok Adam sudah umur 7 tahun, 'kan? Adam mau dibelikan pewarna dong sebagai hadiah," rengek Adam kepada Sri. Adam lahir tanggal 24 April 2000 lalu dan besok adalah hari di mana Adam lahir.

Melihat anak itu sekarang Sri sangat bersyukur karena dia lebih terlihat ceria daripada 2 tahun yang lalu. Ketika sang Ayah meninggalkannya di panti dengan alasan mengurus surat kepindahan mereka.

Adam menolak masuk ke rumah dan terus saja menunggu Ayahnya di luar.

"Ayah bakalan jemput Adam, Ayah bakalan jemput Adam. Adam ngga mau masuk ke rumah itu. Adam mau ikut Ayah." Setiap harinya seperti itu, Adam akan menunggu Ayahnya hingga malam.

Dia tidak ingin berteman dengan anak-anak panti lainnya. Adam lebih suka sendiri, menunggu Ayahnya dengan menggambar.

Adam anak yang pintar dan ceria, di usianya yang baru 5 tahun sudah bisa membaca dengan lancar. Dia juga sangat pintar menggambar.

Namun, semenjak Ayahnya pergi Adam menjadi pemurung, sampai akhirnya setahun lalu panti kedatangan anak baru.

Namanya Panji, orang tua dan kakaknya meninggal karena kecelakaan. Hanya Panji lah yang selamat atas kecelakaan itu.

Panji anak yang periang, walau kejadian kecelakaan menyakitkan itu menimpanya. Tidak membuat Panji sedih terlalu lama. Malah menjadikannya anak yang kuat.

Panji penasaran siapa anak yang selalu murung itu, menunggu di depan gerbang panti sambil membawa buku gambar.

"Jangan ditemenin, Ji. Dia namanya Adam. Dia itu aneh," ujar Wisnu sedang memakan camilan pisang goreng yang dibuat Kak Mikha.

Panji dengan rasa penasarannya pergi ke depan gerbang mengikuti Adam. Dia penasaran apa yang anak itu lalukan dan tidak bergabung dengan anak-anak lainnya. Rasa penasaran yang Panji punya memang sudah tidak tertolong.

"Kamu lagi ngapain, sih? Yang lain lagi makan pisang goreng. Kamunya malah di sini."

Memakan pisang gorengnya, Panji terus berbicara walau Adam tidak menanggapi apa yang Panji tanyakan.

"Aku duduk ya. Capek berdiri terus. Kamu gambar apa, sih?" Adam melirik ke arah Panji lalu menggeser tubuhnya menjauh dari Panji.

Tanpa menyerah Panji terus berbicara.

"Namaku, Panji. Kamu tau ngga kenapa namaku Panji?"

Walaupun Adam sama sekali tidak merespon apapun yang Panji katakan. Tapi, dia tetap melanjutkan cerita tentang filosofi namanya.

"Dulu, kata mama. Papaku suka sekali menonton Panji si mellitus. Apa ya namanya pokoknya pahlawan gitu. Papa bilang laki-laki harus kuat, seperti Panji si pahlawan. Ngga boleh nangis harus menolong orang yang kesusahan."

Adam tidak peduli, dia tetap melanjutkan menggambar, baginya Panji adalah pengganggu. Dalam hati Adam berkata.
Si pengganggu ini kapan perginya sih, dia masih saja terus ngomong hal ngga jelas.

Sejak saat itu Panji terus menerus bercerita, menemani Adam menggambar di depan gerbang. Bercerita walau dia tau, Adam tidak akan merespon apapun yang Panji katakan.

Panji menceritakan teman-temannya, orang tuanya, kebahagiaan-kebahagiaan yang dulu pernah dia rasakan. Kadang dia tertawa, dia kesal. Tanpa Adam sadari, dirinya memperhatikan Panji bercerita.

Adam menjadi terbiasa. Namun, rasa gengsinya terlalu besar untuk menanggi semua cerita Panji. Padahal, Adam ingin sekali tertawa saat Panji mengatakan dia dikejar-kejar anjing ketika ingin mengambil bola. Sungguh konyol anak itu.
Pada akhirnya gengsi lah yang jadi pemenangnya. Adam tetap menggambar tanpa bersuara.

UnexpectedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang